Mengenal Hidayah dan Tingkatannya (04)
Kenyataan ini perlu disadari khususnya untuk para pelaku da’wah supaya di satu sisi tidak over confidence (terlalu percaya diri) bisa memberikan hidayah. Dan di sisi lain tidak berkecil hati jika ajakannya (da’wahnya) tidak mendapatkan respon yang positif.
Oleh: Shamsi Ali Al-Kajangi, Presiden Nusantara Foundation
HIDAYAH dengan wahyu atau yang lebih dikenal dengan “hidayah al-irsyad” mungkin lebih tepat dipahami sebagai “for information” semata. Tugas para nabi dan Rasul, para ustadz dan da’i, dan semua pengikut Muhammad (umat Islam) hanya menyampaikan (tablig), mengajak atau menyeru (da’wah), mengingatkan atau menasehati (tadzkirah).
Selebihnya apakah “mad’u” (orang yang diajak atau obyek Dakwah) itu menerima atau tidak bukan lagi urusannya.
Kenyataan itu berulangkali diingatkan dalam Al-Quran: “maa alaika illa al-balaagh” (kewajibanmu sekedar menyampaikan). Bahkan, lebih tegas lagi: “laa ikraaha fid diin” (tiada paksaan dalam agama). Karenanya “lasta alaihim bimushaitir” (kamu tidak punya hak kuasa atas mereka) untuk menerima hidayah.
Kenyataan itu pula yang terjadi bahkan dengan sebagian para nabi yang ingin sekali orang-orang yang dicintainya menerima hidayah.
Dari nabi Adam yang seorang anaknya menjadi jahat membunuh saudaranya (kisah Qabil dan Habil). Nabi Nuh yang anaknya menentang da’wahmya. Nabi Ibrahim yang ayahnya sendiri nyaman dengan bisnis kesyirikannya.
Nabi Ya’qub yang anak-anaknya yang konspirasi untuk mengenyahkan adiknya sendiri Yusuf. Hingga Rasulullah SAW yang tidak berhasil meyakinkan pamannya tercinta Abu Talib menerima Kalimat Tauhid itu.
Hidayah bi at-Taufiiq
Di sinilah kemudian terbukti kuasa Allah atas segala hal, termasuk dalam “hidayah” ini. Mungkin hal ini bukan asing dan mengejutkan. Berkali-kali dalam Al-Qur'an Allah menegaskan: sesungguhnya Allah memberikan petunjuk kepada siapa yang dikehendaki dan membiarkan tersesat siapa yang Dia kehendaki”.
Salah satu ayat yang populer di kalangan para da'i di ingatan kita semua adalah: “sesungguhnya engkau (Wahai Muhammad) tidak akan bisa memberikan petunjuk kepada siapa yang engkau cintai. Tapi Allah yang memberikan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendak”.
Ayat di atas menegaskan dua bentuk hidayah. Hidayah al-irsyad yang dilakukan oleh Rasulullah dengan mujahadah (usaha keras) meyakinkan pamannya di satu sisi. Namun di sisi lain Allah menegaskan bahwa hanya Dia (Allah) yang menentukan siapa yang akan menerima atau menolak Hidayah itu. Pada titik hidayah itulah yang diyakini sebagai bentuk “intervensi uluuhiyah” untuk meyakinkan hambaNya yang dipilihnya. Dan intervensi ini bersifat absolut, di luar batas kemampuan ikhtiar manusia.
Pengalaman hidup mengajarkan bahwa betapa banyak orang yang secara hidayah al-irsyad telah sadar/paham dengan agama ini. Bahkan tidak jarang mereka jauh lebih berilmu (walaupun belum tentu paham) dibandingkan sebagian besar umat ini. Tapi mereka belum diberikan “hidayah at-taufiq” untuk menerima dan meyakininya sebagai kebenaran.
Saya hanya ingin menyebut tiga orang yang saya kenal baik. Mereka ini secara ilmu/informasi cukup meyakinkan. Bahkan mereka menulis buku-buku tentang Islam, termasuk tentang nabi Muhammad dan hukum Islam (Syari’ah) dengan sangat baik dan jujur. Tapi mereka tetap dengan keyakinan mereka sebagai non Muslim.
Karen Amstrong dari Inggris, Prof. John Esposito dari US, dan Prof. Craig Considine juga dari US. Bahkan yang terakhir ini dalam beberapa kesempatan saya undang dalam acara-acara keislaman, termasuk pada acara-acara tahunan Nusantara Foundation.
Dr. Considine adalah penulis buku “Humanity Muhammad” yang sangat populer. Sementara Karen Amstrong barangkali adalah religions scholar (ahli agama-agama) yang paling populer saat ini. John Esposito adalah professor Studi Islam di Washington DC, melanglang buana ke seluruh penjuru dunia ceramah mengenai Islam.
Kenyataannya baik John Esposito dan Craig Considine tetap dalam agama Katolik. Bahkan, akhir-akhir ini, entah karena satu dan lain hal, Craig begitu sangat membela Israel dan membenci pejuang Palestina. Saya curiga hal ini disebabkan oleh desakan finansial.
Maklum menjadi dosen di Amerika tak menjamin kebutuhan finansial yang baik. Craig sendiri pernah mengeluh kepada saya jika dia sedang terdesak secara finansial sehingga dia harus tinggal di mobile house (rumah sementara) di Ranch mertuanya pinggiran Houston.
Sementara Karen Amstrong tetap menyatakan diri sebagai “pihak netral” kepada semua agama-agama. Walau dalam beberapa kesempatan memuji Islam dengan sangat tinggi. Bahkan dalam sebuah kesempatan Dialog dengan saya pribadi Karen mengatakan bahwa dalam hal kerasionalan Islam tidak terbandingi oleh agama manapun. Hanya saja masih banyak orang Islam yang kurang menghargai logika.
Realita bahwa hidayah batin dan pengabulan (acceptance) kebenaran ada di tangan Allah SWT mengingatkan kita peristiwa yang dihadapi Rasulullah di Taif ketika itu. Resistensi yang tinggi menjadikan beliau bahkan mengalami kekerasan.
Tapi beliau tetap sadar bahwa memang hidayah (at-taufiq) ada di tangan Allah. Maka beliau pun mendokan mereka: “Allahumma ihdi qaumi fainnahum laa ya’lamuuna” (ya Allah tunjuki kaumku karena mereka tidak tahu).
Runyamnya saat ini resistensi kepada da’wah ini bukan lagi karena “fainnahum laa ya’lamun” (karena kebodohan). Kesempatan untuk tahu kebenaran itu terbuka luas. Baik melalui media informasi (walau sering termanipulasi) atau langsung melalui interaksi dengan mereka yang telah mendapatkan kenikmatan hidayah (orang-orang Islam).
Mereka yang menolak kebenaran itu lebih dikarenakan oleh nafsu (takut kehilangan dunia) dan/atau keangkuhan (melihat kenyataan umat yang lemah dan terbelakang).
Kesimpulannya untuk seseorang menerima kebenaran (al-haq) setelah terjadi hidayah al-irsyad harus terjadi hidayah at-taufiq. Dan hidayah at-taufiq ini secara mutlak ada di tangan Allah SWT. Sehebat apapun da’wah yang kita lakukan.
Sepintar apapun seorang Ulama. Dan secanggih apapun metode da’wah kita. Tanpa at-taufiq dari Allah da’wah itu hanya menjadi bahan informasi semata.
Kenyataan ini perlu disadari khususnya untuk para pelaku da’wah supaya di satu sisi tidak over confidence (terlalu percaya diri) bisa memberikan hidayah. Dan di sisi lain tidak berkecil hati jika ajakannya (da’wahnya) tidak mendapatkan respon yang positif.
Rasulullah sendiri pernah mengalami ini. Ada masa-masa di mana beliau merasa resah, sumpek (yadhiiku shodruk) dan bahkan kecewa dengan respon yang diterimanya dari kaum kuffar.
Percayalah, Allah memberikan hidayahNya kepada siapa yang Dia kehendaki. Di tanganNya segala kekuasaan dan Dia memperlakukan kekuasaanNya sesuai iradah dan hikmah yang Dia miliki. Yakin saja! (Bersambung)