Mengungkap Pratanda Kejayaan dan Kejatuhan Kepemimpinan Joko Widodo

Menurut Hukum Kekekalan Energi (HKE), sekecil apapun energi yang digunakan manusia akan kembali kepadanya. Energi tersebut akan tertampung menjadi Tabungan Energi (TE). Yang baik akan tertampung menjadi Tabungan Energi Positif (TEP).

Oleh: Hamka Suyana, Pengamat Kemunculan Pratanda

SECARA umum, kita belum banyak yang mengetahui bahwa penyebab utama kemenangan dan kekalahan kandidat politik (Calon) pada kontestasi politik seperti Pilkades, Pilkada, Pileg, dan Pilpres adalah ditentukan oleh faktor Internalisasi (dalam diri Calon).

Ternyata Bukan seperti yang diyakini publik selama ini, bahwa penyebab kemenangan atau kekalahan ditentukan oleh faktor Eksternalisasi (luar diri Calon), seperti dukungan keuangan, kuatnya jaringan dan popularitas.

Karenanya, sudah menjadi persepsi umum menganggap bahwa, uang diyakini sebagai penentu kemenangan. Persepsi ini ternyata tidak tepat. Yang tepat adalah, "uang hanya sebatas sebagai faktor Penunjang untuk merebut kemenangan".

Fenomena yang masih implisit ini, menarik perhatian saya untuk melakukan penelitian yang pada akhirnya, berkat petunjuk Allah, pasca Pilpres 2004 mulai menemukan titik terang yang semakin tambah tahun semakin gamblang.

Kesimpulan penelitian menyebutkan bahwa penyebab utama kemenangan maupun kekalahan "Calon" sangat ditentukan oleh 2 unsur, yaitu:

Pertama; Unsur Utama. Ialah faktor Internalisasi Calon. Yaitu kondisi kebatinan atau alam bawah sadar sang Calon. Hasil penelitian menyebutkan, bahwa bagi Calon yang alam bawah sadarnya sudah Merasa memegang jabatan yang diperebutkan niscaya dialah yang akan menjadi Pemenang. Sebaliknya, jika alam bawah sadarnya Merasa Was-Was karena ada yang ditakuti, maka meski di-backup kekuatan dari faktor eksternalisasi, pasti akan berakhir dengan Kegagalan.

Kedua; Unsur Penunjang. Ialah faktor Eksternalisasi (faktor luar) diri Calon antara lain popularitas, dukungan Dana, dan jaringan yang kuat. Meskipun faktor eksternalisasi sangat kuat, tetapi faktor internalisasi lemah, faktanya akan kalah. Itu yang terjadi pada Pilgub Jakarta 2017.

Calon Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang didukung penuh oleh kekuasaan penguasa, backup politik uang unlimited, dan jaringan kuat mesin partai tapi akhirnya Tumbang dikalahkan Anies Baswedan yang secara kasat mata dukungan faktor eksternalisasi tergolong apa adanya.

Rahasia yang Tersembunyi pada alam bawah sadar Joko Widodo sebagai pemenang Pilpres 2014 dan 2019.

Dengan berpedoman pada teori yang diuraikan di atas, rahasia kemenangan Joko Widodo pada Pilpres 2014 dan 2019, dapat dijelaskan melalui catatan kemunculan pratanda dari alam bawah sadar Joko Widodo.

Pertama; Joko Widodo menang Pilpres 2014, karena sudah "Ndak mikir nyopras-nyapres". Pada bulan April 2013 atau lebih dari setahun sebelum pilpres 2014, sudah muncul pratanda alam bawah sadar bahwa Joko Widodo akan terpilih menjadi presiden.

Pratanda yang muncul dari alam bawah sadar berupa pernyataan Joko Widodo setiap ditanya insan pers tentang kemungkinan tahun 2014 untuk maju menjadi capres, Joko Widodo selalu mengatakan bahwa "Saya ndak mikir nyopras-nyapres".

Logika alam bawah sadar sudah memberikan isyarat, "Jika ia sudah tidak mikir jabatan presiden, itu artinya, alam bawah sadarnya Sudah Berisi file calon takdir Jabatan Presiden".

Isyarat atau pratanda pada tahun 2013 tersebut saya sampaikan kepada sekian banyak teman, baik melalui diskusi langsung maupun melalui broadcast SMS, bahwa berdasarkan membaca pratanda, yang akan terpilih menjadi presiden adalah Joko Widodo.

Alhamdulillah, hasil membaca pratanda akurat. Pilpres 2014 dimenangkan oleh Joko Widodo.

Kedua; Pilpres 2019, pada closing statement Debat Capres, Joko Widodo menyatakan: "punya potongan diktator atau otoriter".

Dari sekian pelaksanaan Debat Capres/Cawapres Pilpres 2019, terdapat pernyataan penutup Joko Widodo yang menjadi pratanda atau isyarat, bahwa Joko Widodo adalah seorang pemimpin diktator otoriter.

Berikut ini translate rekaman pernyataan Joko Widodo:

"Kami tidak ingin banyak bicara. Kami sudah paham persoalan bangsa ini dan tahu apa yang harus kami lakukan. Kami tidak punya potongan diktator atau otoriter. Kami tidak punya rekam jejak melanggar HAM. Kami tidak punya rekam jejak melakukan kekerasan. Kami juga tidak punya rekam jejak masalah korupsi....."

Kata yang dicetak tebal mengandung unsur sinyal pratanda alam bawah sadar, yang jika dirangkai akan muncul kalimat pantulan dari alam bawah sadar, demikian:

"Kami sudah paham dan tahu apa yang harus kami lakukan. Kami punya potongan Diktator atau Otoriter".

Kalimat pratanda yang muncul dari alam bawah sadar Joko Widodo terbukti nyata. Selama masa jabatan periode ke-2 terlalu banyak bukti kebijakan kepemimpinan Joko Widodo yang diktator dan otoriter.

Kejahatan demokrasi Pilpres dengan kode "Cawe-cawe Penguasa berimplikasi politik yang luar biasa", menjadi rekam jejak sejarah bukti kediktatoran kekuasaan Joko Widodo.

Ketiga; Pilpres 2024, adalah klimaks "ketakutan" kejatuhan kekuasaan Joko Widodo.

Rumus Strategi Politik Internalisasi

"Kontestan politik yang pada alam bawah sadarnya Menyimpan Rasa Takut terhadap sesuatu, maka sesuatu yang ditakuti akan menjelma menjadi Musuh Besar yang akan Mengalahkannya".

Rumus di atas yang bersifat universal, berlaku pula terhadap Joko Widodo. Jika Pilpres 2014 dan 2019 ia bisa tenang karena menang, tidak demikian halnya dengan Pilpres 2024.

Pilpres 2024 adalah momok menakutkan bagi Joko Widodo yang secara alamiah pasti berakhir. Kemudian, kepemimpinan nasional akan digantikan oleh orang lain.

Celakanya, tokoh yang Ditakuti Joko Widodo tidak bisa dijegal dan tidak bisa dijatuhkan. Semakin dihambat justru semakin kuat. Itulah dia Anies Rasyid Baswedan.

Penyebab Joko Widodo paranoid terhadap Anies Baswedan, berawal dari masalah pusaka Tongkat Cokro milik Pangeran Diponegoro yang ditahan Belanda selama 180 tahun kemudian rencananya akan dikembalikan ke Indonesia.

Joko Widodo sangat berharap dirinyalah sebagai orang pertama yang akan memegang pusaka bersejarah, dimana sudah menjadi mitos, "orang yang pertama memegang Tongkat Cokro, akan menjadi seorang pemimpin".

Tapi takdir Allah yang terjadi. Pada saat utusan Belanda datang ke Indonesia, Joko Widodo sedang berada di Filipina, sehingga Mendikbud Anies Baswedan yang mendapat amanah menerima dan memegang Tongkat Cokro.

Selang beberapa waktu kemudian, Anies Baswedan dipecat dari jabatannya sebagai Mendikbud, tanpa diketahui penyebabnya.

Pasca dipecat sebagai menteri, bintang kepemimpinan Anies Baswedan tambah cemerlang, dengan terpilihnya menjadi Gubernur Jakarta yang selama kepemimpinannya mengukir berbagai prestasi.

Joko Widodo makin ketakutan terhadap Anies Baswedan yang dikhawatirkan akan maju menjadi capres pada Pilpres 2024.

Yang ditakutkan Joko Widodo sudah menjelma menjadi musuh besarnya dan menjadi ancaman serius yang akan mengalahkannya.

Memang, secara lahir, yang dijagokan Joko Widodo menjadi Capres adalah Prabowo Subianto. Tapi secara batin, yang sesungguhnya Joko Widodo sedang bertarung melawan Anies Baswedan, dan berusaha keras "menghabisinya" .

Keempat; Rentang Waktu Kekuasaan Joko Widodo sudah mendekati Limit Waktu kejatuhan.

Menurut Hukum Kekekalan Energi (HKE), sekecil apapun energi yang digunakan manusia akan kembali kepadanya. Energi tersebut akan tertampung menjadi Tabungan Energi (TE). Yang baik akan tertampung menjadi Tabungan Energi Positif (TEP).

Yang buruk akan tertampung menjadi Tabungan Energi Negatif (TEN). Kediktatoran kepemimpinan Joko Widodo sudah tertampung pada TEN dan ibarat buah di pohon yang sudah ranum tinggal menunggu waktu jatuhnya.

Gonjang-ganjing permasalahan Pilpres bisa jadi akan menjadi pembuka pintu pencairan Tabungan Energi Negatif (TEN) yang dikumpulkan Joko Widodo selama menjadi presiden.

Wallahu a'lam bishshowab. (*)