Merangkum Ekopol Pancasila
Adalah harapan dari para pemikir ini bahwa kebijakan ekonomi ke depan tidak hanya menjadi instrumen pencapaian angka PDB, tetapi juga alat transformasi sosial untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Oleh: Riskal Arief, Periset Nusantara Centre
DI mana ekonom Pancasila? Buku berjudul "Ekonomi-Politik Pancasila" menjawabnya. Sebab, buku ini merupakan kumpulan pemikiran beberapa ekonom-politik dan budayawan Indonesia seperti Radhar Panca Dahana (alm), Yudhie Haryono, Ichsanuddin Noorsy, dan lainnya.
Dengan gaya kritis dan analitis, buku ini menawarkan wacana tandingan terhadap arus utama ekonomi-politik neoliberal yang kian mendominasi kebijakan ekonomi Indonesia. Saya mengapresiasi buku ini sebagai salah satu bentuk manifestasi dari keberanian intelektual yang jarang ditemui dalam perdebatan ekonomi-politik nasional.
Titik Pertemuan Pemikiran Ekonom-Politik Nasionalis
Buku ini menjadi ajang bertemunya pemikiran para ekonom-politik yang memiliki kekhawatiran mendalam terhadap arah ekonomi bangsa. Sebagai bangsa yang memiliki sejarah perjuangan panjang, ekonomi-politik kita semestinya tidak terjebak dalam paradigma neoliberal yang lebih sering memicu ketimpangan daripada kesejahteraan.
Buku ini menggarisbawahi bagaimana setiap pemikir di dalamnya memiliki pandangan kritis terhadap kehadiran neoliberal di negeri ini. Sejak awal, buku ini membuka diskursus bahwa setiap kebijakan ekonomi yang menekankan pertumbuhan semata adalah sebuah anomali dalam konteks falsafah bangsa yang berlandaskan Pancasila.
Mendiang budayawan Radhar Panca Dahana, dalam tulisannya di buku ini mengingatkan kita atas tiga hal yang menurutnya telah dilupakan, yaitu gagasan tentang permusyawaratan dan perwakilan, yang kemudian dikristalisasi menjadi "mufakat dan demokrasi". Namun dalam praktiknya kita cenderung melewatkan "mufakat" dan langsung memilih "demokrasi".
Padahal pengertian "demokrasi" yang kita pahami saat ini berbeda dengan yang dipahami oleh Bung Karno. Inilah kealpaan kedua, yaitu memahami dan mempraktikkan demokrasi ala Barat, yaitu demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi.
Tanpa demokrasi ekonomi, maka kita terjerumus ke dalam praktik ekonomi liberal yang membuat kita lupa akan hal yang ketiga yaitu Peri-Kemanusiaan. Kita menjadi individualis.
Narasi Perlawanan terhadap Mazhab Neoliberalisme
Neoliberalisme, sebagai salah satu paham yang berakar dari kapitalisme pasar bebas, kian mewarnai kebijakan ekonomi Indonesia dalam dua dekade terakhir.
Di dalam buku ini, neoliberalisme dianggap sebagai ancaman bagi ekonomi kerakyatan yang diidealkan dalam konstitusi kita. Menurut Ichsanuddin Noorsy, neoliberalisme selalu mengalami kegagalan dalam mengatasi pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan.
Noorsy dalam tulisannya menyebutkan bahwa paham ekonomi liberal menciptakan krisis ekonomi menjadi sebuah siklus bisnis yang telah terjadi 33 kali sejak 1854 sampai dengan 2007. Bagaimana sebuah paham ekonomi mampu menyejahterakan rakyat jika krisis ekonomi adalah turunannya?
Narasi perlawanan ini jelas membangkitkan kesadaran pembaca bahwa ekonomi-politik kita harus merdeka dari paham neoliberalisme dan mulai berpihak pada rakyat banyak, sesuai dengan mandat konstitusi.
Mengkritisi Kebijakan Ekonomi yang Berorientasi pada Pertumbuhan
Salah satu poin krusial yang diangkat dalam buku ini adalah kritik terhadap kebijakan ekonomi yang hanya berorientasi pada pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). Pertumbuhan ekonomi memang penting, namun pertumbuhan tanpa pemerataan justru kontraproduktif.
Buku ini menekankan bahwa ekonomi-politik Pancasila tidak hanya bicara soal angka pertumbuhan, tetapi bagaimana kesejahteraan itu bisa dirasakan seluruh rakyat tanpa kecuali. Yudhie Haryono dalam salah satu bagiannya mengkritik bahwa orientasi pada pertumbuhan semata tersebut adalah pengkhianatan terhadap cita-cita keadilan sosial yang dijunjung tinggi dalam Pancasila.
Pandangan ini sangat relevan di tengah kian lebarnya kesenjangan antara kelas atas yang terus bertumbuh secara ekonomi dan kelas bawah yang semakin terpuruk. Dalam konteks inilah, buku ini menyarankan perlunya redefinisi kebijakan ekonomi-politik, yaitu kebijakan yang tidak sekadar mengejar angka tetapi juga membawa misi keadilan sosial.
Arah Baru Ekonomi-Politik yang Berlandaskan Pancasila!
Salah satu pesan utama dari buku ini adalah seruan untuk kembali pada esensi falsafah Pancasila sebagai fondasi ekonomi-politik. Dengan menelusuri kembali pemikiran para pendiri bangsa, kita diajak untuk menyadari bahwa Pancasila mengamanatkan sebuah sistem ekonomi yang menjunjung tinggi kedaulatan dan kemandirian nasional.
Buku ini memberikan panduan bagi pemerintah tentang bagaimana kebijakan ekonomi-politik harus ditempatkan dalam konteks keberpihakan terhadap rakyat kecil. Bukan berarti menolak modernisasi atau pertumbuhan, tetapi memanfaatkan pertumbuhan tersebut untuk kesejahteraan seluruh rakyat.
Meski telah diterbitkan sejak 2010, buku "Ekonomi-Politik Pancasila" tetap relevan dalam konteks pemerintahan saat ini, terutama di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo. Dengan berbagai tantangan global yang dihadapi, pemikiran dalam buku ini dapat menjadi acuan bagi pemerintah dalam menyusun kebijakan ekonomi-politik yang lebih berkeadilan dan berdaulat.
Adalah harapan dari para pemikir ini bahwa kebijakan ekonomi ke depan tidak hanya menjadi instrumen pencapaian angka PDB, tetapi juga alat transformasi sosial untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Buku "Ekonomi-Politik Pancasila" adalah karya provokatif yang memadukan pemikiran-pemikiran kritis para ekonom-politik Indonesia yang menentang mazhab neoliberal. Buku ini relevan bagi pembaca yang haus akan pandangan alternatif dalam mengkritisi arah kebijakan ekonomi nasional.
Narasi perlawanan terhadap neoliberalisme dalam buku ini menjadi sinyal bahwa perjuangan untuk ekonomi yang berkeadilan dan sesuai dengan falsafah Pancasila masih relevan dan penting di tengah perkembangan ekonomi-politik global yang kian kompleks. (*)