MK Cerdas dan Futuristik atau Memble dan Konvensional?

Inilah substansi pertanyaan akankah MK yang memeriksa PHPU 2024 menjadi lembaga yang diisi oleh hakim-hakim 'memble' dan konvensional ataukah para hakim cerdas, bermoral dan berorientasi pada nasib anak bangsa ke depan yang lebih baik?

Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan

MAHKAMAH Konstitusi (MK) dibentuk untuk mengawal Konstitusi. Agenda utama tentunya menguji apakah suatu Undang-Undang dibuat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau tidak. Juga MK ternyata diberi beban tambahan untuk memutus sengketa antar lembaga negara, pembubaran partai politik dan perselisihan hasil Pemilu.

Dalam kaitan perselisihan hasil Pemilu inilah yang hari-hari ini menjadi perhatian publik. Pasangan 01 Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar dan Pasangan 03 Ganjar Pranowo – Mahfud MD mulai menggugat hasil Pemilu ke MK.

Di samping mempersoalkan angka-angka suara antara gelembung dan tersedot, juga mengungkap proses Pemilu khususnya Pilpres yang dinilai tidak jujur dan tidak adil alias curang.

Bola kini berada di tangan Hakim MK untuk menetapkan Putusan dari perselisihan tersebut. Ujian tentang cara pandang hukum tampaknya menjadi dasar pengambilan Putusan nantinya. Apakah konvensional atau futuristik, memble atau cerdas. Ini menyangkut makna kewenangan MK untuk memutuskan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU).

MK dituntut untuk menjalankan tugas dalam mengawal Konstitusi dengan konsisten. UUD 1945 Pasal 22E ayat (1) menegaskan bahwa "Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali". MK harus menjaga "kejujuran dan keadilan" Pemilu. Kecurangan dalam bentuk apapun harus dicegah dan ditindak oleh MK.

Jika MK tidak mampu menjaga kejujuran dan keadilan Pemilu, apalagi justru malah melegitimasi kecurangan dalam proses pemeriksaan perkara maka Hakim Mahkamah Konstitusi sesungguhnya telah berkhianat kepada Konstitusi itu sendiri.

Dengan bersandar pada ketentuan UUD 1945 maka kewenangan MK cukup luas. Memutus PHPU harus diinterpretasi secara luas. Pada hukum pidana saja ada 'extensive interpretatie' apalagi dalam hukum tatanegara. Tidak semata penafsiran gramatika tapi juga sistematis, sosiologis dan futuristis.

Keterkaitan UUD, UU MK dan UU Pemilu akan menjadi sandaran penafsiran sistematis bagi MK. Berdasarkan keterkaitan perundangan-undangan itu maka MK sangat jelas merupakan lembaga pemeriksa dan penegak keadilan, bukan mahkamah yang hanya membaca "bukti" angka-angka atau Mahkamah Kalkukator.

Apalagi jika interpretasi sosiologis digunakan tentu saja MK yang "merdeka" dari intervensi akan merasakan "perasaan hukum" masyarakat yang menghendaki Pemilu jujur dan adil. Bersih dari kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif. Artinya MK harus mempertimbangkan faktor kecurangan TSM tersebut sebagai dasar Putusan.

Bahwa tuduhan publik terhadap KPU yang memenangkan Pasangan O2 Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka adalah bahwa KPU merupakan pelaku dari kecurangan TSM tersebut. Mulai dari penerimaan tidak sah "anak haram" Gibran putera Joko Widodo, Sirekap alat manipulasi, hingga keterlibatan perusahaan China Alibaba Cloud yang disewa KPU.

Futuristik mengandung arti MK harus berorientasi ke masa depan. Jika MK hanya jadi Mahkamah Kalkukator, maka dapat dipastikan bahwa kecurangan TSM akan terjadi abadi pada setiap Pemilu. Penguasa semakin berani untuk melakukan kecurangan brutal yang telah merusak moral bangsa. Menghalalkan segala cara menjadi biasa. Masa depan bangsa dipastikan hancur berantakan.

Inilah substansi pertanyaan akankah MK yang memeriksa PHPU 2024 menjadi lembaga yang diisi oleh hakim-hakim 'memble' dan konvensional ataukah para hakim cerdas, bermoral dan berorientasi pada nasib anak bangsa ke depan yang lebih baik?

Jika 'memble' dan konvensional, maka MK adalah lembaga sia-sia, dan bahkan menjadi bagian dari kejahatan dan penghianatan hukum dan politik NKRI.

Bahwa mengingat sebagian besar Hakim Konstitusi merupakan Hakim termasuk yang "menolak" keberadaan Gibran "anak di bawah umur" saat perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 disidangkan, maka harapan atas kecerdasan, moralitas dan keberpihakan pada masa depan bangsa itu masihlah ada. Semoga saja. (*)