Monster Demokrasi Itu Bernama Jokowi
Kelima, tidak netral dalam Pilpres untuk membantu anak. Menggalang TNI, Polri, ASN, dan Kepala Desa. Klaim hak politik justru membodohi rakyat. Melanggar etika, moral bahkan hukum. Nepotisme dijalankan dengan tebal muka atau muka badak.
Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
SUDAH saatnya Joko Widodo dilengserkan akibat penyimpangan kepemimpinan berupa cawe-cawe brutal untuk menyukseskan Gibran Rakabuming Raka menjadi Wapres Prabowo Subianto. Rakyat membaca Jokowi telah menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan.
Kenekadan menjalankan prinsip machiavelisme ini adalah pertanda bahwa Jokowi memang sedang dalam proses tenggelam. Meraih apa yang dapat diraih, menendang apa yang bisa ditendang. Panik dan meronta-ronta.
Civitas Academica berbagai perguruan tinggi di Indonesia secara bergantian menyampaikan kritik dan peringatan kepada Jokowi. Pernyataan Sikap dibacakan oleh para Guru Besar, Dosen, Alumni maupun Mahasiswa. Pada intinya konten penyikapan berkaitan dengan keprihatinan atas semua penggerusan prinsip demokrasi, politik dinasti, serta tak peduli pada etika dan moral berbangsa dan bernegara.
Jokowi memang layak dijuluki monster demokrasi karena ia sejak awal memerintah sudah merusak tatanan kehidupan demokrasi Indonesia. Wajahnya kalem, dingin, memelas kadang lucu, tetapi perilakunya merusak. Menyandera, menekan, menipu, masa bodoh terhadap seruan kebenaran dan keadilan.
Menurut kamus, monster di samping berarti contoh barang dagangan untuk dinilai mutunya juga binatang, orang atau tumbuhan yang bentuk atau rupanya sangat menyimpang dari yang biasa, mahluk menakutkan yang hanya ada dalam dongeng. Itu monster dalam makna umum, dalam politik juga sering muncul monster-monster seperti itu.
Jokowi adalah contoh monster politik, monster demokrasi. Lima hal contoh perusakan demokrasi yang dilakukannya, yaitu:
Pertama, penghormatan HAM yang lemah, bahkan pengabaian. Kasus tewasnya 800-an petugas KPPS, pembunuhan 21-22 Mei dan 6 Syuhada serta Stadion Kanjuruhan disikapi santai dan dingin ala monster.
Kedua, yakni obral Perppu dari kebiri, covid hingga cipta kerja. Perppu dan pengendalian DPR oleh Jokowi luar biasa. Perppu menjadi bantalan korupsi dan perilaku otokrasi. Hukum ditunggangi untuk mengeksekusi kepentingan Jokowi.
Ketiga, mengobrak-abrik KPK dengan melemahkan kedudukannya. KPK menjadi alat kepanjangan tangan Jokowi untuk menaklukan Menteri dan Kepala Daerah. Semua dibuat menghamba di bawah ancaman. Jokowi menjalankan politik mafioso.
Keempat, monster menakut-nakuti dan menyandera ketum-ketum partai. Para ketum itu gemetar dan siap mengikuti perintah untuk mengalokasikan kebijakan Jokowi melalui partai-partai di bawah pimpinannya. Termasuk mendukung Gibran.
Kelima, tidak netral dalam Pilpres untuk membantu anak. Menggalang TNI, Polri, ASN, dan Kepala Desa. Klaim hak politik justru membodohi rakyat. Melanggar etika, moral bahkan hukum. Nepotisme dijalankan dengan tebal muka atau muka badak.
Monster itu bercitra buruk, jahat, dan menakutkan. Monster yang baik ada, seperti Sulley dalam film Monsters Inc. Top scarer ini lucu saja. Malah membela Boo anak kecil dari penakut Randall. Sayang Jokowi bukan seperti Sulley, justru ia dan anak kecil Gibran menjadi monster yang menakut-nakuti dan merusak demokrasi.
Sudah saatnya Jokowi untuk dilengserkan agar demokrasi bisa dipulihkan kembali. Kampus sudah menggeliat untuk membangunkan mahasiswa supaya bergerak melawan monster demokrasi yang bernama Jokowi. Jokowi mulai ketakutan. (*)