Moral Demokrasi
Indonesia ini pemilunya sudah dilanda oleh pragmatisme, akibat perbuatan oleh para pemuka yang nyogok rakyat dan akhirnya pun banyak rakyat mau nyoblos karena sogokan itu. Bahkan, sebagian rakyat justru menunggu sogokan.
Oleh: Agus Mualif Rohadi, Pemerhati Sosial Politik
NIXON itu, ketahuan menyadap rapat-rapat penting lawan dalam kontestasi pilpes secara ilegal. Maksud menyadap pasti jelas untuk mencurangi lawannya.
Akhirnya, meskipun memenangkan pilpresnya dan dilantik menjadi presiden, karena desakan publik Nixon mundur dari jabatan kepresidenannya.
Gak perlu sampai ada gugatan hukum atau pengajuan hak angket atau interpelasi. Juga gak perlu sampai ada proses hukum dan proses konstitusi yang harus dijalankan terlebih dahulu. Yang bila dijalankan tentu akan diwarnai manuver yang menghasilkan menang dan kalah.
Nah, di negeri kita ini, sudah banyak ditunjukkan adanya pelanggaran moralitas dan etika. Namun semua tetap dijalankan sehingga ada gugatan ke MK dan pengajuan hak angket di DPR. Proses hukum dan proses konstitusi harus jalan dengan perilaku yang mengedepankan menang dan kalah. Bukan perilaku yang menunjukkan masih dipegangnya moralitas dan etika.
Akan kita lihat apakah bisa tersajikan adanya bukti-bukti yang jauh lebih kuat dari hanya sekedar penyadapan rapat-rapat lawan dalam pilpres oleh Nixon.
Di atas hukum, itu ada moralitas, ada etika, dan yang terpenting itu adalah masih adanya rasa malu. Apakah seorang pemuka negeri demokrasi besar, menunjukkan masih mempunyai moralitas, harga diri, dan rasa malu.
Tampilan angka perolehan pemungutan suara itu adalah cermin dari pelaksanaan demokrasinya apakah telah dilaksanakan dengan bersih dan menjunjung tinggi moralitas dan etika atau justru sebaliknya.
Rasa Malu
Rasa malu itu peradaban dasar manusia yang dibawa dari surga, yang berasal dari peristiwa ketika Adam dan Hawa melihat aurat masing-masing dengan rasa yang berbeda dari sebelumnya akibat makan Buah Terlarang.
Karena muncul rasa malu itu, mereka berdua menutup auratnya dengan daun-daun surga.
Itu adalah metafora dari rasa malu, mereka berdua menutup auratnya dengan daun-daun surga adalah pengakuan telah berbuat salah karena telah melanggar larangan Allah SWT.
Dengan rasa malu itu, mereka paham bedanya salah dan benar, baik dan buruk.
Oleh karena itu, jika ada manuver untuk mempertahakan diri dari rasa bersalah dengan ditutupi perbuatan hanya untuk mendapatkan kemenangan dengan segala cara dalam proses hukum dan konstitusi adalah manuver paling primitif sebagaimana yang telah ditunjukkan peristiwa Qabil dan Habil.
Sekarang ini, Rasa Malu itu telah hilang dari para pemuka masyarakat karena Pragmatisme telah melanda pemuka maupun masyarakatnya.
Apapun sistem politik suatu negara, akan ambrol dengan pragmatisme yang dipraktikkan oleh para pemukanya kemudian ditiru masyarakatnya.
Pemuka masyarakat itu bisa pemuka negara, maupun pemuka dalam satuan masyarakat terkecil dan dalam profesi apapun.
Indonesia ini pemilunya sudah dilanda oleh pragmatisme, akibat perbuatan oleh para pemuka yang nyogok rakyat dan akhirnya pun banyak rakyat mau nyoblos karena sogokan itu. Bahkan, sebagian rakyat justru menunggu sogokan.
Para pemuka bukan hanya menyogok, tetapi bahkan menggunakan yang bukan hak, menyandera lawan dan kawan, mengangkangi hukum secara terang-benderang.
Tidak ada rasa malu lagi, karena semua hal yang salah dan buruk itu telah dilakukan secara terang-terangan dan tidak ada rasa bersalah maupun rasa malu, apalagi di sini tidak ada lagi yang mampu mencegahnya.
Semua dimulai dari telah ambruknya moralitas dan etika para pemuka masyarakat. (*)