Nitilaku 2024: Refleksi 75 Tahun UGM Demi Kebenaran Sejarah
Namun memang jangan berharap bisa menemukan Mukidi (atau Mulyono) dalam kegiatan Nitilaku hari itu atau berani datang di Malam Temu Alumni Kagama UGM kemarin, karena memang nama tersebut secara de facto dan de jure adalah bukan Alumnus UGM Asli.
Oleh: KRMT Roy Suryo, Peserta Nitilaku UGM 2024, Pemerhati Telematika, Multimedia, AI dan OCB Independen
MINGGU (15/12/2024) Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta mengadakan kegiatan “Nitilaku 2024” yang merupakan bagian dari rangkaian acara Lustrum ke-15 sekaligus peringatan Hari Jadi UGM ke-75, yang tepatnya jatuh pada tanggal 19/12/2024.
Acara Nitilaku 2024 ini melengkapi Malam Alumni 2024 yang merupakan sinergi UGM dan Kagama (Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada) semalam sebelumnya di Graha Sabha Pramana (GSP), Sabtu (14/12/2024).
Pada malam Alumni tersebut sempat digunakan Ketua Kagama terpilih, Dr. Ir. Mochamad Basuki Hadimoeljono, MSc (mantan Menteri PUPR yang sekarang menjabat sebagai Ketua Otorita IKN) untuk memperkenalkan jajaran Pengurus Pusat (PP) Kagama 2024-2029 di hadapan Audiens di GSP.
Di antara Alumni terdapat juga Wakil Menkomdigi sekaligus SekJen Kagama, Nezar Patria, MSc, MBA, Wakil Menteri Keuangan, Dr. Anggito Abimanyu, MSc, GRCP, GBPH Prabukusumo, SPsi selaku perwakilan dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Mengapa wakil dari Kraton Jogja ini penting, karena sesuai dengan sejarahnya UGM tidak akan bisa dilepaskan dari peran Kraton Kasultanan Jogja itu yang sempat digunakan sebagai salahsatu lokasi Kampus utama awal UGM saat pendiriannya pada tahun 1949 silam.
Ketika itu kegiatan perkuliahan diselengarakan dengan segala keterbatasan. Perkuliahan tersebut dilaksanakan tidak terpusat di satu lokasi, tapi tersebar di sejumlah tempat yang berada di kompleks Keraton: Ngasem, Mangkubumen, Kadipaten, dan Jetis.
Secara lebih detail, di Kampus Kadipaten, kamar kereta disulap menjadi poliklinik, kamar penjaga menjadi laboratorium bakteriologi, kamar pelayan menjadi laboratorium kimia, dan kandang kuda menjadi rumah sakit.
Sitihinggil dan Pagelaran dirombak menjadi aula, ruang kuliah, dan kantor Fakultas HESP (Hukum, Ekonomi, Sosial, dan Politik). Sementara perkuliahan di Bangsal Sitihinggil bisa menampung 1.000 mahasiswa, namun tetap harus bergantian mengingat animo masuk UGM saat itu terus meningkat sebagai Kampus Kerakyatan yang berasal dari Rakyat untuk Masyarakat.
Namun, sebenarnya kalau dilihat jauh sebelum dilakukan penyatuan nama menjadi "Universitas", UGM dulunya De facto adalah gabungan dari beberapa sekolah tinggi yang lebih dahulu berdiri, seperti Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada, Akademi Ilmu Politik yang ada di Jogja, Sekolah Tinggi Teknik, Perguruan Tinggi Kedokteran Bagian Pra Klinis di Klaten, dan Balai Pendidikan Ahli Hukum di Solo.
De jure berdirinya UGM disahkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1949 tentang Peraturan Penggabungan Perguruan Tinggi menjadi Universteit.
Saat awal didirikan UGM hanya terdiri dari 6 (enam) fakultas, yaitu Fakultas Kedokteran, Fakultas Hukum, Fakultas Teknik, Fakultas Sastra & Filsafat, Fakultas Pertanian, dan Fakultas Kedokteran Hewan.
Kemudian, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1950 pada 14 Agustus 1950 (Peraturan Sementara tentang UGM), perguruan tinggi ini mempunyai 6 fakultas, yakni: 1. Fakultas Kedokteran, Kedokteran Gigi dan Farmasi, 2. Fakultas Hukum, Sosial, & Politik, 3. Fakultas Teknik, 4. Fakultas Sastra, Pedagogik, dan Filsafat, 5. Fakultas Pertanian, dan 6. Kedokteran Hewan.
Pada 1951, pembangunan kampus di Bulaksumur pun dimulai. Selanjutnya, saat dekade 1960-an UGM telah mempunyai berbagai fasilitas lainnya seperti rumah sakit, pemancar radio, dan sarana lainnya sebagai pendukung perkuliahan sekaligus melayani kebutuhan masyarakat. UGM sempat juga membuka cabang Fakultas Hukum, Sosial, dan Politik di Surabaya pada 19/7/1952.
Namun cabang di Surabaya ini diserahkan kepada Universitas Airlangga (UNAIR) pada November 1954. Meski demikiab saat inipun UGM juga memiliki kampus di Daerah Khusus Jakarta (DKJ), terletak di Jl. Dr Sahardjo, Manggarai, Tebet, Jakarta Selatan.
Jadi, tujuan utama dari Penyelenggaraan Nitilaku 2024 ini adalah agar prinsip "JasMerah" (JAngan Sekali-kali MEninggalkan sejaRAH) tetap diresapi oleh seluruh Alumni UGM khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Memang biasanya route dari Nitilaku adalah dari Kraton ke Kampus UGM (melewati Jalan Malioboro, Kotabaru, Cik Ditiro), namun tahun ini dipersingkat hanya dari Wisma Kagama di Bunderan Bulaksumur ke Gedung Balairung/Gedung Pusat UGM, karenanya banyak masukan agar route asli Nitilaku dari Kraton ke Bulaksumur dilaksanakan lagi pada tahun mendatang.
Selain diikuti oleh Rektor UGM, Prof. dr Ova Emilia, MMedEd,Sp.OG(K), PhD dan jajaran Wakil Rektor serta seluruh Dekan dan Civitas Akademika UGM, tampak pula berjalan sejak start sampai finish diantaranya adalah para Alumnus UGM Prof Mahfud MD, Mas Ganjar Pranowo, Gusti Prabu, serta 50-an Komunitas atau kelompok di lingkungan Kagama dan UGM.
Namun memang jangan berharap bisa menemukan Mukidi (atau Mulyono) dalam kegiatan Nitilaku hari itu atau berani datang di Malam Temu Alumni Kagama UGM kemarin, karena memang nama tersebut secara de facto dan de jure adalah bukan Alumnus UGM Asli.
Kesimpulannya, Lustrum ke-15 sekaligus Hari Jadi UGM ke-75 tahun 2024 ini (sekaligus dengan pengukuhan PP Kagama periode 2024-2029) adalah momentum penting Kampus Kerakyatan di Jogja ini untuk melakukan Refleksi dengan "Nitilaku" pada kemurnian dan keaslian sejarahnya:
UGM harus berani mengatakan "benar kalau memang benar dan salah kalau memang salah", termasuk kepada hal-hal yang masih menjadi pertanyaan besar di masyarakat selama ini.
Karena harus sesuai dengan alinea kedua Hymne Gadjah Mada yang selalu dinyanyikan Alumninya dalam setiap acara resmi di UGM: "Bagi kami almamater kuberjanji setia, Kupenuhi dharma bakti tuk Ibu Pertiwi, Di dalam persatuanmu jiwa seluruh bangsaku, Kujunjung kebudayaanmu kejayaan Nusantara ..." (*)