Parcok

Fenomena Parcok atau Partai Coklat menggambarkan persoalan mendasar dalam sistem hukum dan politik di Indonesia, di mana aparat hukum tidak dapat menjalankan fungsi utamanya karena intervensi politik.

Oleh: Radhar Tribaskoro, Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia

DI Indonesia, pemilu seringkali bukan hanya soal kompetisi antar kandidat atau partai politik, tetapi juga tentang bagaimana berbagai institusi negara memainkan perannya.

Salah satu fenomena yang semakin sering diperbincangkan adalah "Parcok" atau "Partai Coklat" – sebuah metafora untuk menggambarkan aparat penegak hukum yang menyalahgunakan kekuasaan mereka untuk memengaruhi proses pemilu.

Parcok itu mencerminkan kenyataan di mana aparat hukum yang seharusnya berperan sebagai penjaga netralitas justru ikut berkecimpung dalam dinamika politik, menggunakan wewenang mereka untuk mendorong preferensi pemilih ke arah kandidat tertentu.

Dalam sistem demokrasi, aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan lembaga terkait lainnya diharapkan memiliki peran untuk menjaga netralitas, memastikan proses yang jujur, dan melindungi hak setiap individu dalam berpolitik.

Namun, di Indonesia, fenomena Parcok mengindikasikan bahwa aparat hukum seringkali berada di pihak tertentu. Mereka mungkin mengkriminalisasi lawan politik atau menekan kandidat oposisi melalui proses hukum yang tidak adil.

Sekarang mereka memperluas peran dengan mengintimidasi atau mengiming-iming tokoh-tokoh masyarakat, membagikan bantuan sosial negara, dan mengerahkan preman untuk menakuti rakyat. Aparat yang seharus menjaga pemilu agar jujur adil justru menyimpangkannya.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan tentang otonomi lembaga penegak hukum dan sejauh mana mereka dapat berfungsi tanpa campur tangan politik. Selain itu, Parcok menciptakan ketidakadilan struktural dalam proses pemilu yang pada dasarnya menghilangkan kesempatan yang setara bagi setiap kandidat untuk bersaing.

Parcok Menurut Perspektif Sistem

Niklas Luhmann adalah seorang sosiolog Jerman yang terkenal dengan teorinya tentang sistem sosial. Menurut Luhmann, masyarakat terdiri dari berbagai subsistem (politik, hukum, ekonomi, moral, agama, dst), yang memiliki fungsi khusus dan bekerja berdasarkan logika operasional mereka sendiri. Logika operasional itu menentukan cara berpikir, cara berkomunikasi, dan cara bekerja.

Subsistem hukum misalnya, memiliki fungsi memberikan keadilan tanpa memandang kekuasaan politik. Subsistem tersebut beroperasi dengan menggunakan kode komunikasi legal/illegal untuk membantu mereka menentukan apa yang dianggap relevan dalam konteks operasional masing-masing.

Maksudnya, saat polisi menyelidiki suatu perbuatan (kejahatan) mereka mencari informasi yang relevan dengan apakah perbuatan itu melanggar hukum atau tidak. Mereka akan mengabaikan apapun yang tidak berkaitan dengan perbuatan legal/ilegal.

Mengapa sistem hukum harus seperti itu? Luhmann menjelaskan, sistem sosial berdiferensiasi secara fungsional untuk menyederhanakan kompleksitas sosial yang terus meningkat.

Diferensiasi itu melahirkan subsistem yang berfungsi membuat keputusan kolektif yang mengikat (subsistem politik); menegakkan keadilan (subsistem hukum); mengkoordinasikan kegiatan produksi dan distribusi (subsistem ekonomi), mengembangkan nilai, norma dan tradisi untuk panduan sosial (subsistem budaya), dan sebagainya.

Diferensiasi fungsional itu berlangsung secara bertahap. Sistem politik misalnya berevolusi dari pengambilan keputusan kolektif yang dibuat oleh satu orang menjadi beberapa orang dan sekarang keputusan seperti itu mesti oleh semua orang, setidaknya oleh perwakilan mereka. Dengan kata lain, demokrasi adalah fenomena emergent yang muncul dari proses interaksi berbagai elemen di masyarakat.

Menurut perspektif sistem, fenomena Parcok dipahami sebagai gangguan diferensiasi fungsional, di mana subsistem hukum tidak lagi bekerja secara independen tetapi justru diintervensi oleh logika politik dan logika ekonomi.

Contoh nyata dari hal ini adalah ketika aparat hukum menindaklanjuti laporan pelanggaran pemilu secara selektif – lebih keras terhadap kandidat oposisi dan lembut terhadap calon petahana atau yang didukung pemerintah.

Ini mengindikasikan bahwa aparat hukum tidak lagi beroperasi berdasarkan kode legal/illegal, melainkan telah disubordinasikan ke dalam logika politik.

Sistem hukum, menurut Luhmann, seharusnya bersifat autopoiesis – artinya, mampu mereproduksi aturan-aturan internalnya dan menjaga keberlangsungan secara mandiri. Namun, intervensi politik dalam penegakan hukum yang terlihat dalam fenomena Parcok menunjukkan bahwa sistem ini tidak lagi autopoietis.

Keputusan untuk menindak atau tidak menindak suatu pelanggaran seringkali diambil bukan berdasarkan prinsip hukum, melainkan pertimbangan politik. Sebagai contoh, para kepala desa acap ditakut-takuti oleh aparat untuk mempertanggung-jawabkan dana desa. Banyak diantara mereka menuruti keinginan aparat asal dana desa tidak dipersoalkan.

Dalam teori Luhmann, sistem yang baik adalah yang mampu membatasi diri dari intervensi eksternal melalui transparansi dan akuntabilitas. Sayangnya, pada fenomena Parcok, institusi penegak hukum tampaknya tidak transparan dalam penegakan hukum selama proses pemilu.

Banyak keputusan hukum yang dirasa tidak berlandaskan pada fakta, tetapi pada siapa yang memiliki kekuasaan lebih besar. Ketika hukum menjadi instrumen kekuasaan, rakyat kehilangan kepercayaan terhadap institusi tersebut.

Sebagaimana ditulis oleh Luhmann (1984) dalam "Social Systems", sistem yang gagal untuk membatasi intervensi eksternal dapat mengalami disfungsi yang serius dan kehilangan legitimasi. Fenomena Parcok menunjukkan kegagalan sistem hukum untuk membatasi intervensi politik dan menjadi alat bagi elite kekuasaan, sehingga terjadi degradasi nilai hukum.

Penetrasi Logika Ekonomi

Disfungsi kepolisian akibat subordinasi logika hukum di bawah logika politik menjadi semakin parah oleh penetrasi logika ekonomi. Logika ekonomi bekerja menurut kode untung/rugi.

Ketika logika ekonomi ini menembus logika hukum dan membentuk narasi “polisi yang bekerja untuk kepentingan politik penguasa akan menjadi kaya”, maka kerusakan di dalam tubuh kepolisian akan menjadi masif.

Intervensi logika eksternal (politik dan ekonomi) kepada logika hukum di institusi kepolisian tersebut menyebabkan institusi itu kehilangan fokus fungsi utamanya dan memicu krisis identitas epistemik.

Krisis itu mengakibatkan sebagian aparat tidak lagi memahami dengan jelas standar moral atau profesional yang harus diikuti. Kasus Ferdy Sambo, polisi tembak polisi, polisi melindungi penambangan liar, penembakan laskar FPI, polisi terlibat sindikat narkoba, dsb, menunjukkan kepolisian tidak konsisten dengan misinya sebagai penjaga hukum, ketidaksesuaian antara tindakan di lapangan dan nilai dasar institusi, ketidakseimbangan antara tugas melindungi masyarakat dan menjaga ketertiban dengan hak asasi manusia, dsb.

Krisis identitas epistemik ini sekarang menghantui Kepolisian RI. Krisis itu menjelma dalam bentuk krisis nilai ketika aparat diminta untuk bertindak sesuai dengan agenda politik atau ekonomi, mereka menghadapi konflik antara norma hukum dan tuntutan eksternal.

Hal ini menciptakan ambiguitas tentang apa yang benar atau salah secara etis dan profesional. Manifestasi lain adalah terjadinya erosi kepercayaan internal di mana aparat yang melayani agenda politik atau ekonomi kehilangan rasa hormat terhadap institusi mereka sendiri, yang dapat menyebabkan perilaku tak bermoral.

Krisis identitas tersebut juga memicu krisis kepemimpinan ketika kepemimpinan kepolisian yang terkooptasi oleh oligarki politik dan ekonomi memperburuk epistemic chaos dengan memberikan contoh buruk dan melemahkan kontrol institusional.

Dampak Sosial dari Fenomena Parcok

Fenomena Parcok tidak hanya berdampak pada tatanan hukum, tetapi juga pada struktur sosial dan dinamika masyarakat secara keseluruhan. Keterlibatan aparat hukum tersebut dalam pemilu untuk mendukung kepentingan politik tertentu menyebabkan penurunan kepercayaan publik terhadap institusi hukum.

Rakyat menyaksikan bagaimana hukum diperalat untuk menguntungkan pihak-pihak yang berkuasa, yang pada gilirannya menciptakan apatisme dan ketidakpercayaan terhadap proses pemilu. Kedua, dalam sebuah demokrasi, pemilu yang bebas dan adil adalah salah satu prinsip fundamental.

Ketika aparat penegak hukum itu ikut campur dalam pemilu untuk memihak satu pihak, integritas demokrasi menjadi dipertanyakan. Fenomena Parcok mengarah pada pemilu yang prosedural tetapi kehilangan substansinya, karena tak ada jaminan bahwa semua kandidat bersaing dengan peluang yang setara.

Ketiga, keberpihakan aparat hukum pada pihak tertentu dalam pemilu sering kali mengarah pada polarisasi di tengah masyarakat. Mereka yang merasa dirugikan oleh ketidakadilan hukum akan semakin terpecah dengan kelompok yang mendapat keuntungan.

Fenomena ini hanya memperburuk hubungan sosial dan menciptakan ketegangan horizontal yang terus meningkat.

Perlukah Mengembalikan Kepolisian Kedalam Kendali Kemendagri?

Bahwa kepolisian membutuhkan independensi, yaitu kemampuan untuk menjalankan tugas dan fungsinya bebas dari pengaruh atau campur tangan pihak eksternal, terutama kekuasaan politik, ekonomi, atau kelompok tertentu, sehingga dapat bertindak sesuai dengan prinsip hukum, etika profesional, dan kepentingan masyarakat secara adil.

Meletakkan kepolisian di bawah presiden atau kemendagri tidak akan memperbaiki independensi. Sebaliknya justeru, hal tersebut akan meningkatkan risiko politisasi, konflik kepentingan, dan ketergantungan struktural. Kepolisian mesti ditempatkan sebagai lembaga independen.

Dengan independensi, kepolisian dapat menjalankan hukum tanpa memihak, agar bisa memberikan keadilan yang setara kepada semua pihak. Jika kepolisian independen, ia tidak akan digunakan sebagai alat politik untuk menyerang lawan atau melindungi sekutu politik.

Kepolisian yang independen dapat lebih efektif melindungi hak-hak masyarakat tanpa tertekan oleh kekuasaan politik atau ekonomi. Masyarakat pun akan lebih percaya pada institusi kepolisian yang netral dan profesional, sehingga menciptakan hubungan yang lebih harmonis antara aparat dan warga.

Menciptakan Kepolisian yang Independen

Kepolisian yang independen bertanggung-jawab (akuntabel) kepada kepada hukum dan masyarakat melalui pengawasan eksternal yang efektif. Ini akan memastikan, kepolisian dapat menjalankan tugasnya secara profesional, netral, dan transparan. Jadi ada 4 elemen penting independensi kepolisian.

Pertama, otonomi operasional. Ini berarti kepolisian memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan operasional tanpa intervensi dari eksekutif, legislatif, atau pihak lain. Sebagai contoh, penyelidikan kasus kriminal tidak boleh dipengaruhi oleh tekanan politik atau ekonomi.

Kedua, netralitas dimana kepolisian harus bersikap netral dalam menjalankan tugasnya, tanpa memihak pada kelompok politik, agama, atau ekonomi tertentu. Netralitas memastikan penegakan hukum yang adil dan tidak diskriminatif. Ketiga, Akuntabilitas, yaitu kepolisian bertanggung jawab kepada hukum, masyarakat, dan badan pengawas yang netral.

Transparansi dan mekanisme pengawasan eksternal diperlukan untuk memastikan bahwa independensi tidak disalahgunakan. Dan keempat profesionalisme yang menekankan bahwa keputusan dan tindakan kepolisian harus didasarkan pada hukum, fakta, dan keahlian profesional, bukan pada kepentingan politik atau pribadi.

Penutup

Fenomena Parcok atau Partai Coklat menggambarkan persoalan mendasar dalam sistem hukum dan politik di Indonesia, di mana aparat hukum tidak dapat menjalankan fungsi utamanya karena intervensi politik.

Dengan menggunakan perspektif sistem, kita dapat melihat bahwa gangguan diferensiasi fungsional dan intervensi politik menyebabkan disfungsi pada sistem hukum, yang pada gilirannya menggerus kepercayaan masyarakat terhadap proses pemilu dan prinsip-prinsip demokrasi.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan reformasi struktural yang memperkuat diferensiasi antara sistem hukum dan politik, memastikan otonomi dan independensi lembaga penegak hukum, serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengawasi jalannya proses pemilu.

Hanya dengan cara ini, kita dapat mengembalikan keadilan dan netralitas dalam proses demokrasi, serta menjaga agar hukum tetap berfungsi sebagaimana mestinya sebagai penjaga keadilan, bukan alat kekuasaan.

Sebagaimana dikatakan oleh Luhmann, “A system that loses its autonomy will soon lose its legitimacy” – sistem yang kehilangan otonominya akan segera kehilangan legitimasinya. Sudah saatnya hukum di Indonesia kembali ke jalur yang benar, demi demokrasi yang lebih baik dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. (*)