Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Berbasis ICZM, Peran Nyata Perguruan Tinggi Mengatasi Permasalahan Kemiskinan Nelayan
Oleh karena itu, kelompok nelayan berfungsi sebagai saluran komunikasi antara masyarakat dan pemerintah serta sebagai platform yang efektif untuk mengembangkan keterampilan dan potensi nelayan guna meningkatkan daya saing.
Oleh: Mohammad Izzuddin J, Mahasiswa Pascasarjana Teknik Kelautan – ITS
Menurut Badan Pusat Statistik, Pemerintah Indonesia terus optimis menekan angka kemiskinan secara berkelanjutan dan berhasil mencapai angka 9.36% pada Maret tahun 2023, lebih rendah 0.18% dari tahun 2022.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah dalam mengentas permasalahan kemiskinan. Salah satunya pada tahun 2022, Indonesia berusaha untuk menganggulangi kemiskinan ekstrim di 212 kabupaten/kota dengan prosentase 69% diantaranya adalah wilayah pesisir dengan total penduduk hingga 1.3 juta jiwa.
Hal ini menunjukkan trend bahwasannya kantong-kantong kemiskinan ekstrim masih didominasi oleh masyakarat pesisir yang perlu mendapatkan perhatian yang lebih dari pemerintah. Pola ini masih tidak banyak berubah terhadap pola pada tahun sebelumnya pada tahun 2021 yang menunjukkan bahwasannya tingkat kemiskinan ekstrim di wilayah pesisir bahkan 4.75% lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kemiskinan rata-rata nasional.
Salah satu indikator yang dapat digunakan dalam menilai tingkat kemiskinan suatu wilayah adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dilansir dari BPS, IPM bisa menjelaskan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan dan sebagainya.
Indikator penilaian ini awalnya diperkenalkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) pada tahun 1990 dan dipublikasikan secara berkala dalam laporan tahunan Human Development Report (HDR).
IPM sendiri dibentuk oleh 3 (tiga) dimensi dasar yaitu: 1. Umur Panjang dan hidup sehat; 2. Pengetahuan/ tingkat pendidikan; 3. Standar hidup layak.
Kenyataannya, tingkat pendidikan yang rendah dan kurangnya motivasi di daerah pesisir diduga berperan sebagai salah satu penyebab utama kemiskinan struktural di kalangan nelayan. Sikap yang menunjukkan ketidakberdayaan terhadap situasi yang ada, yang membuat kelompok ini kesulitan untuk melanjutkan pendidikan dan akses yang layak.
Hal ini diperburuk oleh pandangan umum di lapangan bahwa pendidikan tinggi tidak diperlukan jika hanya untuk mencari nafkah dengan cara berlayar di laut.
Di samping itu, kekurangan fasilitas kesehatan yang memadai juga diidentifikasi sebagai salah satu tanda kelemahan perlindungan kesehatan masyarakat pesisir terhadap berbagai masalah kesehatan. Mereka menjadi lebih rentan terhadap penyakit karena layanan medis yang kurang memadai.
Selain itu, kepatuhan terhadap praktik Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) juga belum sepenuhnya terwujud dalam masyarakat pesisir. Kondisi tempat tinggal yang seringkali non-permanen dan kurang layak menyebabkan usia harapan hidup masyarakat pesisir menjadi rendah.
Beragam kompleksitas permasalahan yang menjadi penyebab terjadinya kemiskinan di kalangan masyarakat pesisir ini memerlukan tindakan konkret.
Jeffrey Sachs dalam bukunya "The End of Poverty" menyoroti bahwa pendidikan dan akses layanan kesehatan adalah kunci untuk mengatasi kemiskinan. Oleh karena itu, Perguruan Tinggi memegang peran penting sebagai pusat pembelajaran dalam program Pengabdian Masyarakat, yang diharapkan mampu memberikan harapan bagi masyarakat pesisir.
Dalam mengatasi permasalahan yang cukup kompleks tersebut tentunya dibutuhkan suatu metode untuk mengintegrasikan seluruh aspek-aspek penyelesaian berbasis ICZM (Integrated Coastal Zone Management).
ICZM merupakan konsep pengelolaan pesisir yang mengikut sertakan peran masyarakat, (pemberdayaan masyarakat) sehingga diharapkan masyarakat akan turut merasa memiliki tanggung jawab terhadap kawasan pesisir yang menjadi daerah huniannya.
Peran masyarakat, pemerintah, NGOs, dan Perguruan Tinggi harus saling bersinergi jika memang ingin benar-benar mengentaskan permasalahan masyarakat pesisir sesuai dengan nawacita Presiden Jokowi dengan mengusung konsep “Membangun Indonesia dari Pinggiran” serta “ Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia Indonesia”.
Hingga sampai saat ini, pemerintah – yang diwakili oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) telah melakukan pendekatan-pendekatan untuk mengatasi permasalahan kemiskinan masyarakat pesisir melalui 5-point pendekatan yaitu:
Pertama; Penciptaan lapangan pekerjaan alternatif sebagai sumber pendapatan lain bagi keluarga nelayan.
Pengembangan mata pencaharian alternatif ini kemudian dapat diartikan sebagai nilai tambah dari suatu produk. Kebanyakan dari nelayan biasanya hanya menjual produk secara mentah ke distributor (pengepul) tanpa mengolahnya terlebih dahulu, padahal jika bahan baku (ikan tangkap) dapat ditingkatkan mutunya tentunya dapat dikonversi menjadi suatu bahan jadi yang terdapat nilai tambah tersendiri misalkan produk kerupuk ikan, abon ikan, pengasapan ikan, pembuatan bakso ikan, dan lain sebagainya.
Kedua; Mendekatkan masyarakat dengan sumber modal.
Masalah permodalan seringkali menjadi hambatan bagi komunitas nelayan. Kendala ini melibatkan kesulitan dalam mengakses sumber dana, administrasi yang rumit, dan kurangnya pemahaman tentang lembaga-lembaga pendanaan. Sebagai hasilnya, banyak nelayan enggan untuk mengajukan pinjaman bergulir.
Sebagian besar nelayan masih bergantung pada sumber modal yang mereka peroleh sendiri, seperti penggunaan keuntungan usaha, pinjaman dari anggota keluarga, atau sumber keuangan informal lainnya.
Pemerintah saat ini telah mencoba mengatasi masalah ini melalui skema pembiayaan makro yang sesuai dengan peraturan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perikanan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
Pembiayaan mikro bagi nelayan ini dikelola oleh Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan (LPMUKP), yang merupakan Badan Layanan Umum di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Dana permodalan ini disalurkan melalui kerja sama dengan Lembaga Keuangan Mikro (LKM), LKM Syariah, serta Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan BPR Syariah yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Ketiga; Mendekatkan masyarakat dengan sumber teknologi baru yang lebih berhasil dan berdaya guna.
Selaras dengan point 1 yang menyebutkan bahwasannya untuk meningkatkan nilai tambah suatu produk tentunya diperlukan suatu teknologi baru yang harus hadir dalam masyarakat pesisir. Peran dari Perguruan Tinggi sangat dibutuhkan terhadap percepatan implementasi dan inovasi penggunaan teknologi untuk meningkatkan kapasitas produksi masyarakat pesisir sehingga pendapatan dapat dioptimalkan. Program-program percepatan implementasi teknologi ini dapat dituangkan dalam bentuk kerjasama atau Program Kemitraan Masyarakat dan atau Stimulus (PKM/S).
Keempat; Mendekatkan masyarakat dengan pasar.
Riset terhadap pangsa pasar merupakan peranan penting sejauh mana produk-produk yang telah di produksi oleh masyarakat nelayan mampu terserap dengan baik dan diterima oleh pasar. Perguruan tinggi mungkin dapat berafiliasi oleh start-up dengan skema pendanaan dari pemerintah dapat dijadikan sebagai batu lonjakan terhadap pemahaman literasi masyarakat nelayan terhadap akses pasar dan bagaimana melihat suatu peluang.
Proses transfer ilmu diantara stakeholder diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada masyarakat bagaimana produk-produk yang telah memiliki nilai tambah tersebut mampu diterima dengan oleh oleh pasar.
Kelima; Membangun solidaritas serta aksi kolektif di tengah masyarakat.
Kelompok nelayan merupakan wadah di mana nelayan berkumpul untuk mencapai tujuan bersama dan sebagai alat untuk pertukaran informasi guna meningkatkan pendapatan. Pembentukan kelompok nelayan bertujuan utama untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi oleh nelayan dalam kehidupan mereka.
Oleh karena itu, kelompok nelayan berfungsi sebagai saluran komunikasi antara masyarakat dan pemerintah serta sebagai platform yang efektif untuk mengembangkan keterampilan dan potensi nelayan guna meningkatkan daya saing.
Wujud nyata program riset berbasis pengabdian pada masyarakat yang telah dilakukan oleh Perguruan Tinggi diantaranya yang pernah dilakukan oleh Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) di mana telah banyak membantu masyarakat pesisir dengan memadukan konsep ICZM diantaranya adalah penerapan blue economy dalam sektor pariwisata di wilayah Banyuwangi dengan mengangkat tema eco-tourism.
Penerapan eco-tourism yang mampu memberdayakan masyarakat pesisir sebagai pelaku utama dalam pengelola pariwisata serta meningkatkan nilai tambah dari pendapatan daerah mampu memberikan kontribusi positif terhadap perekonomian di daerah pesisir. (*)