Pemimpin Yang Dewasa

Bangsa ini punya pengalaman mendapatkan Presiden yang berkarakter dewasa, seperti BJ Habibie, Gus Dur (Abdurrahman Wahid) dan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), tidak anti kritik dan bahkan menghargai perbedaan.

Oleh: Isa Ansori, Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya

MENJADI tua itu pasti, menjadi dewasa itu belum tentu. Tampaknya ungkapan itulah yang tepat untuk melihat karakter para capres dalam debat pertama semalam, Selasa, 12 Desember 2023.

Untuk mengurai itu, kita perlu membedah dengan pisau analisa Transactional Analysis. Dalam Transactional Analysis, Eric Berne mengurai karakter manusia dalam berkomunikasi ada tiga.

Eric Berne adalah seorang psikiater kelahiran Kanada yang menciptakan teori analisis transaksional sebagai cara untuk menjelaskan perilaku manusia.

Pertama karakter anak, yang lebih merepresentasikan sifat-sifat anak, misalnya selalu ingin agar diperhatikan, menang sendiri, mudah marah kalau merasa terganggu, egois dan hal-hal lain yang merepresentasikan karakter anak.

Kedua karakter orang tua, di mana dalam karakter orang tua digambarkan orang suka menasehati, suka menyalahkan, anti kritik, dan merasa benar sendiri, kadang juga mengayomi dan bijak, tetapi mudah tersinggung bila dirasa ada yang berbeda dengan pendapatnya.

Lalu yang ketiga adalah karakter dewasa, lebih rasional, mau mendengar, bijak, bisa memahami, solutif dan tentu saja tenang mampu mengendalikan diri dan emosinya.

Tampaknya dari ketiga pisau analisa di atas, Capres Prabowo Subianto, lebih banyak menampilkan karakter orang tua dan anak-anak, meledak-ledak, mudah tersinggung dan mau menangnya sendiri.

Semisal dalam sesi tanya-jawab bagaimana menangani persoalan Papua, jawaban Prabowo lebih menampakkan karakter prajurit yang pilihannya adalah kalah atau menang, tidak ada pilihan jalan tengah dialog win-win solution, baru setelah Anies dan Ganjar Pranowo mengedepankan konsep dialog, Prabowo sigap menyetujui. Anies lebih solutif, jalan tengah yang ditawarkan yaitu bagaimana menghadirkan keadilan kepada masyarakat Papua.

Pada sesi bagaimana menjaga demokrasi, Anies menawarkan solusi dalam rangka menjaganya. Ada tiga hal yang ditawarkan.

Pada sesi penguatan demokrasi, Anies menawarkan solusi dalam rangka menjaganya. Anies juga menyebutkan bahwa kepercayaan publik sangat rendah.

Untuk membenahi hal ini Anies menyebutkan ada tiga tiga hal yang menyebabkan demokrasi bisa berjalan baik, yaitu adanya kebebasan berbicara, adanya oposisi yang bebas mengkritik pemerintah sebagai penyeimbang dan adanya proses pemilu, proses pilpres yang netral, jujur dan adil.

Namun sayangnya merepson penjelasan Anies, Prabowo merespon dengan kekuatan emosi yang tinggi seolah menahan marah.

"Mas Anies, Mas Anies, Mas Anies ini dipilih dalam proses demokrasi yang dikeluhkan. Menghadapi pemerintah yang berkuasa, kalau demokrasi nggak berjalan, anda tidak mungkin jadi gubernur, kalau Jokowi diktator anda tidak mungkin jadi gubernur," ungkap Prabowo dengan nada tinggi dan wajah geram.

Tampak sekali Prabowo sangat terganggu dengan paparan Anies. Hal wajar sebetulnya, karena Prabowo menjadi bagian dari pemerintahan Jokowi ini. Namun, cara merespon yang berlebihan menunjukkan ketidakdewasaan Prabowo. Terlihat sekali Prabowo anti kritik.

Ganjar lebih santai menanggapi pernyataan Anies, karena Ganjar juga mengalami hal yang sama sebagaimana yang dirasakan oleh Anies, adanya dugaan pelaksanaan pemilu yang tidak adil, tidak netral dan tidak jujur.

Setidaknya dari seluruh alur debat pada hari pertama, masyarakat bisa melihat karakter capres yang ada.

Indonesia butuh pemimpin yang berkarakter dewasa, karakter yang rasional, tenang, bijak, tidak anti kritik, mau mendengar dan sangat terbuka dengan masukan.

Kita tak bisa membayangkan Indonesia akan jadi apa bila karakter pemimpin ke depan seperti karakter anak-anak dan orang tua, yang mau menang sendiri, merasa benar, egois, minta dilayani dan seringkali anti perbedaan pendapat.

Bangsa ini punya pengalaman mendapatkan Presiden yang berkarakter dewasa, seperti BJ Habibie, Gus Dur (Abdurrahman Wahid) dan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), tidak anti kritik dan bahkan menghargai perbedaan.

Contoh indah yang lain adalah bagaimana Soekarno dan Buya Hamka, meski mereka berbeda dalam pilihan politik, tapi sikap Buya Hamka tetap santun kepada Soekarno. (*)