Pidato Prabowo Seperti Menyematkan “Keris Mpu Gandring” di Pinggangnya

Tidak ubahnya dengan pergantian presiden Indonesia. Suharto mengkhianati Sukarno yang sudah membesarkannya. Habibie mengkhianati Suharto yang membesarkannya. Megawati mengkhianati Gus Dur, gurunya. SBY mengkhianati Megawati yang membesarkannya.

Oleh: Nirmal Ilham, Tenaga Ahli DPR RI

KONTROVERSI terjadi ketika pidato Prabowo Subianto mengatakan, untuk apa pembangunan berbagai infrastruktur kalau negara tidak aman. Dari pidato itu seperti ada usaha Prabowo untuk membesarkan pekerjaannya sebagai Menteri Pertahanan. Dan, dia mengerdilkan pekerjaan Joko Widodo dalam membangun infrastruktur.

Apakah Prabowo telah menyematkan Keris Mpu Gandring di pinggangnya?

Pidato PM Inggris, Winston Churchill “Kita Akan Berperang di Pantai” di hadapan parlemen pada 4 Juni 1940 menjadi begitu ikonik.

“Meskipun sebagian besar wilayah Eropa telah jatuh ke dalam cengkeraman pemerintahan Nazi yang menjijikkan, kita tidak akan menyerah. Kita akan berperang sampai akhir. Kita akan berperang dengan keyakinan yang besar. Kita akan berperang di udara. Kita akan berperang di laut. Kita akan berperang di pantai. Kita akan berperang di darat, di ladang di perbukitan dan di jalanan.”

Pidato digunakan oleh para pemimpin, kaum revolusioner dan penyebar agama untuk membujuk orang agar berpikir dan berperilaku berbeda. Dalam ilmu komunikasi, ini termasuk komunikasi kampanye. Yaitu tindakan komunikasi yang terencana atau terorganisasi yang diarahkan pada khalayak tertentu, pada periode tertentu, guna mencapai tujuan tertentu.

Pidato presiden terpilih Prabowo di depan calon perwira TNI-Polri pada 13 Juli 2024, sangat mirip dengan pidato Churchill yang legendaris itu. “Untuk apa kita bangun gedung-gedung, pelabuhan, bandara. Untuk apa kita bangun jalan raya. Untuk apa kita bangun waduk. Kalau negara ini tidak utuh, tidak aman, tidak terlindungi.”

Dari pidato tersebut patut diduga Prabowo sedang membujuk orang-orang intelektual agar berpikir berbeda dan berperilaku berbeda. Yaitu berpikir mencermati pembangunan berbagai infrastruktur oleh Presiden Jokowi. Dan, berperilaku agar menimbang apakah Jokowi pantas untuk dikenang sebagai Bapak Infrastruktur Indonesia.

Sepuluh tahun pemerintahan Jokowi ini harus diakui adanya perubahan besar dalam infrastruktur. Jokowi tampak ingin dikenang sebagai Bapak Infrastruktur Indonesia. Usaha yang positif mengingat sebelumnya, Presiden SBY dikenang sebagai Bapak Pencitraan Indonesia. Hanya pandai bersolek, berkata-kata dan berkeluh kesah. Tak ada pembangunan yang berarti. Tapi utang besar-besaran terjadi.

Namun usaha Jokowi untuk meninggalkan legacy-nya itu, sepertinya mulai dipertanyakan Prabowo. Seolah Prabowo mengajak kaum intelektual untuk mengamati berbagai infrastruktur yang dibangun Jokowi. Mulai dengan melihat kualitas kekuatan pembangunan infrastruktur Jokowi. Di mana ada Jalan Tol yang ambles, jembatan yang rubuh, dan bendungan yang jebol.

Kemudian, Prabowo memperhatikan nilai ekonomis pembangunan infrastruktur Jokowi. Di mana Kereta Cepat Jakarta – Bandung akan mencapai nilai ekonomis paling cepat setelah 50 tahun. Kemudian mengamati kelayakan pembangunan infrastruktur Jokowi. Di mana Pembangunan IKN mengenyampingkan AMDAL. Pembangunan Bandara Kertajati mengenyampingkan feasibility study dst.

Pidato Prabowo memiliki pesan yang sederhana dan tidak ada unsur bermain politik bagi orang yang tidak dapat memahaminya. Tetapi mempunyai makna terselubung yang sangat politis dan menohok, bagi yang menyadarinya. Hal itu sebenarnya bukan sesuatu yang aneh dalam politik perebutan kekuasaan di Jawa. Sejarah pergantian para raja Jawa adalah sejarah pengkhianatan.

Yang diidentikan dengan Keris Mpu Gandring. Sebuah senjata pusaka dengan fakta sejarah yang melegenda. Keris Mpu Gandring melekat dengan berdirinya Kerajaan Singhasari. Naiknya Ken Arok sebagai raja pertama. Kisah cintanya dengan Ken Dedes yang keturunannya akan melahirkan raja-raja Jawa.

Serta pergantian para raja sejak Anusapati menancapkan Keris Mpu Gandring ke tubuh Ken Arok, yang telah membesarkannya.

Keris Mpu Gandring kemudian berubah makna menjadi pengkhianatan di antara para raja Jawa.

Tidak ubahnya dengan pergantian presiden Indonesia. Suharto mengkhianati Sukarno yang sudah membesarkannya. BJ Habibie mengkhianati Suharto yang membesarkannya. Megawati mengkhianati Gus Dur, gurunya. SBY mengkhianati Megawati yang membesarkannya.

Dan, pada akhirnya Jokowi juga mengkhianati SBY yang menaikinya. Tidak ada jeda sekalipun dari proses pengkhianatan. Sehingga wajar banyak pihak beranggapan pidato Prabowo mengisyaratkan pengkhianatan mulai terjadi. (*)