Pilpres dan Pendukungnya Pengecut: Mengganti Tatanegara Dengan Neo Liberalism
Apa yang dilakukan para pengamandemen UUD 1945 seharusnya malu telah menguubah Pancasila dengan kosep gotong-royong dan keadilan sosial, menjiplak dari bangsa lain dan negara didasarkan atas individualisme, liberalisme, dan Kapitalisme.
Oleh: Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Kajian Rumah Pancasila
DALAM Sidang II BPUPKI, Panitia Kecil Perancang UUD, setelah mengkaji belasan konstitusi dari negara-negara merdeka dan berpengaruh di dunia, seperti Konstitusi-konstitusi USA, Inggris, Weimar (Nama sebelum menjadi Jerman), Jermania, Perancis, Belanda, Cekoslovakia, Jepang, Philipina, Uni Sovyet, Burma, dan lain-lain, BPUPKI kemudian lebih memilih sistem sendiri dalam ketata-negaraannya. Yang dikenal oleh dunia pada saat itu adalah sistem presidensial (USA) dan sistem parlementer (Inggris).
Sistem presidensial ala USA, ditolak. Sistem parlementer ala Inggris juga ditolak. Panitia Kecil Perancang UUD kemudian menciptakan apa yang kemudian disebut dengan Sistem Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). MPR ini dirancang sebagai penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia.
Sistem MPR ini diyakini merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat itu sendiri, bukan kedaulatan individu. Kedaulatan rakyat di dalam keanekaragaman rakyat Indonesia yang ber-bhinnekat unggal Ika baik dalam suku, agama, ras, golongan adat istiadat maupun bahasa.
Di dalam MPR inilah seluruh rakyat Indonesia melalui wakil-wakilnya berkumpul atau dikumpulkan (collecting) untuk melakukan permusyawaratan guna merumuskan haluan negara (GBHN), memilih dan meminta pertanggungjawaban presiden/wakil presiden,serta membuat dan mengubah Undang-undang Dasar.
Kedaulatan rakyat (bukan kedaulatan individu) adalah kedaulatan rakyat dalam pengertian jamak, bukan individu. Sesuai dengan sifat sosial dari masyarakat yang hidup dalam kelompok-kelompok, maka dengan keterwakilan dari kelompok-kelompok, golongan-golongan itulah rakyat terwakili kedaulatannya di dalam lembaga MPR.
Karena itulah MPR di dalam ketatanegaraan Negara Republik Indonesia sebagai lembaga tertinggi negara.
Sebagai lembaga tertinggi negara, MPR tak bersidang setiap saat atau setiap tahun, tapi sekurang-kurangnya sekali dalam 5 tahun. Ini harus dipahami mengingat MPR sebenarnya bukanlah lembaga politik, seperti Presiden (eksekutif), DPR (legislatif), dan Mahkamah Agung (yudikatif), melainkan lembaga yang menjadi sumber dari kekuasaan dan kedaulatan bagi lembaga-lembaga di bawah MPR (representasi kedaulatan rakyat).
Oleh karena itu, menjadi menarik mencermati penggunaan istilah “Utusan-utusan” dalam susunan MPR. Utusan-utusan ini maksudnya adalah bahwa ‘utusan-utusan’ tersebut datang ke Jakarta hanya ketika bersidang setiap sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun sesuai dengan ketentuan UUD, atau ketika situasi dalam kondisi tertentu sehingga Pimpinan MPR memanggil anggota MPR untuk bersidang.
Jadi, setelah Sidang 5 tahunan itu selesai, utusan-utusan daerah dan utusan-utusan golongan ini kembali ke tempat masing-masing. Setelah itu adalah menjadi kewajiban dari lembaga-lembaga tinggi negara dalam menyelenggarakan pemerintahan dengan mengacu kepada Garis-garis Besar Haluan Negara yang telah dibuat dan ditetapkan oleh Sidang MPR.
Sistem MPR sebagai Sistem Sendiri, sebagai bentuk kreatif dari founding fathers dalam merancang bangunan ketatanegaraan Negara Republik Indonesia.
Para pengamandemen UUD 1945 rupanya tidak memahami sistem pada yang mendasari UUD 1945, akibatnya amandemen yang dilakukan telah merusak sistem bernegara, dan bahkan menghancurkan tata nilai negara dengan tujuan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mari kita kaji apa yang dilakukan Founding Fathers kita.
Cuplikan sidang BPUPKI:
Toean-toean dan njonja-njonja jang terhormat. Kita telah menentoekan di dalam sidang jang pcertama, bahwa kita menjetoedjoei kata keadilan sosial dalam pembukaan.
Keadilan sosial inilah protes kita jang maha hebat kepada dasar individualisme.
Tidak dalam sidang jang pertama saja telah menjitir kata Jaures, jang menggambarkan salahanja liberalisme di zaman itoe, kesalahan demokrasi jang berdasarkan liberalisme itoe.
Tidakkah saja telah menjitir kata Jaures jang menjatakan, bahwa di dalam liberalisme, maka parlemen mendjadi rapat radja-radja, di dalam liberalisme tiap-tiap wakil jang doedoek sebagai anggota di dalam parlemen berkoeasa seperti radja. Kaoem boeroeh jang mendjadi wakil dalam parlemen poen berkoeasa sebagai radja, pada sa'at itoe poela dia adalah boedak belian daripada si madjikan, jang bisa melemparkan dia dari pekerdjaan, sehingga ia mendjadi orang miskin jang tidak poenja pekerdjaan.
Inilah konflik dalam kalboe liberalisme jang telah mendjelma dalam parlementaire demokrasinja bangsa-bangsa Eropah dan Amerika.
Toean-toean jang terhormat. Kita menghendaki keadilan sosial. Boeat apa grondwet menoeliskan, bahwa manoesianja boekan sadja mempoenjai hak kemerdekaan soeara, kemerdekaan hak memberi soeara, mengadakan persidangan dan berapat, djikalau misalnja tidak ada sociale rechtvaardigheid jang demikian itoe? Boeat apa kita membikin grondwet, apa goenanja grondwet itoe kalau ia ta’dapat mengisi “droits de l’homme et du citoyen” itoe tidak bisa menghilangkan kelaparannja orang jang miskin jang hendak mati kelaparan.
Maka oleh karena itoe, djikalau kita betoel-betoel hendak mendasarkan negara kita kepada faham kekeloeargaan, faham tolong-menolong, faham gotong-royong, faham keadilan sosial, enjahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme dari padanja.
Toean-toean jang terhormat. Sebagai tadi poen soedah saja katakan, kita tidak boleh mempoenjai faham individualisme, maka djoestroe oleh karena itoelah kita menentoekan haloean politik kita, jaitoe haloean ke-Asia Timoer Rajaan. Maka ideologie ke-Asia Timoer Raja-an ini kita masoekkan di dalam kenjataan kemerdekaan kita, di dalam pemboekaan daripada oendang-oendang dasar kita.
Toean-toean dan njonja-njoja jang terhormat. Kita rantjangkan oendang-oendang dasar dengan kedaulatan rakjat, dan boekan kedaulatan individu. Kedaulatan rakjat sekali lagi, dan boekan kedaulatan individu. Inilah menoeroet faham panitia perantjang oendang-oendang dasar, satoe-satoenja djaminan bahwa bangsa Indonesia seloeroehnja akan selamat dikemoedian hari.
Djikalau faham kita ini poen dipakai oleh bangsa-bangsa lain, itoe akan memberi djaminan akan perdamaian doenia jang kekal dan abadi.
Marilah kita menoendjoekkan keberanian kita dalam mendjoendjoeng hak kedaulatan bangsa kita, dan boekan sadja keberanian jang begitoe, tetapi djoega keberanian mereboet faham jang salah di dalam kalboe kita.
Keberanian menoendjoekkan, bahwa kita tidak hanja membebek kepada tjontoh2 oendang2 dasar negara lain, tetapi memboeat sendiri oendang2 dasar jang baroe, jang berisi kefahaman keadilan jang menentang individualisme dan liberalisme; jang berdjiwa kekeloeargaan, dan ke-gotong-royongan. Keberanian jang demikian itoelah hendaknja bersemajam di dalam hati kita.
Kita moengkin akan mati, entah oleh perboeatan apa, tetapi mati kita selaloe takdir Allah Soebhanahoewataala. Tetapi adalah satoe permintaah saja kepada kita sekalian:
Djikalau nanti dalam zaman jang genting dan penoeh bahaja ini, djikalau kita dikoeboerkan dalam boemi Indonesia, hendaklah tertoelis di atas batoe nisan kita, perkataan jang boleh dibatja oleh anak-tjoetjoe kita, jaitoe perkataan: “Betoel dia mati, tetapi dia mati tidak sebagai pengetjoet”.
Apa yang dilakukan para pengamandemen UUD 1945 seharusnya malu telah menguubah Pancasila dengan kosep gotong-royong dan keadilan sosial, menjiplak dari bangsa lain dan negara didasarkan atas individualisme, liberalisme, dan Kapitalisme.
Para pengamandemen UUD 1945 ternyata para pengecut. Negara diamandemen hanya untuk kepentingan para oligarki.
Bukan hanya pengamandemen sebagai pengecut mereka yang ikut pilpres-pilpresan dan pendukung nya kata pendiri bangsa adalah para pengecut sebab tidak berani menegakan sistem sendiri tetapi ikut dengan Individualisme, Liberalisme, Kapitalisme. (*)