Prabowo Memang Tak Bisa Legowo

Namun dari gelagat dan perangainya, Prabowo tetap ngotot, maju terus pantang mundur. Kali ini lebih bernafsu lagi, kalau perlu terus nyapres seumur hidup. Tidak ada yang tahu kecuali Tuhan, mungkin Prabowo akan menjadi capres walaupun sampai mati.

Oleh: Yusuf Blegur, Kolumnis, Mantan Presidium GMNI

“SAYA tak butuh jabatan!”. “Ndasmu etik!”. Bicaranya apa, tindakannya apa. Ternyata bukan saja ada yang menjilat air ludahnya yang sudah dibuang. Boleh jadi pula, ada orang yang memakan kotorannya sendiri.

Satu kali cawapres dan dua kali capres, itupun gagal semua. Kini menjelang 2024, memaksakan diri menjadi capres untuk ketigakalinya. Prabowo Subianto seperti diperbudak oleh keinginan dan nafsu kekuasaannya.

Bahkan ia tidak lagi peduli pada usia lanjut dan kesehatannya yang semakin menurun. Idealnya, dengan pengalaman dan kondisi yang sedemikian rupa, Prabowo lebih bisa menghabiskan waktu untuk hidup santai, tenang dan nyaman. Apalagi yang masih dicari dalam hidupnya?

Malang melintang di dunia kemiliteran, bisnis dan politik, seharusnya bisa menjadikannya sebagai manusia yang matang, dewasa dan bijaksana. Tak selalu mengikuti ambisi dan menuruti semua perasaannya tentang duniawi.

Menjadi seorang presiden tak cukup hanya berbekal keinginan hati. Harus realistis dan tak boleh memaksakan kehendak. Begitu banyak data dan fakta yang membuat Prabowo sulit menjadi presiden, malah bisa dibilang tak layak atau tak pantas.

Rekam jejak, rekam karya dan rekam prestasi yang membanggakan, bisa dibilang tak pernah menghinggapi dirinya. Alih-alih prestasi, Prabowo justru dinilai publik tak memiliki kapasitas dan integritas.

Selain didera pelaku kejahatan HAM berat yang membayanginya saban mengikuti kontastasi pilpres. Prabowo juga dituding melakukan kejahatan lingkungan pada proyek ‘Food Eastate’. Begitu naifnya pada kasus ini, karena sebagai menteri pertahanan mengurus masalah pertanian dan pangan yang bukan tupoksinya, gagal pula.

Begitupun sebagai menteri pertahanan, nyaris tak terdengar karya yang membanggakan, hanya seputar jual-beli alutsista yang dibekap kontroversi dan ditenggarai bermotif proyek rente dan sekedar meraup komisi.

Tak cukup hanya kelemahan dan kekurangan itu, sebagai capres, Prabowo telah menjadi capres boneka dari Jokowi yang menjadi rezim gagal dan momok menakutkan bagi kehidupan demokrasi dan konstitusi. Sebagai orang dalam kekuasaan pemerintahan Jokowi, dengan distorsi kekuasaan yang begitu merusak, Prabowo cenderung menjadi ahli waris dari penghianatan dan kejahatan penyelenggaraan negara.

Namun bagi Prabowo, semua itu bukan masalah dan menjadi sesuatu hal yang tidak penting. Mungkin baginya, ini bukan soal etika atau moral. Ini tentang bagaimana merebut kekuasaan meskipun dengan pelbagai cara.

KKN, menjual negara dan jika perlu menghilangkan nyawa anak bangsa tak boleh menghentikan nafsu berkuasanya. Menjadikan kawan bagi siapapun yang seiring sejalan dan menjadikan musuh bagi siapapun yang menghalangi kepentingannya.

Gemoy, imej santai dan lucu-lucuan oleh Prabowo dan pasangan cawapresnya Gibran Rakabuming Raka. Sepertinya sudah menjadi kontemplasi atau semacam pengalihan isu terhadap keterbatasan kapasitas dan integritas pasangan capres-cawapres yang di-endorse rezim dan oligarki.

Gestur dan perangai panggung Prabowo, sesungguhnya juga merupakan upaya menutup-nutupi karakter emosional dan temperamen yang akut. Seperti dalam debat capres perdana yang sudah disaksikan ratusan juta rakyat, betapa Prabowo menahan kegeraman dan amarahnya, ketika tema yang muncul menyudutkannya.

Kasihan Prabowo, terlalu memaksakan kehendaknya. Kondisi kesehatannya yang tidak lagi prima, cenderung bisa memengaruhi kondisi mental dan kejiwaannya.

Dengan peran dan tanggungjawabnya yang kompleks serta dalam tekanan yang hebat ini, seorang Presiden itu mutlak harus memiliki kemampuan dan kecakapan. Bukan hanya pengetahuan dan skill kepemimpinan yang mumpuni, kesehatan lahir batin, mental dan jiwa juga menjadi faktor penting dan fundamental bagi siapapun yang ingin jadi presiden.

Prabowo, langganan capres gagal dan sekarang didampingi cawapres Gibran yang keras diduga proses pencalonannya cacat hukum. Pada substansinya itu Prabowo sedang tidak menghadapi kontestasi pilpres 2024.

Ia sejatinya sedang bertarung menghadapi dirinya sendiri. Apakah Prabowo memiliki kesadaran krisis? Apakah Prabowo mempunyai kesadaran makna? Atau boleh jadi ada pertanyaan, apakah Prabowo bisa memahami dirinya sendiri? Tentang kekurangannya dan juga keterbatasannya.

Sepertinya rakyat Indonesia dan boleh jadi masyarakat internasional bisa menilai siapa dan bagaimana Prabowo itu sesungguhnya. Biar waktu berjalan yang bisa menjelaskan siapa dan apapun tentang Prabowo yang sebenarnya.

Namun dari gelagat dan perangainya, Prabowo tetap ngotot, maju terus pantang mundur. Kali ini lebih bernafsu lagi, kalau perlu terus nyapres seumur hidup. Tidak ada yang tahu kecuali Tuhan, mungkin Prabowo akan menjadi capres walaupun sampai mati.

“Saya tak butuh jabatan, Ndasmu etik!” Begitu ocehannya yang melegenda. Sekali lagi kasihan dia, terlalu menyiksa diri, Prabowo memang tak bisa legowo. Ketika ambisi sudah menguasai diri, sangat sulit untuk seseorang bisa mengenal harga diri. (*)