Psikologi Prabowo Subianto
Jika ia mampu mengambil keputusan yang tepat, Prabowo mungkin dapat membuktikan dirinya sebagai pemimpin yang tidak hanya kuat secara militer, tetapi juga memiliki integritas moral yang mampu membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.
Oleh: Radhar Tribaskoro, Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI)
PRABOWO Subianto berada di persimpangan jalan yang kompleks dalam hubungannya dengan Joko Widodo (Jokowi) dan Gibran Rakabuming Raka. Kedua figur ini, terutama Gibran yang dikenal dengan julukan Fufufafa, telah terindikasi terlibat dalam tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Gibran bahkan terbukti menghina dan menistakan Prabowo serta keluarganya, namun hal ini tampaknya tidak segera membawa perubahan pada dinamika hubungan mereka. Hal ini jelas menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah Prabowo sanggup melepaskan hubungan dengan ayah-anak ini, terutama saat sebagian masyarakat sudah secara terbuka menuntutnya untuk melakukan itu?
Prabowo dikenal sebagai sosok yang enggan berbicara buruk tentang presiden-presiden terdahulu, termasuk Jokowi, yang kini justru terlibat dalam jaringan kekuasaan yang semakin nepotistik. Lebih menarik lagi, Prabowo adalah sosok yang meminta Gibran untuk menjadi wakilnya.
Hal ini menimbulkan dilema moral dan politik bagi Prabowo sendiri. Di satu sisi, tindakan ini bisa dianggap sebagai bentuk keterlibatannya dalam proses nepotisme yang dilakoni Jokowi, tetapi di sisi lain, keputusan tersebut juga bisa dilihat sebagai langkah strategis dalam menciptakan stabilitas politik yang dianggap perlu untuk mencapai tujuan-tujuannya.
Namun, Gibran terbukti bukanlah mitra yang setara bagi Prabowo dalam banyak hal – baik dari segi intelektual, kepemimpinan, maupun karakter kepribadian. Ini menciptakan ketegangan psikologis yang besar bagi Prabowo, terutama ketika ia harus bertugas di luar negeri dan meninggalkan Gibran sebagai wakilnya.
Menurut teori kejiwaan Carl Jung, situasi seperti ini dapat menciptakan "konflik internal" atau "bayangan" dalam diri seseorang. Prabowo, yang pada dasarnya memiliki naluri kepemimpinan yang kuat, mungkin melihat Gibran sebagai representasi dari ketidakstabilan atau ketidakmampuan, yang mengancam citra dirinya sebagai pemimpin yang tangguh dan kompeten.
Konflik ini, dalam terminologi Jungian, menjadi bayangan yang harus ia hadapi dan selesaikan untuk menjaga keseimbangan psikologis dan otoritas kepemimpinannya (Jung, 1959).
Dalam konteks kepemimpinan, teori Kontingensi Fiedler menyatakan bahwa efektivitas seorang pemimpin sangat bergantung pada bagaimana ia bisa beradaptasi dengan situasi dan lingkungan. Dalam hal ini, hubungan Prabowo dengan Gibran, yang penuh dengan ketidakpastian dan antipati publik, menciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi kepemimpinannya.
Gibran, dengan berbagai kontroversi yang mengelilinginya, menghadirkan ancaman bagi legitimasi pemerintahan Prabowo. Menurut Max Weber, legitimasi adalah fondasi dari setiap pemerintahan yang stabil. Jika publik meragukan integritas moral seorang pemimpin, maka pemerintahan tersebut akan selalu diwarnai oleh krisis legitimasi yang berlarut-larut (Weber, 1978).
Selain itu, dalam kajian psikologi politik, Erik Erikson berbicara tentang konsep "integritas vs keputusasaan" dalam tahapan perkembangan kehidupan. Pada tahap ini, seorang pemimpin seperti Prabowo perlu menghadapi masa lalunya dengan jujur untuk mencapai integritas yang penuh.
Upaya Prabowo untuk melupakan segala yang pahit, buruk, dan jahat dari pendahulunya mungkin adalah strategi untuk menjaga keharmonisan internalnya, tetapi juga berpotensi menghambatnya dari menghadapi realitas secara konstruktif.
Realitas bahwa Gibran dan Jokowi itu tetap memanfaatkan posisinya untuk keuntungan pribadi menempatkan Prabowo dalam posisi sulit: tetap bertahan dan berkompromi, atau mengambil langkah drastis untuk memutus hubungan demi menjaga integritasnya.
Tuntutan masyarakat agar Prabowo memutuskan hubungan dengan Jokowi dan Gibran semakin keras terdengar. Sebagian besar merasa bahwa keputusan ini adalah langkah yang perlu untuk memastikan bahwa pemerintahan berjalan dengan integritas dan kredibilitas.
Namun, keterlibatan emosional dan politik yang mendalam, terutama karena Prabowo sendiri adalah pihak yang meminta Gibran menjadi wakilnya, menciptakan dilema yang tak mudah diselesaikan.
Jika kita melihat lebih dalam, Prabowo menghadapi konflik internal yang mirip dengan dilema etis dalam psikologi moral.
Menurut Lawrence Kohlberg bahwa individu yang mencapai tahap perkembangan moral tertinggi cenderung membuat keputusan berdasarkan prinsip universal keadilan dan kesejahteraan bersama (Kohlberg, 1981).
Dalam hal ini, keputusan Prabowo untuk tetap berasosiasi dengan Gibran mungkin tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan transparansi yang diharapkan oleh masyarakat luas. Prabowo harus memilih antara menjaga loyalitasnya kepada Jokowi dan Gibran, atau memenuhi ekspektasi masyarakat yang menginginkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari nepotisme. Pilihan ini tidak hanya menguji moralitas pribadi Prabowo tetapi juga komitmennya terhadap prinsip-prinsip demokrasi.
Selain itu bahwa konsep "dissonance cognitive" yang diusulkan oleh Leon Festinger (1957) dapat membantu menjelaskan kondisi psikologis Prabowo dalam situasi ini. Dissonance cognitive adalah ketegangan mental yang dialami seseorang ketika ia dihadapkan pada dua atau lebih keyakinan, nilai, atau tindakan yang saling bertentangan.
Dalam kasus Prabowo tersebut, ia mungkin merasakan ketegangan antara keinginannya untuk mempertahankan hubungan dengan Jokowi dan Gibran, serta adanya tuntutan masyarakat untuk menciptakan pemerintahan yang berintegritas. Ketegangan ini bisa mempengaruhi kesejahteraan psikologisnya dan menghambat pengambilan keputusan yang tegas dan efektif.
Di sisi lain, dari perspektif kepemimpinan, teori Kepemimpinan Otentik yang dikemukakan oleh Bill George (2003) menekankan pentingnya kejujuran dan integritas dalam kepemimpinan. Pemimpin otentik harus memiliki kejelasan tujuan dan berani mengambil keputusan yang sulit meski berisiko kehilangan dukungan politik.
Dalam konteks ini, Prabowo perlu menilai apakah hubungannya dengan Jokowi dan Gibran benar-benar sejalan dengan visi dan misinya untuk Indonesia yang lebih baik. Jika hubungan tersebut justru menjadi penghalang bagi terciptanya pemerintahan yang bersih dan berintegritas, maka tindakan tegas untuk memutus hubungan tersebut mungkin adalah langkah yang diperlukan.
Prabowo juga perlu mempertimbangkan dampak jangka panjang dari keputusan yang diambilnya. Menurut teori kepemimpinan situasional Hersey dan Blanchard (1969), pemimpin yang efektif harus mampu menyesuaikan gaya kepemimpinannya sesuai dengan tingkat kesiapan dan kompetensi timnya.
Dalam hal ini, Gibran mungkin belum mencapai tingkat kompetensi yang memadai untuk menjadi seorang wakil presiden yang efektif. Dengan mempertahankan Gibran sebagai wakilnya, Prabowo berisiko menempatkan pemerintahan dalam posisi yang rentan dan tidak stabil, yang pada akhirnya dapat merusak kepercayaan publik.
Krisis legitimasi yang kini dihadapi pemerintahan Prabowo juga dapat dianalisis melalui lensa teori legitimasi politik David Easton (1965). Easton menyatakan bahwa legitimasi politik adalah komponen penting yang memungkinkan suatu sistem politik untuk bertahan dalam jangka panjang.
Jika publik terus meragukan integritas pemerintahan karena keterlibatan Gibran, maka legitimasi politik Presiden Prabowo akan terus tergerus. Untuk mengatasi hal ini, Prabowo perlu menunjukkan komitmennya terhadap prinsip-prinsip good governance dengan mengambil langkah-langkah yang konkret untuk memutus hubungan dengan elemen-elemen yang merusak kredibilitas pemerintahan.
Tuntutan masyarakat agar Prabowo memutuskan hubungan dengan Jokowi dan Gibran tidak bisa diabaikan begitu saja. Sebagai seorang pemimpin, Prabowo harus mampu mendengarkan aspirasi rakyatnya dan mengambil keputusan yang tepat demi kepentingan bersama.
Menurut teori kepemimpinan transformasional bahwa seorang pemimpin yang efektif harus mampu menginspirasi dan memotivasi pengikutnya untuk mencapai tujuan yang lebih besar. Dalam hal ini, jika Prabowo ingin menciptakan pemerintahan yang berintegritas, maka ia harus berani mengambil langkah-langkah yang mungkin tidak populer tapi diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut (Bass, 1985).
Selain itu, Prabowo perlu mempertimbangkan bagaimana ia dapat mengelola hubungan politiknya di masa depan.
Menurut teori jaringan sosial, hubungan yang kuat dengan aktor-aktor politik yang memiliki reputasi buruk dapat merusak jaringan politik secara keseluruhan dan mengurangi kepercayaan dari aktor-aktor lain yang berpotensi mendukungnya.
Prabowo perlu membangun jaringan yang lebih sehat dengan melibatkan aktor-aktor politik yang memiliki reputasi baik dan komitmen terhadap integritas dan transparansi.
Pada akhirnya, keputusan Prabowo untuk memutuskan atau mempertahankan hubungannya dengan Jokowi dan Gibran adalah ujian bagi integritas dan keberanian politiknya.
Jika ia mampu mengambil keputusan yang tepat, Prabowo mungkin dapat membuktikan dirinya sebagai pemimpin yang tidak hanya kuat secara militer, tetapi juga memiliki integritas moral yang mampu membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.
Tantangan ini adalah kesempatan bagi Prabowo untuk menunjukkan bahwa ia adalah pemimpin yang benar-benar peduli pada masa depan bangsa, bukan hanya pada kepentingan politik jangka pendek. (*)