Renungan Hari Guru: Tidak Ada Mantan Guru

Berhati-hati, karena guru menjadi ujung tombak mendidik anak-anak menjadi manusia yang dapat berguna. Di tangan para gurulah anak-anak dididik bisa membaca, menulis, berakhlak mulia, dan berbudi pekerti. Guru menjadi orangtua kedua dari anak-anak.

Oleh: Mangarahon Dongoran, Pemimpin Redaksi Freedom News

SAYA masih ingat betapa 'kejamnya' tiga guru bidang studi saat menjadi siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) Sipiongot, Kecamatan Dolok, Kabupaten Tapanuli Selatan (kini Kabupaten Padang Lawas Utara), Sumatera Utara.

Saya juga masih ingat ketika kepala sekolah sempat menarik kerah baju saya dan dibawa ke kantor untuk 'diadili' karena dituduh mengganggu teman perempuan.

Akan tetapi, hukuman lolos, karena teman perempuan di kelas 3 itu membela habis-habisan dan mengatakan yang mengganggu itu bukan saya, tetapi siswa lain. Teman perempuan yang bernama Marsia Hutauruk, seorang Nasrani yang belakangan menjadi pendeta, hampir saja menangis ketika mengatakan yang mengganggu itu bukan saya.

Tiga guru yang dianggap 'kejam' adalah guru bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan Pendidikan Jasmani (Penjas, sekarang Olahraga). Saya tidak menyebutkan nama kepala sekolah dan guru tersebut, sebagai penghormatan saya bahwa mereka adalah guruku yang kukenang sepanjang hidupku.

Guru bahasa Indonesis, yang juga terkenal dengan si penghitung rambut. Jika murid salah, apalagi sebelumnya dia ajak membantu ke sawah tidak mau atau tidak datang, maka saat pelajaran bahasa Indonesia rambut yang mengarah ke jambang ditarik sampai tercabut. Setelah itu, sang guru itu juga menyuruh menghitung jumlahnya. Saat dicabut, terasa sakit.

Guru bahasa Inggris terkenal dengan 'sepatu ladam' yang mirip sepatu tentara. Jika salah, sang guru tidak segan menginjakkan sepatu ke kaki atau bahkan menendang ke bagian pantat murid. Hukuman paling ringan, berdiri di kursi dengan satu kaki diangkat sampai betis dan kedua tangan memegang kuping.

Guru Penjas lain lagi. Pelajaran praktik akan membawa banyak 'malapetaka' bagi siswa yang salah. Sang guru tidak segan-segan melayangkan tinju atau tendangan ke perut atau bagian belakang. Terkadang, tamparan pun melayang ke pipi atau dada.

Semua itu adalah pengalaman dan kenyataan yang menjadi gambaran saya dalam tulisan ini. Tidak bermaksud menjelekkan para guruku yang sudah tiada.

Ketika menuntut ilmu pada Sekolah Pendidikan Guru Muhammadiyah Padangsidimpuan, Tapanuli Selatan, Sumut, ada lagi guru yang tega menyundut kuping dengan rokok. Ini juga saya alami. Ya, sekolah yang mencetak guru itu masih mengajarkan 'kekerasan' kepada siswanya.

Sekali lagi, tidak ada maksud saya menyudutkan, memojokkan dan menjelekkan para guruku itu. Hanya sebuah pengalaman, betapa di masa lalu cara mendidik itu kejam dan keras. Akan tetapi, semua itu mereka lakukan agar anak-anak didiknya kelak berhasil. Jika pun ditanya kepada guru misalnya, apakah mereka dendam kepada murid atau siswanya, jawabannya, 'Tidak!"

Guru melakukan itu karena rasa sayangnya kepada murid/siswanya. Tidak ada sedikit pun terbetik dalam pikiran guru yang melakukan itu supaya anak didiknya gagal bersekolah. Mereka hanya ingin semua anak didiknya sukses. Kabar gembira senantiasa mereka harapkan.

Misalnya, si A, B, C dan seterusnya melanjutkan sekolah ke mana? Rasa bangga semakin muncul kala anak didiknya kelak disebut-sebut sukses kuliah, bekerja bagus dan seterusnya.

Guru tetaplah guru. Oleh karena itu, sangat menyedihkan jika orangtua sampai memidanakan guru, seperti yang belakangan masih ramai dalam kasus guru honorer Sekolah Dasar Negeri 4 Baito, Konawe Selaran, Sulawesi Tenggara (Sultra), Supriyani.

Meski ia divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Andoolo Konawe Selatan, Sultra, Senin, 25 November 2024 (bertepatan dengan peringatan Hari Guru), akan tetapi kasusnya sangat memprihatinkan semua pihak. Kemenangan yang dia peroleh di pengadilan tingkat pertama menjadi pembelajaran kepada semua orangtua murid/siswa agar berhati-hati dalam menghadapi guru.

Berhati-hati, karena guru menjadi ujung tombak mendidik anak-anak menjadi manusia yang dapat berguna. Di tangan para gurulah anak-anak dididik bisa membaca, menulis, berakhlak mulia, dan berbudi pekerti. Guru menjadi orangtua kedua dari anak-anak.

Sebuah renungan pada peringatan Hari Guru, "Jangan kalahkan gurumu, tetapi mengalah kepada guru menjadi perbuatan mulia dan terpuji."

Hari ini, Senin 25 November 2024, Hari Guru diperingati dengan sukaria, meski masih banyak guru yang menderita. Kesabaran dan kelembutan mereka dalam mendidik anak-anak bangsa ini harus disikapi dengan rasa hormat.

Guru tetaplah guru. Tidak ada mantan guru. Sama halnya dengan seorang ayah dan ibu, yang tetap menjadi ayah dan ibunya seorang anak, meski misalnya kedua orangtuanya berpisah atau bercerai. Tak ada mantan ayah, tak ada mantan ibu. Yang ada hanyalah mantan suami atau mantan istri. (*)