Septi, Wanita Tangguh Melawan Kerasnya Jakarta

Tidak cukup hanya menggulirkan bantuan sementara, negara harus menciptakan sistem yang bisa mencegah kemiskinan lintas generasi. Karena setiap anak Indonesia, termasuk Bara, berhak atas masa depan yang cerah.

Oleh: M. Isa Ansori, Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya

BERAWAL dari jepretan video netizen, yang mengabadikan perempuan cantik, pengamen jalanan, yang mengamen di kawasan blok M, Jakarta, kini sang perempuan tangguh itu menjadi viral, dan ini membuka mata kita, bahwa betapa mirisnya kehidupan masyarakat kecil, mereka harus bertarung, berjuang mempertahankan hidup.

Sementara di satu sisi kita juga melihat, perilaku koruptor dan pejabat menyimpang yang merampas hak rakyat untuk sejahtera dan bahagia.

Di tengah gemerlap kota Jakarta, tersembunyi kisah perjuangan seorang perempuan yang bernama Septi. Dalam diam, ia melawan kerasnya ibu kota, menghidupi keluarga kecilnya dengan cara yang mungkin tak pernah diinginkan, tapi tetap ia jalani.

Septi lahir dari keluarga miskin, anak seorang pekerja bangunan yang upahnya tak pernah cukup untuk membayar harga hidup yang terus melambung. Sejak kecil, ia sudah terbiasa menghadapi kerasnya hidup. Pada usia enam tahun, ketika anak-anak lain memulai sekolah dasar, Septi telah memulai "sekolah" jalanan, mengamen demi membantu ekonomi keluarga.

Kini, dalam usianya yang ke-26, Septi tak banyak berbeda dari dulu. Namun, ia bukan lagi hanya seorang anak, melainkan seorang ibu bagi putra kecilnya, Bara, yang baru berusia tiga tahun. Bara kecil tak mengenal kemewahan masa kanak-kanak. Alih-alih bermain boneka atau mobil-mobilan, Bara menemani ibunya mengamen dari pukul 18.00 hingga 22.00 setiap malam.

Di tengah hiruk pikuk jalanan yang dingin dan ramai, Bara menjalani masa kecilnya – bukan dengan canda tawa teman sebayanya, tetapi dengan denting gitar dan suara ibunya yang memohon sedikit rezeki dari mereka yang lalu lalang.

Perjuangan Septi adalah cermin kerasnya Jakarta, kota yang sering disebut penuh peluang tetapi juga tak jarang menyimpan banyak nestapa.

Di balik gedung pencakar langit dan lampu kota yang gemerlap, ada banyak keluarga seperti Septi, yang melawan takdir dengan daya yang mereka punya. Septi adalah simbol perempuan tangguh, ibu yang rela melawan kejamnya hidup demi memastikan anaknya tetap bertahan.

Namun, perjuangan Septi bukanlah sekadar kisah inspiratif yang patut kita kagumi dari jauh. Septi adalah bukti nyata kegagalan sistem sosial yang seharusnya melindungi rakyat kecil. Di balik setiap langkah Septi, ada pertanyaan besar yang harus dijawab oleh negara: di mana kehadiran negara ketika ibu-ibu seperti Septi harus memilih mengamen daripada melihat anaknya kelaparan?

Di mana tanggung jawab pemerintah dalam memastikan bahwa setiap anak, seperti Bara, memiliki hak yang sama untuk tumbuh, belajar dan bermain tanpa harus terbebani oleh kerasnya kehidupan?

Negara harus hadir, tidak hanya melalui janji-janji kosong, tetapi dengan kebijakan konkret yang menjamin perlindungan sosial bagi keluarga seperti Septi. Program pendidikan gratis, pelatihan keterampilan bagi para ibu, dan perlindungan hak-hak anak harus menjadi prioritas.

Tidak cukup hanya menggulirkan bantuan sementara, negara harus menciptakan sistem yang bisa mencegah kemiskinan lintas generasi. Karena setiap anak Indonesia, termasuk Bara, berhak atas masa depan yang cerah.

Septi, dengan segala perjuangannya, telah menunjukkan keberanian yang luar biasa. Namun, keberanian saja tidak cukup. Ia butuh uluran tangan kita semua – bukan sekadar simpati, tapi juga aksi nyata yang mendesak pemerintah untuk bisa melindungi keluarga-keluarga seperti Septi dan memberi mereka kesempatan untuk hidup dengan layak. Karena keadilan sosial bukanlah mimpi, melainkan hak setiap warga negara.

Kepada Presiden Prabowo Subianto, saya masih terngiang pidato Anda yang sangat berapi, bahwa anda akan timbul tenggelam bersama rakyat. Nah, kini ada rakyat anda seperti Septi Septi yang lain yang juga menghadapi ancaman kelaparan, kemiskinan, putus sekolah dan lain lain. Kami berusaha untuk percaya dan menunggu komitmen anda, timbul dan tenggelam bersama rakyat.

Indonesia emas sebentar lagi dan itu menjadi komitmen negara untuk menyongsongnya, bagaimana kami keluarga rentan ini bisa menjadi emas, jika yang kami dapatkan adalah bongkahan-bongkahan serpihan besi di jalanan, sementara timah dan nikel telah habis dimakan oleh para koruptor dan kroninya.

Presiden Prabowo, tengoklah nasib Septi dan Septi Septi lain, ananda Bara dan ananda Bara yang lainnya. Kami percaya dan berharap, bahwa Presiden Prabowo akan mampu mewujudkannya. (*)