Songongnomic

Tentu saja semua kembali pada peserta didiknya. Jika memang peserta didiknya terbiasa dengan hal-hal yang negatif maka proses kreatif yang dikembangkan akan cenderung berlawanan dengan pandangan publik.

Oleh: Isa Ansori, Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya

DEBAT Capres dan Cawapres sejatinya debat menguji gagasan masing-masing calon. Debat ini bukan cerdas-cermat yang hanya berkutat pada pertanyaan dan kemudian ada jawaban. Tetapi bagaimana gagasan calon dan bagaimana pertanyaan calon menjadi penting, karena di situlah sejatinya terlihat bagaimana kualitas sang calon.

Dalam pertarungan gagasan kita pernah mengenal istilah-istilah yang menggunakan kata nomic yang berarti sebuah pandangan dan gagasan yang mengikuti kiprah yang bersumber gagasan seseorang dan biasanya bersifat positif dan menginspirasi.

Misalnya adanya paham "Hattanomic", sebuah pandangan ekonomi yang dilahirkan oleh Moh Hatta. Ada juga Habibienomic, sebuah pandangan gagasan pembangunan yang dilahirkan BJ Habibie, ada juga Aniesnomic, Slepetnomic, sebuah gagasan positif yang mewakili nama pemilik gagasan.

Nah dalam Debat Keempat Cawapres yang berlangsung, Ahad, 21 Januari 2024, yang lalu, ada sebuah model debat yang dilakukan oleh salah satu cawapres muda, Gibran Rakabuming Raka yang menampilkan gaya songong, slengekan, terbuka tanpa tedeng aling-aling, tapi kehilangan norma dan substantif perdebatan.

Asal serang, asal bisa menjatuhkan lawan, asal jawab tanpa memedulikan benar apa salah, yang penting lakukan dulu. Sebuah gaya debat liar dan tak memenuhi standar kualitas debat capres dan cawapres. Gibran menampilkan gaya songong dan sesukanya.

Gaya itulah lebih tepat disebut sebagai "Songongnomic", sebuah gaya debat, dialog yang asal serang, asal jawab, kehilangan substansi pertanyaan dan jawaban, yang penting lawan bisa dikalahkan. Sebuah gaya Machiavillian yang menghalalkan segala cara, yang penting menang.

Gibran sedang ingin menyesatkan sebuah perilaku anak muda, generasi millenial, bahwa anak muda itu cenderung bebas, terbuka dan apa adanya, namun dilakukan dengan cara-cara yang melanggar etika.

Misalnya, bagaimana memerlakukan lawan debat atau lawan dialog, Gibran seolah dengan gayanya yang songong dan semau gue itu, mendiskreditkan lawan tidak dengan substansi perdebatan, tapi lebih pada persoalan personal lawan debat. Gibran ingin menang, ingin menaklukkan lawan dengan cara liar, menjatuhkan dan mempermalukan. Sebuah gaya dan perilaku anak muda yang jauh dari standar norma dan etika apalagi di negara yang berpaham Pancasila.

Bagi Gibran, salah ucap, salah istilah dan salah-salah yang lain itu adalah hal biasa, yang penting nanti bisa diralat, bisa diperbaiki dan bisa minta maaf. Gibran salah menempatkan diri, Gibran tak sadar atau memang dengan sengaja bahwa panggung besar debat dia manfaatkan untuk menebar sebuah gagasan dan gaya yang dia yakini sebagai "kebenaran", meski hari ini secara standar etika belum bisa diterima.

Gibran memilih pandangan bahwa sebuah kesalahan kalau dilakukan secara berulang-ulang akan dianggap sebagai sebuah kebenaran. Kita hormati pilihan Gibran dengan gaya seperti itu, namun masyarakat juga harus mengantisipasi pengaruh gaya seperti itu. Saya yakin tak ada satupun orang tua yang menginginkan anaknya berani terhadap orang tua, saya yakin tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya bergaya semau gue dengan sikap sikapnya.

Sebagai tokoh publik yang saat ini sedang berlaga di panggung politik Indonesia, gaya perilaku Gibran adalah sebuah ancaman bagi pembangunan SDM masyarakat, terutama bidang pendidikan.

Dalam pendidikan kita mengenal bahwa tujuan pendidikan itu menjadikan anak-anak kita, peserta didik kita menjadi generasi yang beriman, bertaqwa, ber-Pancasila, ada upaya mengubah perilaku dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak mengerti menjadi mengerti, dari yang tidak baik menjadi baik. Ada perubahan perilaku yang positif.

Bila dikaitkan dengan apa yang dilakukan oleh pembangunan SDM bangsa melalui pendidikan, bisa jadi yang dilakukan Gibran tersebut adalah antitesa dari apa yang sedang dilakukan oleh lembaga pendidikan kita.

Gibran sedang memporak-porandakan kerja-kerja para pendidik, kerja para guru, kerja para tokoh agama dan masyarakat yang selama ini mengenai nilai nilai positif bagi kalangan muda dan anak anak, karena mereka inilah yang akan mewarisi bangsa.

Kita tak bisa membayangkan bangsa ini akan jadi apa, kalau generasi muda yang mewarisi bangsa, calon pemimpin bangsa berperilaku liar, tak beretika, semau gue, kehilangan kesantunan terhadap orang lain terlebih lagi kepada orang tua, tidak mampu menempatkan diri secara tepat di hadapan orang lain dan asal bicara. Layakkah generasi seperti ini diserahi menjadi pemimpin?

Tantangan bangsa ini ke depan tentu semakin besar, di tengah arus globalisasi dan perkembangan informasi yang sangat cepat ini, bangsa ini butuh generasi yang kuat, generasi yang tangguh, kuat dan tangguh dalam bidang ilmu, tehnologi, agama, budaya dan memegang nilai nilai Pancasila. Sehingga ke depan kita butuh pemimpin yang mampu menjadi garda depan mempersiapkan itu semua.

Ki Hajar Dewantara bapak pendidikan kita, berpesan bahwa dalam pendidikan itu yang harus diperhatikan adalah 3 N, Niteni, Nirokke, Nambahi.

Niteni adalah sebuah proses pembelajaran, bagaimana seorang murid atau peserta didik mampu memilah mana yang baik dan mana yang benar dari proses menyerap ilmu dari guru. Dibangun kesadaran untuk bisa memilih dan menentukan mana yang baik dan benar serta mana yang salah.

Nirokke adalah sebuah proses dari hasil belajar dan menirukan apa yang sudah didapat dari proses belajar. Nirokke adalah implementasi perilaku yang dihasilkan dari sebuah proses belajar yang didapat.

Kalau yang didapat baik, maka dia akan melakukan apa yang dianggap baik, kalau yang didapat itu salah, maka dia akan menjadikan kesalahan itu seolah sebagai kebenaran. Maka proses niteni itu adalah hal penting dalam belajar.

Nambahi adalah proses kreatif yang dilakukan oleh guru, dengan harapan proses kreatif ini akan memberi nilai tambah terhadap perilaku yang akan dilakukan oleh murid atau peserta didik. Proses kreatif ada banyak bentuk dan nilai yang akan dikembangkan.

Tentu saja semua kembali pada peserta didiknya. Jika memang peserta didiknya terbiasa dengan hal-hal yang negatif maka proses kreatif yang dikembangkan akan cenderung berlawanan dengan pandangan publik.

Jika hal sebaliknya bila peserta didik terbiasa dengan hal-hal positif, maka proses kreatif akan cenderung memberi nilai tambah positif.

Semua insan pendidikan tentu berharap generasi muda kita adalah generasi yang baik, beriman bertaqwa, cerdas dan tentu mempunyai standar nilai yang baik sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Oleh karenanya penyebaran perilaku yang tidak baik terhadap generasi muda bangsa ini, upaya membaut generasi muda kita "songong" dan kehilangan standar etika adalah sebuah ancaman dan bahaya laten yang harus dilawan. (*)