Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti

Singkat cerita Citrasoma akhirnya mundur ketika diberitahu sebagai anak raja hati-hati atas semua ucapan dan tingkah lakunya jangan menempuh segala cara karena "ada kekuatan yang (selalu) mengawasinya dan tidak bisa digendam agar bisa tidur", yaitu ”Gusti Kang Maha Kuasa".

Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih

ANIES Baswedan, ketika menyampaikan pesan penutup "closing speech" setelah Debat Kelima Capres pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024, melepas kalimat:

"Sura dira joyo ningrat, lebur dening pangastuti" (Segala kelicikan, kesombongan, angkara murka akan hancur bisa dikalahkan dengan kelembutan, kesabaran dan kebijaksanaan).

Mungkin sebagian masyarakat luas, perlu mengerti maknanya bahwa: Sura (keberanian), Dira = kehebatan, Jaya (kekuasaan), Ningrat (kebangsawanan). Lebur (semuannya hancur luluh), Dening pangastuti (dengan kebaikan/ketulusan, kesabaran dan do'a).

Anies Baswedan mengatakan, "Sifat-sifat angkara murka akan kalah dengan kebaikan.". "Merah putih di atas semuanya," kata Anies didampingi Calon Wakil Presiden RI Muhaimin Iskandar.

Sebelum debat memberikan isarat "menunjuk ke arah jam dan memutar tangannya". Its time for change (saatnya berubah, kata Anies dalam agenda Desak Anies di Semarang, Senin (5/2/2024).

Ungkapan "Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti" bukan sekedar kalimat, tetapi Anies akan memberikan pencerahan sekaligus peringatan tentang sejarah khususnya kepada Joko Widodo dan dinastinya, karena sejarah tersebut terjadi di Solo.

Ditulis oleh seorang pujangga kondang Kraton Solo Ronggowarsito yang hidup pada 1802-1873. Beliaulah yang pertama kali memunculkan kalimat Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti.

Kalimat itu sebenarnya bagian dari sebuah tembang Kinanti yang diciptakannya. Termuat di dalam Serat Ajipamasa atau Serat Witaradya atau Serat Pustaka Raja Wedha yang ditulis Ronggowarsito.

Tembang Kinanthi tersebut berbunyi seperti berikut: Jagra angkara winangun Sudira marjayeng westhi Puwara kasub kawasa Sastraning jro Wedha muni Sura dira jayaningrat Lebur dening pangastuti

Menggambarkan seseorang yang memiliki kekuasaan besar yang mengakibatkan dia lupa diri. Dia mencoba memaksakan kehendak kepada siapapun.

Namun keangkara-murkaannya itu bisa luntur ketika dihadapi dengan penuh etika, kelembutan, senyum dan kata-kata yang sopan.

Adalah Pangeran Citrasoma, putra mahkota Prabu Ajipamasa. Sebagai calon pengganti raja tentu dia memiliki pengaruh dan kekuasaan yang hampir tidak terbatas, tidak ada yang bisa dan berani melawan.

Hingga suatu hari, Citrasoma yang sudah mulai dewasa jatuh cinta kepada seorang wanita cantik jelita. Sayangnya, wanita itu telah memiliki suami, yakni Tumenggung Suralathi.

Tetapi sang anak raja, tak peduli dengan hal itu. Dia tetap mencoba merebut Nyai Pamekas, nama wanita itu dari suaminya. Bahkan, mencari-cari kesempatan dan berbagai cara untuk menyalurkan nasfu birahi dengan kekuatan kekuasaannya.

Hingga suatu malam, saat Tumenggung Suralathi tidak di rumah, Citrasoma pun menyelinap ke rumah Nyai Pamekas. Tentu saja wanita itu kaget dan ketakutan. Apalagi Citrasoma dengan tegas mengatakan keinginannya untuk bercinta dengan dirinya.

Nyai Pamekas tahu siapa yang dihadapi. Seorang pemuda yang sedang dilanda nafsu serta memiliki kekuasaan besar. Maka dia berupaya dengan sekuat tenaga untuk menyadarkan Citrasoma dari niatnya yang salah itu.

Semua penolakan disampaikan Pamekas dengan kalimat lembut. Tidak mencak-mencak, apalagi memaki. Karena sekali lagi orang yang dihadapi adalah orang kuat.

Nyai Pamekas mencoba mengingatkan bahwa tindakan Citrasoma itu tidak benar. Apalagi dia adalah calon raja yang harus memberi contoh baik kepada rakyatnya. Semua kalimat disampaikan dengan lembut dan wajah yang selalu menebar senyum.

Tapi dasar Citrasoma, tetap tidak peduli dengan semua itu. Dia tetap memaksakan kehendaknya. Nyai Pamekas pun memutar otak hingga akhirnya menemukan satu cara. Dia mengatakan sanggup melayani Citrasoma dengan jaminan tidak ada satupun yang tahu.

Karena kalau sampai ada yang tahu, maka Nyai Pamekas menyayangkan nama baik Citrasoma, anak raja dan calon raja. ”Semua orang di Katemenggungan ini harus dibuat tidur agar tidak ada yang tahu,” kurang lebih seperti itu kata Nyai Pamekas.

Singkat cerita Citrasoma akhirnya mundur ketika diberitahu sebagai anak raja hati-hati atas semua ucapan dan tingkah lakunya jangan menempuh segala cara karena "ada kekuatan yang (selalu) mengawasinya dan tidak bisa digendam agar bisa tidur", yaitu ”Gusti Kang Maha Kuasa".

Dari situlah Ronggowarsito kemudian menciptakan tembang Kinanthi yang memuat kata Suro Diro Joyoningrat Lebur Dening Pangastuti itu.

Dan, pada akhir Debat Kelima Capres itulah Anies Baswedan mengingatkan Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, dan dinastinya, "hentikan sifat angkara murkanya, karena apabila nekad akan hancur lebur akibatnya". (*)