Tersenyum di Ujung Sakaratul Maut
Dampaknya Jokowi dengan modus bermacam-macam alasannya represi makin menggila. Jokowi sudah tidak ingat kewajiban konstitusinya, yaitu menjaga penghormatan, perlindungan, dan juga pemenuhan hak-hak sipil dan politik kepada rakyatnya.
Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih
SESEORANG yang sedang sakaratul maut terlihat tersenyum, orang di sekelilingnya spontan menyambut gembira bahwa ia telah melihat surga jaminan husnul khatimah.
Sementara sebagian ulama menafsirkan lain bisa jadi saat tersenyum itu sedang diajak ketawa bersama syetan dengan janji-janjinya hidup yang bahagia pindah di alamnya, setelah sekian lama menjadi budak piaraannya.
Dugaan berat Joko Widodo terserang gejala Amnesia yang acut dan sangat parah, mendekati kebenaran. Hilang ingatan dan munculnya gangguan yang menyebabkan tidak bisa mengingat apapun yang sedang terjadi dengan segala resikonya.
Gejalanya terus membabi-buta dengan kebijakan aneh-aneh terus bermunculan di akhir sakaratul mautnya (di akhir masa jabatanya).
Tidak tanggung tanggung lembaga sumber keilmuan, kebajikan, karifan yang akan menuntun kearah jalan kebenaran yaitu Perguruan Tinggi di tabrak dan di obrak abrik dengan bermacam macam dalih kedunguan dan tetolannya.
Bigotri (menggambarkan seseorang yang memiliki pandangan sempit, dogmatis, dan tidak toleran terhadap pendapat orang lain), diskriminasi, kebencian, ancaman, kekerasan, terjadi di mana-mana.
Contoh sederhana pemecatan seorang Dekan dan Guru Besar dokter ahli saraf, akibat perbedaan pendapat yang sah di alam demokrasi.
Pemberhentian Prof. Dr. Budi Santoso, dr., SpOG, Subsp, FER dari jabatannya sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga karena pendapat terkait impor dokter dan kasus pemberhentian Prof. DR. dr Zainal Muttaqin (ahli bedah saraf) dari RSUP Kariadi diberhentikan karena kerap mengkritik kebijakan pemerintah terkait Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan dan kasus lainnya.
Sumber penyakitnya tetap dari Istana yang sedang sakaratul maut. Kehendak, kemauan, dan kebijakan otoritas apapun tidak boleh berbeda dengan bos Istana.
Bersamaan dengan virus Delirium, Jokowi diduga makin parah (kondisi penurunan kesadaran yang bersifat akut dan fluktuatif). Pengidap mengalami kebingungan parah dan berkurangnya kesadaran terhadap tugasnya sebagai pengendali dan pengelala negara.
Dampaknya Jokowi dengan modus bermacam-macam alasannya represi makin menggila. Jokowi sudah tidak ingat kewajiban konstitusinya, yaitu menjaga penghormatan, perlindungan, dan juga pemenuhan hak-hak sipil dan politik kepada rakyatnya.
Agenda otoritarian Jokowi yang eksploitatif oportunistik, sekalipun di ujung sakaratul maut harus dilawan dan dihentikan.
Kita semua sesungguhnya mengerti, menyadari, dan memahami skenario ororitarian yang terjadi bukan murni datang dari Jokowi, tetapi melibatkan kekuatan yang lebih besar dari luar dirinya.
Ini waktunya semua kekuatan rakyat untuk bersatu, bergandeng tangan, menghentikan, dan melawan setiap represi tidak lagi boleh seorang yang sedang sakaratul maut melenggang seenaknya. (*)