Ulama Berhati Sejuk, Pemaaf Bukan Pendendam dan Penebar Permusuhan

Tanggal 16 Juni 1970, seorang ajudan Soekarno datang ke rumah Hamka membawa secarik kertas bertuliskan pendek: “Bila aku mati kelak, aku minta kesediaan Hamka untuk menjadi Imam Shalat Jenazahku...”

Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih

HAJI Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) menjadi Ibrah, melegenda khususnya di hati Umat Islam bahkan bagi bangsa Indonesia. Ulama besar yang memancar kearifan sebagai ulama besar.

Sekilas kisah kemarahan dan kebencian Presiden Soekarno menyerang HAMKA, karena berbeda pandangan politik, pada tahun 1964, sampai tega memenjarakan HAMKA, tanpa proses pengadilan.

Bersama dengan Mohammad Yamin menggunakan media cetak asuhan Pramoedya Ananta Toer, Bung Karno melakukan pembunuhan karakter Buya Hamka.

Tidak sedikitpun Hamka bersedih hati, dan tak bergeser dalam menegakkan amar ma'ruf nahi mungkar, tanpa dendam sekalipun terus diserang oleh penguasa.

Berbeda dengan saat ini, dari sebagian yang mengaku sebagai ulama, adanya tekanan, bahkan ada kerjasama dengan penguasa, bukan teguh menebarkan amar ma'ruf nahi mungkar, justru menebar pertikaian sesama ulama dan tersirat memancarkan suatu kebencian yang dipertontonkan di media dengan rasa bangsa dan merasa paling benar.

Selama 2 tahun 4 bulan lamanya Hamka dipenjara, tanpa ia bersedih, mendendam kebencian dan tanpa mengutuk Soekarno. Bahkan dari terali besi itu Hamka punya waktu untuk menyelesaikan 30 Juz Tafsir Alqur'an yang dikenal dengan Tafsir Al-Azhar.

Dengan kebesaran sebagai ulama besar, setelah Buya Hamka keluar dari penjara, ketiga tokoh itu, Soekarno, Muhammad Yamin Pramoedya, semua meminta maaf dan Buya Hamka memaafkannya tanpa tersisa rasa dendam dan kebencian.

Astuti, anak perempuan Pramoedya pun menangis haru melihat kebesaran hati Ulama Besar ini. Selain Hamka mengajarkan agama, juga menjadi saksi atas pernikahan anak Pramoedya.

Detik detik terakhir Mohammad Yamin akan meninggal dunia, ucapan kalimat-kalimat tauhid dituntun oleh Hamka.

Tanggal 16 Juni 1970, seorang ajudan Soekarno datang ke rumah Hamka membawa secarik kertas bertuliskan pendek: “Bila aku mati kelak, aku minta kesediaan Hamka untuk menjadi Imam Shalat Jenazahku...”

Di depan jenazah Soekarno, Hamka kembali memaafkan Soekarno. Ketika Hamka sedang berdoa yang lembut dan tulus saat menjadi Imam Shalat Jenazah Presiden pertama Indonesia.

Sekilas cerita ini semestinya Ibrah sebagian ulama saat ini, yang terus bertengkar hanya karena beda pilihan dalam pilpres 2024 ini.

Jangankan kesan sebagai ulama yang sejuk, menjadi panutan dan pendamai umat, yang sangat menyedihkan saling bertengkar dan terkesan hanya karena berebut urusan dunia. (*)