Berhasil Tingkatkan Produksi, Petani Mulai Melirik Pupuk Organik
Catatan Mochamad Toha, Wartawan Freedom News
LEBIH dari dua dekade belakangan ini, yang paling dirasakan para petani adalah sulitnya mendapatkan pupuk subsidi. Sehingga mereka pun akhirnya harus memilih dan membeli pupuk non-subsidi meskipun harganya dirasakan sangat mahal oleh petani. Selain mahal, kadang juga langka di pasaran.
Tanpa mengesampingkan pupuk non-organik selama ini sejak tahun 1970-an, ternyata akibat pemakaian pupuk yang berbasis kimia itu justru mengubah struktur tanah, sehingga merusak tanah. Tekstur tanah menjadi keras, pecah, dan retak saat musim kemarau. Tidak ada lagi binatang melata di tanah.
Belakangan diketahui, hal itu terjadi karena tanah sudah terkontaminasi zat-zat kimia bawaan pupuk non organik tersebut. Pupuk non-organik itu malah membuat ketergantungan tanaman pada pupuk. Tanaman memang tampak hijau, tetapi sejatinya itu mengandung racun yang bisa merusak tanah.
Pupuk organik sudah terbukti meningkatkan produksi padi. Paling tidak itu sudah dibuktikan oleh Sanuri, Sekretaris Desa Tambahrejo, Kecamatan Kanor, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.
"Sawah milik Pak Carik Sanusi ini tampak hijau dan subur. Tanahnya mulai menghitam, ini pertanda zat CO2 di dalam tanah semakin banyak," kata seorang petani kepada Freedom News.
Dalam usia 35 hari, dari 3 batang/tangkai bibit yang ditanam sudah bisa menghasilkan sekitar 39 anakan. Ternyata di lahan seluas sekitar satu hektare milik Pak Carik ini memakai pupuk formula organik. “Untuk aplikasi pertama ini diharapkan bisa menghasilkan sekitar 9 ton per hektare,” ungkap Tri Mardiyanto, Tim Formulator Pupuk Organik.
Tri menceritakan hasil aplikasi pertama pupuk organik di Desa Ngadirejo, Kecamatan Rengel, Tuban, bisa menghasilkan 11,4 ton/ha dari 8 ton/ha yang selama ini jika tanpa formula pupuk organik. “Kalau di sawah milik Pak Carik ini estimasinya bisa sekitar 9 ton/ha,” lanjutnya.
Jika dalam aplikasi pertama itu telah mencapai 9 ton/ha, berarti ada kenaikan hasil panen yang cukup signifikan dari yang biasanya rata-ratahanya 6-7 ton/ha. Menurut alumni Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya itu, hasil panen aplikasi kedua Ngadirejo, Rengel, bisa menghasilkan panen padi 14,7 ton/ha.
Di kalangan petani di wilayah Pati (Jawa Tengah), Klaten dan Prambanan (Jogjakarta) mulai ada yang menggunakan formula tersebut. Hasilnya, luar biasa. Tanaman padi yang biasanya menghasilkan sekitar 8-9 ton/ha, dengan formula ini bisa mencapai hasil panen sampai 13 ton/ha. Aplikasi ketiga, sudah bisa menghasilkan 14 ton/ha.
Dengan memakai pupuk organik itu, diharapkan bisa menyelamatkan tanah dan bangsa Indonesia dengan 'Revolusi Kesehatan'. Lahan sawah jadi subur dan hasil panennya bebas dari pupuk kimia. Menurut Tri, pihaknya sudah bergerak selama enam tahun.
Gabahnya utuh, tidak rusak, kualitasnya juga bagus. Begitu pula dengan jagung. Menurut Tri, ada peningkatan jumlah hasil panennya. Kacang panjang juga demikian. Terjadi penambahan sekitar 50 persen panjang kacangnya.
“Dulu waktu kita kecil, kalau habis panen, lalu sebagian disimpan dalam lumbung padi, dan gabahnya bisa tahan sampai 2-3 tahun,” ujar Tri, alumni S2 sebuah universitas di Jepang.
Sekarang, kata Tri, maksimal tiga bulan, gabah dan beras kita sudah rusak, hancur thothoren dimakan bubuk, belatung. Menurut putra Tuban itu, selama ini, dengan pola tanam yang serba pestisida, pupuk kimia, urea, dan ZA, sudah terjadi perubahan dari dalam sel beras dan bahan pangan lainnya.
Dengan menggunakan formula pupuk organik, kandungan oksigen dari beras itu menjadi maksimal. Di wilayah Lamongan, Tuban, dan Bojonegoro, sekarang ini setidaknya ada 100 ha lahan sawah yang menggunakan formula pupuk organik berbasis mikroba ini. “Di daerah ini sebagian petani sudah aplikasi,” ujar Tri.
Di Cilember, Cisarua, Kabupaten Bogor, juga telah ada yang mengaplikasikannya. Menurut Tim Aplikator di Cilember, dahulu hasil rata-rata padi kisaran 3,5-3,7 ton/hektare. Namun, aplikasi pertama rata-rata bisa panen 7,18 ton/ha. Dalam aplikasi kedua ini, umur 40 hari jumlah anakan rata-rata 38 batang.
Dari meratanya pertumbuhan anakannya, menurut Tri, para petani binaan Tim Formula Pupuk Organik di sana memperkirakan bisa panen sekitar 10 ton/ha. Dari total sekitar 14 ha, ada sekitar 20% yang rusak akibat hama keong emas berasal dari banjir bandang.
Ada lagi, pohon durian yang 5 bulan lalu panen, kemudian ditreatment dengan metode organik, sekarang sudah panen. Hasilnya, sekali petik dapat 70 kg/pohon, biasanya maksimal 40 kg/pohon. Dengan metode organik ini di Jateng dan Jogjakarta, bisa mencapai 14 ton/ha. Target Tim Formula Organik: 15-16 ton/ha, seperti di Thailand dan India.
Dengan menggunakan pupuk formula organik ini, sudah bisa dipastikan, Indonesia akan dengan mudah mencapai swasembada beras. Dari contoh aplikasi yang di Bogor saja, jelas sekali ada penambahan volume hasil panennya, yang semula 3,5-3,7 ton/ha.
Ketika aplikasi pertama dulu hasil panennya rata-rata 7,18 ton/ha. Dan, diperkirakan hasil panen aplikasi kedua bisa mencapai 10 ton/ha. Bisa dibayangkan dan dihitung, berapa ton per hektar hasil panen padinya untuk aplikasi selanjutnya.
Mas Koipin, seorang petani asli, dari desa Glagah Sari, Kecamatan Soko, Tuban bercerita, dari aplikasi kedua, lahan seluas 2.600 m2, jenis padi IR 64, bisa menghasilkan gabah kering sawah (GKS) sebanyak 3.840 kg. Kalau dipakai ukuran 1 ha, memperoleh hasil 14,760 ton/ha. “Di sebelahnya, dengan metode yang sama, diperoleh hasil 14,250 ton/ha,” ujar Tri.
Kini, menurut Tri, petani tidak perlu khawatir dengan adanya pupuk langka dan mahal harganya. Karena di Bojonegoro sejak 2020, sudah berdiri sebuah pabrik pupuk organik dengan kapasitas produksinya 400 ton per hari.
“Pengiriman pupuk organik ini ke wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan juga ke Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, NTT,” ungkap Tri Mardiyanto kepada Freedom News. (*)