Waspada, Krisis Beras Jilid 2 Masih Mungkin Terjadi
Jakarta, FreedomNews - Produksi padi tahun ini menjadi pertaruhan. Krisis beras jilid dua masih berpeluang terjadi. Arief Prasetyo Adi selaku Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) mengeklaim Indonesia telah berhasil melewati krisis beras tahap pertama yang terjadi sejak pertengahan tahun lalu. Selain importasi jutaan ton, upaya lainnya yang dilakukan pemerintah menghadapi krisis beras adalah mengguyur stok beras komersial Bulog ke penggilingan padi. Mereka diberikan harga beras sebesar Rp12.000 per kilogram untuk kemudian diwajibkan menjual sesuai harga eceran tertinggi (HET) Rp13.900 per kilogram.
Arief mengeklaim, dengan cara itu pemerintah bisa tetap menjaga petani menikmati harga gabah yang tinggi. Adapun, upaya lainnya yang dilakukan di hilir, yakni penyaluran bantuan pangan beras hingga operasi pasar beras SPHP Bulog. "Fase krisisnya sudah lewat yang pertama. Fase krisis kedua, setelah ini tergantung penanaman di Maret dan April," ujar Arief usai rapat koordinasi pengamanan stok dan harga pangan jelang Ramadan, Selasa, 5 Maret 2024. Menurut Arief, saat penanaman pada Maret-April mencapai lebih dari 1 juta hektare, diperkirakan Indonesia tidak akan kekurangan beras pada musim gadu pada Juli 2024.
"Maka bulan 7 kita tetap masih punya beras di atas 2,5 juta ton," ungkapnya. Hal sebaliknya bisa terjadi, saat penanaman pada Maret-April tidak berjalan mulus karena iklim. Kendati begitu, Arief mengatakan, pemerintah telah bersiap dengan stok cadangan beras pemerintah (CBP) untuk melakukan intervensi saat krisis terjadi.
"Pemerintah sudah bersiap dengan CBP-nya karena Juli-akhir tahun dan awal tahun adalah masa pemerintah melakukan intervensi," ucapnya. Sementara itu, Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras Indonesia (Perpadi) Sutarto Alimoeso mengatakan, adanya fenomena El Nino dan perubahan iklim membuat panen raya sejak 2 tahun terakhir hanya berlangsung satu kali. Padahal tahun-tahun sebelumnya panen raya bisa terjadi dua kali dalam setahun.
"Saya takutnya tahun ini satu kali (panen raya), pengaruhnya pasti terhadap harga," katanya. Selain adanya persoalan konversi lahan yang masif, Sutarto juga menyebut bahwa produktivitas padi yang rendah menjadi masalah lainnya. Adapun, panen raya tahun ini diperkirakan hanya sekitar 3,5 juta ton. Kondisi yang jauh berbeda dari panen raya tahun sebelumnya mencapai 5 juta ton. Produksi yang diperkirakan tidak sebesar periode panen raya sebelumnya, kata Sutarto, menjadi tanda-tanda harga beras tidak turun signifikan jelang panen raya. "Ini sebenarnya kenapa masih harga (beras) ini keliatan bergerak, tapi kok belum signifikan ya," katanya. %.(dtf/keu)