Gerakan Perubahan: Saatnya Intelektual Melawan
Seperti yang terjadi dalam banyak revolusi intelektual di masa lalu, perlawanan ini adalah upaya untuk merebut kembali hak dan kekayaan negara dari tangan tirani modern dan oligarki yang telah terlalu lama memanipulasi kekuasaan.
Oleh: M. Isa Ansori, Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya
TADINYA tulisan ini dibuat untuk menyikapi gerakan yang dilakukan oleh tirani kekuasaan yang akan mengadakan apel siaga Pasukan Berani Mati Pembela Jokowi yang dilaksanakan hari ini, 22 September 2024, di Jakarta.
Satu gerakan tirani kekuasaan yang menghalalkan segala cara dan cenderung premanisme harus dilawan dengan gerakan intelektual yang mengedepankan pemikiran dan berupaya menyelamatkan bangsa dari bahaya perpecahan.
Sejarah penuh dengan momen-momen di mana intelektual bangkit melawan tirani yang congkak dan menipu rakyat. Di berbagai zaman, para pemikir, cendekiawan, dan tokoh-tokoh dengan moral tinggi tak hanya menjadi saksi dari ketidakadilan, tetapi juga memimpin gerakan untuk membongkar kebohongan dan kezaliman penguasa yang korup.
Salah satu contoh ikonik adalah Revolusi Prancis pada akhir abad ke-18. Intelektual seperti Voltaire, Rousseau, dan Montesquieu menelanjangi kebobrokan monarki absolut yang telah menindas rakyat Prancis.
Mereka menggunakan pena dan pemikiran kritis yang berusaha membangkitkan kesadaran publik, menyerukan kebebasan, kesetaraan, dan perlawanan terhadap pemerintahan yang menipu dan sewenang-wenang. Kritik keras dari para filsuf inilah yang pada akhirnya mengguncang rezim, menyulut api revolusi yang mengubah arah sejarah dunia.
Abad ke-20, kita melihat perlawanan dari para intelektual melawan fasisme di Eropa. Nama-nama seperti George Orwell dan Albert Camus muncul sebagai suara hati nurani yang menolak tunduk pada tirani.
Orwell, dengan karyanya seperti 1984, menggambarkan kebrutalan dan tipu daya rezim totaliter yang menyelubungi rakyat dengan kebohongan demi menjaga kekuasaan. Sementara itu Camus, melalui The Rebel, menekankan pentingnya perlawanan intelektual sebagai bentuk pembelaan terhadap martabat manusia di tengah kekuasaan yang lalim.
Indonesia sendiri tak terlepas dari semangat perlawanan intelektual. Pada masa penjajahan, tokoh seperti Soekarno, Hatta, dan Tan Malaka menggunakan intelektualisme mereka untuk melawan dominasi kolonial yang menindas dan mengeksploitasi bangsa ini.
Melalui tulisan, pidato, dan ide-ide revolusioner, mereka memicu gelombang perlawanan yang akhirnya membawa Indonesia merdeka. Tan Malaka, dalam buku Madilog, misalnya, menekankan pentingnya berpikir rasional dan melawan penjajahan dengan kekuatan intelektual, bukan hanya fisik.
Saat ini, di tengah era post-truth dan kebangkitan populisme, peran intelektual kembali berada di garis depan. Tirani modern tidak lagi selalu berwujud fisik, melainkan hadir dalam bentuk manipulasi informasi, kebohongan sistemik, dan pengaburan fakta.
Penguasa yang congkak dengan menggunakan propaganda untuk menipu rakyat, menyebarkan kebencian dan memecah belah masyarakat. Dalam konteks ini, suara intelektual sangat dibutuhkan untuk menantang narasi yang sudah keliru, membongkar tipu daya, dan mengembalikan kebenaran kepada publik.
Saatnya intelektual melawan! Bukan dengan kekerasan, tetapi dengan kekuatan gagasan, logika, dan moralitas. Seperti yang dikatakan oleh Noam Chomsky, "Intelektual memiliki tanggung jawab untuk berbicara kebenaran dan mengekspos kebohongan."
Kita tidak boleh diam ketika kebohongan merajalela, ketika ketidakadilan menjadi norma, dan ketika kebebasan berpikir dan berekspresi dikebiri. . Gerakan perubahan yang diusung Anies Baswedan saat ini tidak hanya berakar pada niat untuk memperbaiki sistem, tetapi juga merupakan sebuah perlawanan terhadap tirani modern yang diwakili oleh pemerintahan Jokowi dan jaringan oligarki yang berkuasa.
Di bawah pemerintahan Joko Widodo, berbagai kebijakan yang dipersepsikan condong kepada kepentingan segelintir elit telah membuat banyak pihak merasa kecewa, terutama para intelektual dan tokoh masyarakat yang peduli pada masa depan bangsa.
Oligarki dan korupsi telah menyusup ke jantung kekuasaan, menguasai aset negara, serta memeras rakyat melalui penguasaan sumber daya alam dan manipulasi sistem.
Gerakan yang dipimpin oleh Anies Baswedan membawa semangat perlawanan intelektual yang telah lama menjadi tulang punggung perubahan di banyak negara. Dalam hal ini, Anies tidak hanya berjuang melawan struktur kekuasaan yang korup, tetapi juga membawa misi moral dan intelektual untuk merebut kembali kedaulatan rakyat.
Seperti perlawanan intelektual pada masa lalu yang berhadapan dengan tirani dan kekuasaan yang congkak, gerakan perubahan Anies menolak tunduk pada kebijakan yang memperkaya oligarki dan mengorbankan kepentingan rakyat banyak.
Di bawah pemerintahan Jokowi, banyak yang menilai bahwa ada konsolidasi kekuasaan di tangan segelintir orang kaya yang memiliki akses langsung ke pusat kekuasaan.
Kebijakan-kebijakan yang pro-oligarki, seperti proyek infrastruktur raksasa yang seringkali dibiayai oleh utang besar atau pemberian konsesi tambang dan lahan yang luas kepada elite tertentu, telah mengikis kepercayaan publik.
Inilah bentuk baru dari tirani modern, di mana negara menjadi alat bagi sekelompok kecil penguasa ekonomi untuk memperkaya diri mereka sendiri, sementara rakyat semakin terpuruk.
Anies, dalam gerakan perubahannya, menyuarakan perlunya memperjuangkan kembali kedaulatan rakyat atas aset negara. Dia mengajak masyarakat untuk menuntut transparansi, akuntabilitas, dan keadilan dalam pengelolaan kekayaan alam, yang selama ini didominasi oleh kekuatan oligarki.
Seperti halnya gerakan intelektual masa lalu yang menolak kediktatoran dan penindasan, gerakan ini berusaha menggulingkan dominasi oligarki yang semakin kuat di bawah pemerintahan Jokowi.
Perlawanan Anies juga bisa dilihat sebagai bentuk intelektualisme yang memperjuangkan demokrasi substansial, bukan sekadar demokrasi prosedural yang dimanipulasi oleh kekuatan uang dan kekuasaan.
Para intelektual yang mendukung Anies melihat pentingnya menggali lebih dalam masalah-masalah yang dihadapi bangsa, mulai dari ketidakadilan ekonomi, korupsi, hingga pengelolaan sumber daya yang hanya menguntungkan segelintir orang.
Dengan demikian, mereka percaya bahwa untuk melawan oligarki yang sudah menguasai kekayaan negara, diperlukan gerakan perubahan yang lebih dalam, lebih dari sekadar kosmetik politik.
Seperti halnya Soekarno, Hatta, dan Tan Malaka yang berjuang melawan kolonialisme dengan kekuatan pemikiran, saat ini Anies dan para intelektual pendukungnya berjuang melawan bentuk baru penjajahan – penjajahan oleh oligarki ekonomi yang memanfaatkan negara untuk kepentingan mereka sendiri.
Anies membawa semangat revolusi intelektual yang menyerukan perlawanan terhadap penipuan publik yang terorganisir, di mana kebijakan ekonomi dan politik negara dikendalikan oleh mereka yang hanya ingin mengakumulasi kekayaan.
Gerakan ini merupakan panggilan bagi intelektual untuk berani bersuara, menolak tunduk pada kekuasaan yang menciptakan kesenjangan dan ketidakadilan. Ketika korupsi telah merajalela dan sumber daya alam negara hanya menjadi komoditas bagi segelintir oligarki, saatnya intelektual melawan, berdiri bersama rakyat, dan mengusung perubahan.
Perlawanan ini bukan hanya untuk masa kini, tetapi untuk menyelamatkan generasi mendatang dari belenggu tirani yang merusak masa depan bangsa.
Dengan dukungan intelektual yang terorganisir dan kesadaran publik yang terus meningkat, gerakan perubahan Anies Baswedan dapat menjadi titik balik dalam sejarah Indonesia.
Seperti yang terjadi dalam banyak revolusi intelektual di masa lalu, perlawanan ini adalah upaya untuk merebut kembali hak dan kekayaan negara dari tangan tirani modern dan oligarki yang telah terlalu lama memanipulasi kekuasaan.
Gerakan ini merupakan panggilan untuk semua pemikir, aktivis, dan warga negara yang peduli: mari kita berjuang dengan kata-kata, gagasan, dan integritas. Kinilah saatnya intelektual melawan tirani yang terus berusaha menipu dan menindas rakyat. (*)