Jokowi Wajib Tanggung Jawab atas Perbuatan Melawan Hukum Proyek IKN

Sebagai konsekuensi, semua dana APBN yang dikeluarkan berdasarkan UU IKN yang tidak sah dan melanggar (UU dan) Konstitusi tersebut, juga menjadi tidak sah, dan masuk dalam kategori penyimpangan APBN, dan Jokowi harus bertanggung jawab atas penyimpangan APBN tersebut.

Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

PROYEK IKN hampir dapat dipastikan mangkrak. Dan, Joko Widodo sudah melihat tanda-tandanya. Sebab, menjelang lengser pada 20 Oktober 2024, pembangunan ‘Kota Nusantara’ masih sangat jauh dari layak untuk menjadi sebuah kota, apalagi menjadi ibu kota.

Karena itu, Jokowi belum menerbitkan Keputusan Presiden tentang pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke ‘Nusantara’, yang menjadi persyaratan pemindahan ibu kota.

Atas kegagalan proyek IKN ini, Jokowi mau cuci tangan. Jokowi mengatakan, proyek IKN bukan proyek Presiden. Tetapi proyek rakyat.

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240925144720-32-1148225/jokowi-bantah-ikn-proyek-presiden-keputusan-seluruh-rakyat/amp

Enak saja. Alasan ini tentu saja tidak bisa diterima. Jokowi tidak bisa cuci tangan dari perbuatan melawan hukum yang dilakukannya. Jokowi harus bertanggung jawab.

Permasalahan IKN tidak bisa disederhanakan menjadi “ini bukan proyek presiden”.

Tidak. Bukan itu masalahnya.

Masalah IKN adalah masalah perbuatan melawan hukum, masalah pelanggaran undang-undang dan Konstitusi. Yang menyedihkan, Jokowi melakukan perbuatan melawan hukum tersebut secara sengaja dan sangat terencana.

Artinya, Jokowi sangat sadar bahwasannya UU IKN yang disahkan dan ditandatanganinya, pada 15 Februari 2022, merupakan UU yang melanggar sejumlah UU dan Konstitusi.

Pertama, Jokowi dengan sengaja membentuk Pemerintah Daerah (baru) untuk Ibu Kota Negara dalam bentuk Otorita, yang merupakan bagian dari Pemerintah Pusat, setara dengan Kementerian atau Lembaga, tanpa ada DPR, di mana Kepala Daerah Otorita dinamakan Kepala Otorita, yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

Hal ini melanggar Konstitusi Pasal 18 di mana Daerah di Indonesia hanya bisa dalam bentuk Provinsi, Kabupaten, atau Kota, dengan masing-masing Daerah mempunyai DPRD, dengan masing-masing Kepala Daerah dinamakan Gubernur, Bupati atau Walikota, yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum.

Jokowi secara sadar melanggar konsep Daerah seperti diatur di Konstitusi tersebut di atas, dengan menempatkan Daerah/Otorita secara langsung di bawah Presiden, yang notabene melanggar peraturan tentang otonomi daerah.

Kedua, Jokowi melanggar proses pembentukan sebuah kota atau daerah, seperti diatur dalam UU tentang Pemerintahan Daerah (UU Nomor xx/2015), bahwa pembentukan daerah baru wajib melalui Pemekaran atau Penggabungan daerah, dan wajib mendapatkan persetujuan dari DPRD masing-masing daerah yang dimekarkan atau digabungkan.

Tetapi, Jokowi tidak melaksanakan semua prosedur itu. Sebaliknya, Jokowi malah merebut alias aneksasi teritori (lahan) milik pemerintahan daerah (Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Timur) di Kalimantan Timur menjadi milik Pemerintah Pusat, melalui konsep Otorita.

Sebagai konsekuensi, semua dana APBN yang dikeluarkan berdasarkan UU IKN yang tidak sah dan melanggar (UU dan) Konstitusi tersebut, juga menjadi tidak sah, dan masuk dalam kategori penyimpangan APBN, dan Jokowi harus bertanggung jawab atas penyimpangan APBN tersebut.

Selain itu, Jokowi juga memanipulasi fakta, atau menipu rakyat Indonesia, dengan mengatakan, investor IKN sudah mengantri. Faktanya, investor swasta dan asing nol besar.

Berdasarkan penjelasan di atas, sekali lagi ditegaskan, bahwa permasalahan utama IKN bukan permasalahan “IKN proyek siapa”.

Tetapi, permasalahan IKN merupakan perbuatan melawan hukum. Dalam hal ini, Jokowi dengan sengaja menciptakan proyek IKN dengan melanggar UU dan Konstitusi.

Untuk itu, Jokowi wajib mempertanggunjawabkan perbuatannya yang melawan hukum tersebut di atas. (*)