Pasal Karet dalam UU TNI untuk Kondisi Darurat, Bukan Demi Politik Praktis Presiden
Kondisi seperti itu terjadi dalam perang berlarut seperti perang gerilya yang dilakukan Panglima Besar Sudirman saat menghadapi tentara Belanda dan sekutu pada Agresi Militer Belanda. Fakta nyatanya TNI dan Polri dibantu oleh rakyat, utamanya dalam logistik di desa-desa.
Oleh: Selamat Ginting, Pengamat Politik dan Militer Universitas Nasional (UNAS) Jakarta
SAYA memahami adanya pasal karet dalam revisi Undang-Undang (UU) TNI untuk kondisi darurat, bukan demi kepentingan politik praktis presiden.
Kondisi darurat adalah keadaan sulit yang tidak disangka-sangka dan memerlukan penanggulangan segera mungkin. Di situlah Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas TNI sesuai UUD 1945 pasal 10, dapat bertindak cepat untuk mengatasi keadaan yang sangat terpaksa dengan menggerakkan TNI.
Ada pernyataan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Mayor Jenderal Nugraha Gumilar di Jakarta, Selasa (11/6/2024). Kapuspen TNI mengatakan masyarakat tidak perlu khawatir adanya pasal karet dalam revisi UU TNI.
Sebelumnya Koalisi Masyarakat Sipil untuk Sektor Keamanan khawatir adanya pasal karet dalam revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Tolak Politik Praktis
Memang, dalam keadaan darurat Presiden bisa segera memutuskan tindakan yang tepat dengan memerintahkan TNI. Sehingga pasal karet haram hukumnya digunakan untuk kepentingan politik praktis presiden.
Namun jika tidak ada pasal karet dalam UU TNI seperti itu, yang rugi adalah bangsa Indonesia, karena akan terkendala birokrasi yang panjang. Padahal pada saat darurat, harus diputuskan secepatnya dengan kerahasiaan tinggi.
Publik bisa bereaksi keras apabila Presiden menggerakkan TNI dalam pasal karet itu untuk kepentingan politik praktis. Jika itu terjadi, maka Panglima TNI juga dapat menolak perintah Presiden, karena politik TNI adalah politik negara, bukan politik praktis.
Keadaan darurat, tidak mesti dalam situasi darurat sipil, darurat militer, bahkan darurat perang. Melainkan situasi yang belum pernah diprediksi sebelumnya. Namun dapat membahayakan persatuan nasional bahkan kedaulatan negara.
Dalam Pasal 47 ayat (2) UU TNI saat ini, sudah berjalan di sejumlah kementerian dan lembaga, yang masih terkait dengan bidang pertahanan dan keamanan negara. Sehingga keberadaan TNI pada 10 kementerian atau lembaga negara, masih bisa dipahami.
Sishankamrata
Dalam revisi UU TNI terkait tugas TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP) pada poin 20 menyebutkan: TNI melaksanakan tugas lain yang ditetapkan oleh Presiden guna mendukung pembangunan nasional. Itulah pasal karet dalam OMSP TNI.
Bagi yang tidak mengerti konsep perang Indonesia, Sishankamrata (sistem pertahanan keamanan rakyat semesta) seperti tertuang dalam UUD 1945, akan sulit memahaminya.
Misalnya, salah satu program yang sedang dilakukan TNI saat ini adalah ketahanan pangan. Itulah perintah Presiden kepada TNI untuk pembangunan nasional dalam hal membuat lumbung pangan.
Lumbung pangan itu sebagai ketahanan pangan ke depan dipersiapkan untuk kondisi darurat menghadapi perang berlarut yang membutuhkan kesiapan logistik bagi TNI dan Polri sebagai kekuatan utama Sishankamrata dan rakyat sebagai kekuatan pendukungnya.
Kondisi seperti itu terjadi dalam perang berlarut seperti perang gerilya yang dilakukan Panglima Besar Sudirman saat menghadapi tentara Belanda dan sekutu pada Agresi Militer Belanda. Fakta nyatanya TNI dan Polri dibantu oleh rakyat, utamanya dalam logistik di desa-desa.
Basis perlawanan tersebut mesti memiliki lumbung pangan, karena jika logistiknya lumpuh, maka Angkatan Bersenjatanya juga lumpuh.
Pasal karet dalam UU TNI antara lain untuk situasi seperti itu. Jangan berpikir negatif yang justru akan melemahkan kekuatan nasional kita. (*)