Revolusi Jakarta

Jakarta sepertinya tengah mengandung keragaman janin dari benih-benih kemarahan sekaligus ketidakberdayaan. Jakarta seakan diliputi rasa frustasi tapi terbersit ketidakpuasan. Jakarta ingin lebih dari sekedar metropolis dan modern, warganya juga ingin humanis dan penuh keberadaban.

Oleh: Yusuf Blegur, Kolumnis dan Mantan Presidium GMNI

JAKARTA terlalu sering membara. Tidak sekedar api yang yang menyala-nyala membakar dan melumatkan tembok dan gedung jumawa. Tumpahan darah dan tubuh ringkih yang cedera terkadang tercecer di pinggiran dan tengah kota. Desing peluru dan pukulan keras menciptakan keheningan dan kematian juga kerap menyelimuti penghuni jelata yang lemah dan papa.

Sikap kritis dan perhatian yang begitu besar, antusias diperlihatkan pada agenda Pilkada Jakarta. Bukan hanya dari warga Jakarta, sebagian besar rakyat di seluruh Indonesia juga intens selalu mengamatinya.

Bahkan pemilihan gubernur Jakarta pada bulan November mendatang tak kalah hebohnya dengan Pilpres 2024 yang lalu. Apa sebabnya, menarik untuk ditelisik dan berikut ini ulasannya.

Pertama; Pilkada Jakarta menjadi agenda penting dan strategis yang jadwalnya berdekatan dengan berakhirnya masa jabatan presiden dua periode Joko Widodo. Bisa dipastikan jelang lengsernya dia, segala cara dilakukan untuk mengamankan kelanggengan program-program pemerintahan dan juga tentu saja keselamatan Jokowi dan keluarga serta para kroni sekelilingnya pasca berkuasa.

Kedua; Pilkada Jakarta masih terang-benderang mengumbar intervensi dan hegemoni Jokowi. Terbukti fakta itu tak bisa dibantah dengan kontestasi pilkada Jakarta yang diikuti oleh koalisi 15 partai pendukung pemerintah (KIM Plus), calon PDIP dan independen yang kemunculannnya konspiratif dan “by desaind”.

Dominasi Jokowi sangat kental pada pilkada Jakarta yang memaksakan pasangan Ridwan Kamil –Suswono, Pramono Anung – Rano Karno, dan Dharma Pongrekun – KunWardana. Publik meyakini semua kontestan pilgub Jakarta itu adalah boneka-boneka hidup rezim Jokowi.

Ketiga; Fenomena Anies Baswedan yang kalah pilpres dan gagal sebagai calon gubernur Jakarta yang disinyalir karena pelbagai penjegalan oleh rezim Jokowi, menimbulkan reaksi yang kuat dari rakyat baik di Jakarta maupun secara nasional. Rakyat sudah pada satu kesimpulan pada praktik-praktik busuk konstitusi dan demokrasi.

Seiring dengan itu juga rakyat sudah mencapai klimaksnya kekecewaan dan kemarahan terhadap penyimpangan dan kejahatan struktural yang dilakukan rezim Jokowi dalam penyelenggaraan negara.

Kemudian pertanyaannya bagaimana dengan realitas politik yang demikian, apa yang akan menjadi tindakan rakyat untuk menegakkan konstitusi dan demokrasi yang terlanjur dimanipulasi rezim?

Dalam hal menghadapi pilkada Jakarta, cukupkah warga Jakarta hanya melakukan gerakan golput atau coblos semua pasangan kontestan? Apakah proses pilkada Jakarta 2024 dan berikut apapun hasilnya harus diterima warga Jakarta begitu saja? Sangat menggelitik untuk terus membedah nasib rakyat ke depan melalui dinamika kota Jakarta sebagai barometer politik nasional.

Sanggupkah warga Jakarta membiarkan nasibnya di tangan anasir oligarki? Dari proyek reklamasi hingga kebijakan marginalisasi, apakah akan menjadi menu warga sehari-hari? Kapitalisme yang menghidupkan Industrialisasi terus berproduksi menghasilkan pengangguran dan kelaparan, serta kebanyakan manusia sebagai sapi perah.

Warga Jakarta tergusur, dilecehkan dan dikhianati para penghianat dan penjahat berkedok sebagai pemangku kepentingan publik yang arogan. Tidak sedikit yang teraniaya dan mati sia-sia hanya karena memperjuangkan haknya demi keinginan hidup layak.

Keadilan masih sangat mahal, masih menjadi konsumsi yang ekslusif. Jurang pemisah kaya dan miskin terpancar dari gedung-gedung tinggi tempat para kapitalis berkembang-biak. Dan beternak keringat rakyat dan menuai pundi-pundi kemewahan dan hidup hedonis dari segelintir orang dan kelompok.

Warga Jakarta cuma ada dua pilihan, menjadi individualis dengan busana anggun kapitalisme atau bergumul penat dalam gotong-royong spirit Pancasila. Meradang tertindas, menyerah menghadapi kolonialisme sebuah kota atau menolak diam tertindas dan bangkit dalam perlawanan.

Rakyat seantero republik menunggu Jakarta bersuara. Suara yang melahirkan kesadaran dan kebangkitan dari keterpurukan konstitusi dan demokrasi. Suara yang mampu menggerakan sikap mental berdaulat dan mandiri.

Suara yang mampu memaksa kebijakan yang tak merendahkan rakyat. Suara yang menghidupkan denyut jantung revolusi, yang tak redup karena kelemahan dan keterbatasan. Suara yang menyeru rezim, ke arah mana laras senjata kalian arahkan ke tubuh kami wahai penguasa, penjara mana lagi yang kalian siapkan untuk kami?

Betapapun kalian isolasi, betapaun kalian cabik-cabik tubuh kami dan kalian jadikan tubuh kami bangkai, kami akan tetap hidup sebagai jiwa yang merdeka, yang menjadi virus-virus perlawanan dan pembebasan.

Jakarta sepertinya tengah mengandung keragaman janin dari benih-benih kemarahan sekaligus ketidakberdayaan. Jakarta seakan diliputi rasa frustasi tapi terbersit ketidakpuasan. Jakarta ingin lebih dari sekedar metropolis dan modern, warganya juga ingin humanis dan penuh keberadaban.

Ada keberanian sekaligus juga dipenuhi ketakutan, ada keinginan sekaligus keengganan pada perubahan.

Melewati tembok besar konstitusi dan demokrasi yang menghimpit, jalan-jalan dan lorong yang kumuh dan sesak masih banyak penghuni yang bercita-cita merobohkan tembok pembatas dan menyalakan api revolusi dalam udara pembebasan dari pengaruh oligarki dan politik dinasti Jakarta. (*)