Tidak Sudi Dijajah China (5)
Ajaran Sun Tsu ini nyata saat ini dilaksanakan dengan konsisten oleh saudagar China dan Presiden Joko Widodo. Oligarki di Indonesia telah mampu merombak, mengubah semua aturan negara yang dikeluarlan orde baru.
Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih
PENGHIANATAN orang-orang China yang mendukung dan mendanai PKI DN Aidit saat melakukan kudeta G-30-S/PKI tahun 1965 dicermati oleh Suharto dengan kontrol dan kendalikan pada kegiatan sosial-politik mereka.
Suharto bergerak cepat mengeluarkan aturan pembatasan segala sesuatu yang berbau atau terkait China dengan kegiatan keagamaan, adat-istiadat, tradisi, budaya, ekonomi dan politiknya. Hukuman mati itu paling tepat dikenakan pada para pengkhianat Negara.
Keluarlah beberapa keputusan, seperti instruksi, surat edaran untuk mengendalikan etnis China di Indonesia antara lain:
Keluar Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967 tentang affinitas curturil yang berpusat pada negeri leluhurnya harus dilakukan secara internal. Pesta agama dan istiadat China tidak menyolok di depan umum, hanya boleh dilakukan di lingkungan keluarga.
Disusul Surat Edaran Nomor 06/Preskab/6/67 bahwa istilah "China" tetap dipergunakan, sedang istilah "Tionghoa/Tiongkok ditinggalkan".
Berlanjut pengawasan gerak-gerik masyatakat China oleh sebuah badan yang bernama Badan Koordinasi Masalah China (BKMC) yang menjadi bagian dari Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN).
Keputusan Presiden Kabinet Nomor 127/U/KEP/12/1966 tentang warga Indonesia masih memakai nama China agar disesuaikan dengan nama Indonesia yang dilayani dengan prosedur khusus.
Insruksi Presidium Kabinet Nomor 37/U/IV/6/1967 tentang Kebijakan Pokok Penyelesaian masalah Cina dibentuk Badan Koordinasi Masalah China. Badan khusus di lingkungan BAKIN.
Surat Edaran Presidium Kabinet RI No.SE-06/PresKab/6/1967 tentang kebijakan pokok ketutunan asing mencakup pembinaan WNI keturunan asing melalui proses asimilasi untuk mencegah dari kehidupan eksklusif rasial, serta anjuran WNI keturunan asing yang masih menggunakan nama China diganti dengan nama Indonesia.
Instruksi Presidium Kabinet Nomor 37/IN//6/1967 tentang tempat yang disediakan untuk anak WNA China di sekolah Nasional 40%, WNI harus lebih banyak dari murid WNA China.
Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 455.2-360/1968 tentang penataan Kelenteng di Indonesia dan Edaran Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika Nomor 02/SE/Dirjen/PP6/K/1988 tentang larangan penerbitan dan pencetakan tulisan/iklan beraksen dan berbahasa China.
Jaman terus berubah pemerintahan di Nusantara, silih berganti bahkan dengan rezim dungu, tolol, dan buta sejarah. Etnis China tetap lihai mampu membeli, bahkan beternak para penguasa.
Sukar membedakan antara bajingan dan birokrat, penampilan dan tindakan mereka. Perilakunya serupa sama-sama congkak, kejam, penjilat, penghianat, dan licik.
Etnis China akan selalu eksis menyesuaikan, beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Dengan kekayaannya mampu mengatur peristiwa politik di belakang layar.
Politik itu bisnis, bisnis itu perang. Kalau pasar adalah medan perang maka diperlukan strategi dan taktis.
Sun Tsu menulis ajarannya: Serang mereka di saat mereka tak menduganya, (dan) di saat mereka lengah. Haluslah agar kau tak terlihat. Misteriuslah agar kau tak teraba. Maka kau akan menguasai nasib lawanmu. Gunakan mata-mata dan pengelabuan dalam setiap usaha. Segenap hidup ini dilandaskan pada tipuan.
Ajaran Sun Tsu ini nyata saat ini dilaksanakan dengan konsisten oleh saudagar China dan Presiden Joko Widodo. Oligarki di Indonesia telah mampu merombak, mengubah semua aturan negara yang dikeluarkan orde baru.
Semua aturan orde baru yang mengikat, menyekat, dan membelenggu, mereka hancurkan. Bahkan saat ini etnis China sudah mengelola, mengatur, dan mengendalilan NKRI.
Penguasa dan semua birokrat pemerintahan sudah sempurna sebagai budak oligarki yang lengkap dengan gelarnya sebagai bajingan, pecundang, dan penghianat negara.
Tiba saatnya cepat atau lambat mereka harus dimusnahkan dan layak dihukum mati. (Bersambung)