Akankah Pilpres 2024 Netral?

Salah satu cara menghadapi kekuatiran ketidaknetralan Pilpres 2024 tentu harus dilakukan dengan memperkuat basis elektoral AMIN di masing-masing TPS, sehingga setiap suara yang ada di TPS akan terjaga.

Oleh: Isa Ansori, Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya

SEBUAH pertanyaan klasik yang berisi kekhawatiran tentang pelaksanaan Pilpres 2024. Pertanyaan ini menjadi pertanyaan publik, setelah melihat rekam jejak pada Pilpres 2014 dan 2019 yang penuh dengan kejadian dramatik. Sehingga masyarakat menjadi gamang akan netralitas Presiden Joko Widodo pada pilpres 2024.

Pemilihan presiden (pilpres) merupakan salah satu momentum penting dalam demokrasi. Pilpres menjadi ajang bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang mereka inginkan. Untuk memastikan pilpres berjalan adil dan jujur, maka diperlukan netralitas dari semua pihak, termasuk presiden dan aparat pemerintah.

Namun, sayangnya dalam perjalanan Pilpres 2014 dan 2019 netralitas rezim berkuasa sebelumnya juga patut dipertanyakan. Pada 2014 rezim sebelumnya yang dipegang Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terlihat lebih condong ke pasangan Joko Wi – Jusuf Kalla dibanding Prabowo Subianto – Hatta Rajasa.

Hal yang sama terjadi pada tahun 2019, dimana Jokowi yang ketika itu incumbent lebih memilih Ma'ruf Amin sebagai cawapresnya, tidak mengundurkan diri sebagai presiden selama pencalonan, sehingga hal ini memungkinkan terjadinya "abuse of power", penyalahgunaan kekuasaan.

Kekuatiran masyarakat atas penyalahgunaan kekuasaan pun terbukti diantaranya, pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, Jokowi dikritik oleh berbagai pihak karena dinilai tak netral saat kampanye. Kritik tersebut muncul karena Jokowi kerapkali melakukan kegiatan yang dianggap menguntungkan dirinya dan pasangannya, Ma'ruf Amin, dalam kampanye.

Berikut adalah beberapa contoh ketidaknetralan Jokowi dalam Pilpres 2019:

Jokowi kerap kali memanfaatkan jabatannya sebagai presiden untuk mempromosikan dirinya dan pasangannya. Misalnya, Jokowi seringkali memakai fasilitas negara, seperti pesawat kepresidenan, untuk berkampanye.

Selain itu, Jokowi juga seringkali menggunakan panggung kenegaraan untuk mempromosikan visi-misinya.

Jokowi seringkali melakukan kegiatan yang menguntungkan dirinya dan pasangannya. Misalnya, Jokowi meresmikan proyek-proyek infrastruktur yang dibiayai oleh pemerintah pusat di daerah-daerah yang menjadi basis dukungannya.

Selain itu, Jokowi juga seringkali melakukan kunjungan kerja ke daerah-daerah yang menjadi basis dukungannya.

Jokowi kerapkali menggunakan aparat negara untuk mengamankan kampanyenya. Misalnya, aparat keamanan seringkali diturunkan untuk mengawal kampanye Jokowi – Ma'ruf di daerah-daerah yang rawan konflik.

Pada pilpres 2024 diwarnai dengan kejadian-kejadian dramatik yang dilakukan oleh Jokowi karena menolak Anies Baswedan sebagai capres 2024. Berbagai upayapun dilakukan untuk menghadang Anies.

Jauh hari sebelum mendapatkan tiket calon dari partai politik, terlihat ada berbagai usaha rezim yang berusaha mematikan langkah Anies untuk dicapreskan. PDIP dan PSI menjadi ujung tombak terdepan untuk mejegal Anies. Namun sayangnya langkah Anies tak bisa dibendung.

Paska pencalonan Anies oleh partai Nasdem di Oktober 2022, berbagai upaya dan intrik dilakukan untuk menghadang Anies, saat itu KPK dijadikan instrumen untuk menghentikan Anies dengan pintu masuk Formula E. Sayangnya cara itupun tak berhasil.

Cara lainpun ditempuh dengan jalan menggagalkan terbentuknya Koalisi Perubahan dan Persatuan (KPP). Partai Demokrat juga berusaha menekan Anies agar menjadikan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai cawapres. Berbagai isu dan opini dilempar oleh elit Demokrat bahwa akan ada partai yang berkhianat dalam KPP. Suasana di internal KPP pun menjadi tidak kondusif.

Pada saat situasi tidak kondusif, Surya Paloh membuat langkah cepat dan tepat menyelamatkan KPP dan tiket Anies. Menggandeng PKB dan Muhaimin Iskandar di saat posisinya digantung oleh Prabowo Subianto. Dalam waktu yang relatif singkat, Deklarasi Anies – Muhaimin pun dilakukan.

Deklarasi inilah yang kemudian membuat koalisi terselamatkan dan tiket pasangan Anies – Cak Imin aman, meski pada akhirnya Demokrat hengkang.

Pernyataan Jokowi yang akan cawe cawe pada Pilpres 2024 menjadi penegas bahwa pilpres tidak akan bisa netral. Dan itu terbukti Jokowi berusaha "memaksakan" kehendaknya. Jokowi hanya berharap siapapun yang menggantikannya harus bisa menjamin dan mengamankan proyek-proyek yang dia jalankan, terutama IKN dan Kereta Cepat Jakarta Bandung.

"All Jokowi Mens" pun gagal dilakukan setelah Ganjar Pranowo dibentengi Megawati Soekarnoputri dan PDIP dari pengaruh Jokowi. Dukungan secara terang-terangan dilakukan oleh Jokowi kepada Prabowo. Kompensasi yang didapatkan adalah menjadikan Gibran Rakabuming Raka, yang masih menjabat Walikota Solo, sebagai cawapresnya.

Gibran yang juga putra Jokowi, tentu ini akan membuat Jokowi sulit bertindak netral. Jokowi akan berbuat apapun untuk menjadikan Gibran sebagai pewaris tahta yang bisa menjamin terlaksananya IKN dan KCJB.

Indikasi bahwa Jokowi akan melakukan apapun untuk Gibran bisa dilihat bagaimana Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, yang jadi masih ipar Jokowi dan paman Gibran memberi ruang hukum agar Gibran bisa dicalonkan.

Membayangkan Pilpres 2024 akan berlangsung netral tampaknya seperti harus menghilangkan ingatan kita terhadap pilpres 2019, yang diwarnai dengan dugaan-dugaan kecurangan.

Salah satu cara menghadapi kekuatiran ketidaknetralan Pilpres 2024 tentu harus dilakukan dengan memperkuat basis elektoral AMIN di masing-masing TPS, sehingga setiap suara yang ada di TPS akan terjaga.

Hal lain yang menguntungkan adalah konflik PDIP dan Jokowi, tentu ini akan membuat PDIP akan punya sikap yang sama dengan KPP, bagaimana menghentikan potensi ketidaknetralan Pilpres 2024.

Isu politik dinasti, KKN, Mahalnya harga bahan pangan dan sulitnya lapangan pekerjaan serta sulitnya mendapatkan akses pendidikan yang baik dan berkualitas serta murah, akan menjadi hal bagus menghentikan rezim yang tidak netral ini. (*)