Artifisial Tahapan Pilpres
Luasnya wilayah Indonesia dan banyaknya jumlah TPS membuat Pengawasan Pilpres bukan suatu pekerjaan mudah. Tetapi jika di setiap TPS berita acara pengumuman hasil Pilpres 2024 dibagikan kepada setiap perwakilan Pilpres, maka kesulitan berubah menjadi mudah. Masing-masing peserta Pilpres bisa dengan mudah membuat kalkulasi hasil yang akurat..
Oleh: Asp Andy Syam, Peduli Kepemimpinan Bangsa
SEJATINYA demokrasi itu mencerminkan suara rakyat, bukan suara elit. Di negara negara Eropa Barat dan Amerika yang konsisten melaksaksanakan demokrasi masih terus mencerminkan suara rakyat di setiap Pilpres dan Pemilu. Tapi di negara berkembang seperti Indonesia muncul keraguan.
Misalnya, kita melihat pada hasil hasil survei kini (2023) menjelang Pilpres 2024. Hasilnya jelas bisa membalikkan logika (akal sehat). Bukan soal siapa yang mesti jadi Presiden. Tapi hasil survei mesti mencerminkan kelas kualitas setiap capres. Kalau menurut akal sehat, seorang Capres yang unggul di mata publik, di mana-mana berkunjung disambut meriah, maka kualitas survei tentu saja selaras dengan anggapan publik. Bukan mereduksi anggapan publik.
Muncul pertanyaan apakah surve-survei menjadi patokan atau barometer kebenaran suara rakyat? Apakah kualitas orang-orang yang disurvei bisa mencerminkan sejatinya suara rakyat? Ini jangan sampai survei-survei itu menjadi penentu sebagai awal tahapan Pilpres?
Dengan pengumuman hasil survei-survei itu, tahapan Pilpres 2024 sudah dimulai. Sungguh celaka demokrasi. Lalu nanti quick count (perhitungan suara cepat) disesuaikan dengan hasil hasil survei. Kemudian KPU membuat pengumuman hasil Pilpres sesuai hasil quick count. Lalu MK memutuskan sengketanya dan yang menang sesuai pengumuman KPU?
Di mana sesungguhnya logika kebenaran suara rakyat? Jauh sebelum Pilpres itu sudah ditentukan pemenangnya oleh hasil-hasil survei?
Kepentingan Global
Memang Indonesia adalah bangsa yang bebas merdeka. Tetapi sejauh mana kebebasan tersebut diabdikan pada kepentingan nasional. Justeru yang mengkhawatirkan kalau kebebasan itu digiring pada kepentingan asing (global) yang selalu berseteru di setiap penggantian kepemimpinan nasional.
Ada dua kepentingan asing (global), yaitu kepentingan budaya (liberal) dan keberlanjutan untuk kepentingan ekonomi.
Dua kepentingan inilah yang akan sangat berpengaruh pada hasil Pilpres 2024. Proses tidak dianggap penting. Tapi hasil yang lebih penting.
Pertama, Kepentingan budaya, yaitu capres pendukung LGBT akan terpilih. Setidaknya membiarkan LGBT itu berkembang.
Di mana-mana di dunia ini, pada akhir akhir ini, pemimpin yang tidak pro LGBT akan bermasalah. Ini sesuatu yang sangat urgent bagi kepentingan global dalam rangka depopulation. Bahwa Umat Islam mayoritas sangat jelas menolak LGBT. Hal ini bisa berdampak pada pemimpin yang mendapatkan dukungan besar dari umat Islam.
Kedua, untuk kepentingan ekonomi, yaitu masa depan kerja sama ekonomi dengan China akan mempengaruhi hasil Pilpres. Proyek-proyek China mesti berlanjut. Hutang dengan China mesti dibayar oleh Pemimpin yang terpilih. Jadi masalah debt trap.
Bagaimana mengatasi masalah ini agar bangsa Indonesia tetap punya jatidiri yang bebas merdeka menentukan nasibnya sendiri melalui pemilihan pemimpin nasional (Pilpres)?
Salah satunya adalah pembentukan Tim Independen Pemantau Pemilu. Sekalipun hal ini mereduksi kedudukan Panwaslu.
Luasnya wilayah Indonesia dan banyaknya jumlah TPS membuat Pengawasan Pilpres bukan suatu pekerjaan mudah. Tetapi jika di setiap TPS berita acara pengumuman hasil Pilpres 2024 dibagikan kepada setiap perwakilan Pilpres, maka kesulitan berubah menjadi mudah. Masing-masing peserta Pilpres bisa dengan mudah membuat kalkulasi hasil yang akurat.
Mengapa kita belum bisa membangun suatu bangsa ini dengan cara-cara yang berkualitas tinggi, berintegritas dan terhormat? Mengapa kita masih suka cara-cara manipulatif atau akal-akalan? Kuasa uang lebih perkasa di atas kuasa kebenaran. Kuasa uang bisa membelenggu kebebasan menyampaikan kebenaran hati nurani. (*)