Gibran Lolos Cawapres, People Power di Depan Mata?

Jangan salahkan rakyat jika suatu saat mereka akan menurunkan Jokowi dari kursi presiden melalui “people power” yang bersar kemungkinan bakal diawali dari Kota Solo. Karena, lewat impeachment juga tidak mungkin. PDIP tidak akan berani, meski mereka mayoritas di DPR.

Oleh: Mochamad Toha, Wartawan Freedom News

PUTUSAN Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) bagi sebagian kalangan masyarakat dianggap jauh dari rasa keadilan. Karena, pemberhentian tidak hormat kepada Anwar Usman hanya sebatas pada jabatan sebagai Ketua MK.

Padahal, masyarakat menginginkan sesuatu yang lebih, supaya ada efek jera bagi penegak hukum yang bermain-main dengan "kekuasaannya".

Juga bagi pihak-pihak yang diuntungkan dari putusan "sesat" sang "pecatan" Ketua MK yang masih ipar Presiden Joko Widodo dan paman Gibran Rakabuming Raka yang diuntungkan oleh Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang sekarang lebih dikenal dengan “Putusan 90” tersebut.

Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie menegaskan harapannya agar aturan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) yang sudah ditetapkan MK lewat putusan 90/PUU-XXI/2023 tak lagi diperdebatkan. Artinya, MKMK tak berani masuk ke materi gugatan atas Putusan 90 itu.

Padahal, dengan bahasa yang lain, sebenarnya bisa saja, karena sebelumnya, MKMK menyatakan bahwa hakim konstitusi Anwar Usman terlibat “pelanggaran etik berat” terkait penyusunan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, sehingga dicopot dari kursi Ketua MK.

Berkat Putusan 90 yang terbit pada 16 Oktober 2023 itu, keponakan Anwar Usman, Gibran Rakabuming Raka, dapat melaju pada pemilihan presiden (Pilpres) 2024 dalam usia 36 tahun berbekal status Walikota Solo yang baru disandangnya hampir tiga tahun.

Gibran pun secara aklamasi telah disepakati Koalisi Indonesia Maju (KIM) sebagai bakal cawapres pendamping Prabowo Subianto. Pasangan ini telah didaftarkan sebagai bakal capres-cawapres ke KPU RI pada Rabu (25/10/2023).

Tetapi, saat ini, ketentuan usia minimum capres-cawapres pada Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang diubah melalui Putusan 90 itu sedang digugat oleh Brahma Aryana, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia).

Sidang Perkara Nomor 141/PUU-XXI/2023 sudah dimulai Rabu, 8 November 2023, pukul 13:30 WIB. Padahal, atas Putusan 90 itu telah ditindaklanjuti KPU dengan menerbitkan PKPU 23 Tahun 2023.

"Mari fokus ke depan. Undang-Undang sudah diputus (berubah lewat putusan MK 90 itu), sudah dilaksanakan implementasi oleh KPU, tinggal mereka besok membuat keputusan pengesahan capres-cawapres," ujar Jimly, seperti dilansir Kompas.com, Selasa (07/11/2023, 21:08 WIB).

Pernyataan Jimly Asshiddiqie itu jelas sekali dengan tujuan untuk mengunci dan tetap memberikan karpet merah kepada Gibran sehingga Putusan 90 tersebut tidak mungkin bisa dianulir, meski lewat putusan MK lainnya.

"Itu untuk kepastian. Saya adalah mantan Ketua MK dan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu), saya mengerti bagaimana bekerjanya lembaga penyelenggara pemilu," katanya lagi. Jimly menyebut, aturan batas usia capres-cawapres sudah final, sudah ada 3 pasang capres-cawapres.

Guru Besar Hukum Tata Negara Prof. Denny Indrayana menilai, putusan MKMK itu masih terjebak hanya menghadirkan keadilan normatif, tapi telah gagal melahirkan keadilan substantif. Sebenarnya hanya dibutuhkan inovasi hukum, dan sedikit bumbu keberanian, untuk menghadirkan solusi yang lebih efektif dan konstruktif.

Dalam bahasa Denny Indrayana, saat jantung keadilan tersumbat total lemak kolesterol “akal bulus dan akal fulus”, maka harus ada tindakan akal sehat yang membelah dada, dan mem-bypass aliran darah itu, agar kembali lancar normal.

Sayangnya, MKMK masih melakukan tindakan pengobatan biasa, dan membiarkan penyakit kanker hukum yang koruptif, kolutif, dan nepotis, tetap hidup dan tumbuh subur-menjalar, merusak sendi-nadi Pemilihan Presiden 2024 kita.

Pertama; MKMK memilih menjatuhkan sanksi pemberhentian jabatan sebagai Ketua MK, padahal seharusnya pemecatan sebagai negarawan hakim konstitusi.

Padahal aturannya dengan jelas-tegas mengatakan, pelanggaran etika berat sanksinya hanyalah pemberhentian dengan tidak hormat. Lagipula ada konsep hukum acara, uitvoerbaar bij voorraad, putusan bisa tetap dijalankan lebih dulu meski ada upaya hukum banding.

Putusan MKMK yang demikian adalah setengah jalan, separuhnya lagi tergantung kesadaran Anwar Usman.

Setelah dinyatakan Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran berat, yaitu melanggar Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan, masih adakah sisa harga diri dan rasa malunya untuk tetap bertahan.

Akan lebih pas jika Anwar Usman tahu diri dan mundur sebagai hakim konstitusi. “Meskipun, terus terang saya tidak yakin, tindakan yang terhormat demikian akan dilakukan,” tegas Denny Indrayana.

Kedua; MKMK tidak tegas mendorong Mahkamah Konstitusi Secara Cepat Memeriksa Kembali Syarat Umur Capres-Cawapres.

Dengan berlindung pada asas final and binding, MKMK membiarkan Putusan 90 yang dinyatakan lahir dari berbagai pelanggaran etika hakim konstitusi Anwar Usman tetap berlaku dan tidak dapat mempengaruhi proses pendaftaran Pilpres 2024.

Sambil secara tidak tegas, MKMK mengisyaratkan akan ada putusan atas permohonan baru terkait syarat umur capres-cawapres yang akan disidangkan lagi oleh Mahkamah Konstitusi. Yaitu Perkara 141 yang diajukan Brahma Aryana, mahasiswa Unusia tadi.

Padahal, setiap asas hukum bukan kitab suci yang harus diberhalakan, apalagi dipertuhankan. Dan, hukum selalu membuka ruang pengecualian, “exceptio probat regulam in casibus non exceptis“, the exception confirms the rule in cases not excepted. There is an exception to every rule. Selalu ada pengecualian atas setiap prinsip hukum.

Maka, jikapun tidak bisa menyatakan Putusan 90 tidak sah, paling tidak MKMK menyatakan dengan tegas dalam amarnya, agar Mahkamah Konstitusi memeriksa kembali perkara 90 dengan komposisi hakim yang berbeda, dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, tentunya sebelum berakhir masa penetapan paslon Pilpres 2024 oleh KPU.

Hal tersebut penting, justru untuk membuat pencawapresan Gibran Rakabuming Raka tidak terus dipersoalkan karena hadir dari hasil putusan MK yang telah dinyatakan melanggar etika.

Menyatakan pertandingan Pilpres 2024 sudah dimulai dan aturan syarat tidak boleh lagi diubah, itu adalah tidak fair. Sebab, Putusan 90 sengaja dilakukan jauh terlambat, menjelang masa pendaftaran paslon.

Makanya hanya menjadi fair, jika politisasi kelambatan waktu Putusan 90 itu diseimbangkan dengan percepatan Putusan 90 tanpa hakim Anwar Usman yang melanggar etika.

Membiarkan Putusan 90 tetap berlaku, tanpa membuka ruang pemeriksaan kembali yang cepat, padahal ada Putusan MKMK yang mengatakan putusan itu dilahirkan dengan pelanggaran etika Anwar Usman, akan menyebabkan legitimasi pencawapresan Gibran bakal tetap terus-menerus dipersoalkan, bahkan membuka ruang impeachment, jika terpilih pada Pilpres 2024 nanti.

Karena, putusan hukum yang hadir dengan pelanggaran etika tersebut, seharusnya batal moralitas hukumnya. “Leges sine moribus vanae“, laws without morals (are in) vain. Laws without morality are meaningless. Tegasnya, hukum tanpa moralitas, tak ada artinya, dan karenanya batal demi hukum.

Jadi, Putusan MKMK belum tuntas menyelesaikan masalah. Masih menimbulkan komplikasi, akibat operasi dan solusi hukum yang setengah hati.

Menurut Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Prof. Anthony Budiawan, dengan hanya menyebut “melanggar kode etik Sapta Karsa Hutama”, maka Majelis Kehormatan MK terkesan mendegradasi kesalahan Anwar Usman dari pelanggaran berat menjadi “tidak berat”.

Karena Sapta Karsa Hutama hanya dokumen berisi deklarasi yang mengatur butir-butir kode etik dan perilaku hakim konstitusi, dimuat di dalam lampiran Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PMK/2006. Peraturan ini sendiri tidak mengatur sanksi atas pelanggaran kode etik dimaksud.

Seharusnya, MKMK menyatakan secara jelas dan spesifik bahwa Anwar Usman melanggar pasal apa, di peraturan yang mana, atau undang-undang yang mana. Tanpa menyebut itu semua, maka masyarakat tidak bisa mengukur bobot dari pelanggaran berat Anwar Usman, dan sanksi yang pantas diberikan kepadanya.

Upaya mendegradasi atau meringankan pelanggaran berat Anwar Usman tersebut juga terlihat dari pengenaan sanksi kepadanya. Anwar Usman hanya dikenakan sanksi “diberhentikan dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi”. Tetapi tidak diberhentikan sebagai hakim konstitusi.

Pemberian sanksi “ringan” ini melanggar Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 1 Tahun 2023, pasal 47 butir b, yang menyatakan secara eksplisit bahwa hakim konstitusi yang terbukti telah melakukan pelanggaran berat wajib “diberhentikan dengan tidak hormat”.

Pasal 47 PMK 1/2023: “Dalam hal Hakim Terlapor atau Hakim Terduga, menurut Majelis Kehormatan, terbukti melakukan pelanggaran berat, Majelis Kehormatan menyatakan: a.Hakim Terlapor Terbukti melakukan pelanggaran berat; b.Menjatuhkan sanksi pemberhentian dengan tidak hormat.

Selain itu, sanksi yang diberikan Majelis Kehormatan kepada Anwar Usman juga melanggar Pasal 23 ayat (1) huruf h UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang berbunyi:

“Hakim konstitusi diberhentikan tidak dengan hormat apabila, melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi.”

Pertanyaannya, apakah produk putusan yang dikeluarkan oleh Anwar Usman yang sudah divonis MKMK terlibat “pelanggaran etik berat” terkait penyusunan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, sehingga dicopot dari kursi Ketua MK, tidak cacat hukum?

Logika hukum akal sehat jelas akan menyatakan “cacat hukum”, dan harus dibatalkan meski tanpa melalui putusan MK yang lainnya. Sebab, itu adalah produk hukum majelis hakim konstitusi yang saat itu masih diketuai Anwar Usman yang sudah diputus terlibat “pelanggaran etik berat”.

Jika hal itu dinyatakan tetap berlaku, maka hal ini bisa memicu perlawanan rakyat yang mengerti hukum. Apalagi, rakyat sudah benar-benar bosan dengan berbagai manuver rezim Joko Widodo yang telah banyak membohongi dan membodohi rakyat dengan beragam kebijakan.

Bilang, tidak akan cawe-cawe, nyatanya cawe-cawe. Putusan 90 adalah bukti nyatanya. Jokowi juga masih ingin berkuasa melalui tangan Gibran, anaknya jika terpilih jadi Wapresnya Prabowo Subianto dalam Pilpres 2024 nanti.

Menginstruksikan agar pejabat dan ASN netral terkait kontestasi Pilpres 2024, menantunya Bobby Nasution terang-terangan mendukung Prabowo – Gibran, dibiarkan saja. Tidak ada sanksi sama sekali. Itukah yang dinamakan adil?

Jangan salahkan rakyat jika suatu saat mereka akan menurunkan Jokowi dari kursi presiden melalui “people power” yang besar kemungkinan bakal diawali dari Kota Solo. Karena, lewat impeachment juga tidak mungkin. PDIP tidak akan berani, meski mereka mayoritas di DPR.

Seperti halnya para Ketum Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang sendiko dawuh atas semua titahnya, Jokowi juga pegang “kartu truf” berbagai dugaan korupsi yang dilakukan petinggi PDIP. Termasuk diantaranya Madom Bansos. Sehingga, hanya berani sindir putera dan menantu Jokowi saja.

Percayalah, selama Jokowi masih menjadi “Panitia” Pilpres 2024, segala upaya akan dilakukan oleh Jokowi untuk memenangkan Gibran. (*)