Jimly Asshiddiqie Hakim Penakut

Hiruk-pikuk pengadilan MKMK hanya dijalankan an sich sesuai peran dan fungsinya, sama sekali tidak memiliki kekuatan efek jera untuk mencegah binalnya kekuatan yang ugal-ugalan melanggar konstitusi dan akan menghancurkan demokrasi.

Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih

DALAM menjalankan fungsinya, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) sesuai tugas dan wewenangnya, bisa dipastikan hanya akan bersentuhan dengan pelanggaran kode etik dan sanksinya.

MKMK sesuai Putusan MKMK Nomor 02/MKMK/L/11/2023 yang digelar di Ruang Sidang Pleno Gedung I pada Selasa (7/11/2023). Telah memutuskan bahwa Anwar Usman (Hakim Terlapor) “terbukti” melakukan pelanggaran sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan.

MKMK memberhentikan Hakim Konstitusi Anwar Usman dari jabatan Ketua MK. “Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi dengan segala akibat dicabutnya kewenan lainnya.”

Prof. DR. Suteki, SH, MHum, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Ia lebih dikenal sebagai pakar Sosiologi Hukum, sepertinya sejak awal sudah memprediksi apapun putusan MKMK tetap akan menyisakan kegalauan masyarakat.

Buru-buru menawarkan agar hakim MKMK mempertimbangkan pendekatan dan pertimbangan hukum progresif merupakan pemikiran perkembangan hukum yang digagas oleh Prof. Satjipto Rahardjo, berpandangan bahwa hukum dibentuk untuk manusia bukan manusia untuk hukum.

Tampaknya Jimly Asshiddiqie beserta hakim MKMK lainnya tidak memiliki cukup keberanian menggunakan pendekatan hukum progresif tersebut, akibatnya Joko Widodo sebagai sumber masalah peran utama sutradara dan skenario merekayasa Gibran Rakabuming Raka bisa lolos sebagai Cawapres melenggang mulus relatif tanpa gangguan.

Mengubah syarat umur persyaratan Capres dan Cawapres yang bukan wewenang MK, dengan segala akibat ikutannya tanpa sentuhan rekomendasi. Peran Gibran adalah bencana awal yang akan melanda Indonesia.

Putusan MKMK yang hanya menonaktifkan Ketua MK dari jabatannya, tidak terlalu penting selain sedikit menimbulkan gangguan psikologis bagi Anwar Usman dan keluarga Jokowi.

Indonesia saat ini sudah tidak lagi memiliki perangkat hukum sebagai sumber keadilan. Bersamaan dengan tampilnya leadership transaksional pragmatis dan politik transaksional. Diperkuat dengan munculnya budaya feodal pembenaran.

Standar etika, moral, kepatutan sudah menghilang menguap ke udara. Kekuasaan hukum, politik, dan ekonomi sudah di bawah ketiak kekuasaan Oligarki – negara bukan hanya sedang berjalan mundur tetapi sedang menuju jurang kehancurannya.

Hiruk-pikuk pengadilan MKMK hanya dijalankan an sich sesuai peran dan fungsinya, sama sekali tidak memiliki kekuatan efek jera untuk mencegah binalnya kekuatan yang ugal-ugalan melanggar konstitusi dan akan menghancurkan demokrasi.

MKMK tidak berani menggunakan hukum progresif. Jimly Asshiddiqie sebagai ketua MKMK hakim penakut sangat mungkin karena ketakutan resiko politik dan ganasnya kekuasaan. (*)