Konstitusi 2002 Dirusak, Kembali ke UUD 1945 Asli Menggema: Waspada Jangan Sampai Dikhianati

“Gerakan Kembali ke UUD 1945 Asli” juga tidak boleh melibatkan MPR periode ini. Masyarakat telah kehilangan kepercayaan, khususnya kepada Ketua MPR Bambang Soesatyo, yang beberapa kali melontarkan pernyataan untuk memperpanjang masa jabatan Jokowi.

Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

SEPERTI sudah diduga, konstitusi 2002 sangat rentan, sangat mudah dipermainkan, dimanipulasi dan dikhianati. Hanya sembilan orang, hanya sembilan hakim Mahkamah Konstitusi, sudah mampu merusak (konstitusi) Indonesia. Bukan, bukan sembilan. Malah hanya satu hakim konstitusi, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman, mampu mengacak-acak Indonesia.

Puncaknya, Mahkamah Konstitusi mempermainkan persyaratan batas usia minimum pencalonan wakil presiden. Anwar Usman, Ketua Mahkamah Konstitusi, adik ipar Presiden Joko Widodo, telah memberi jalan kepada keponakannya, Gibran Rakabuming Raka, untuk bisa dicalonkan sebagai wakil presiden 2024.

Semua pihak tersentak. Terkejut. Begitu mudahnya konstitusi 2002 dirusak.

Sebelumnya, banyak pihak sudah menyuarakannya, konstitusi 2002 lebih banyak mudaratnya. Khususnya sejak 2014, sejak Jokowi menjabat presiden. Terlihat jelas, Jokowi memanfaatkan konstitusi, dan Mahkamah Konstitusi, untuk kepentingan kelompoknya, untuk memperkaya kroni-kroninya dengan cara membuat UU yang terindikasi jelas melanggar konstitusi. Antara lain UU IKN, UU Cipta Kerja, UU Kesehatan.

Seiring dengan rusaknya konstitusi 2002, seruan kembali ke Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Asli menggema kembali. Lebih keras.

Kembali ke UUD 1945 Asli memang merupakan sebuah keharusan. Bukan hanya terkait masalah pemilihan presiden, apakah dipilih rakyat atau MPR. Tetapi jauh lebih fundamental dari itu.

UUD 1945 Asli adalah dokumen kesepakatan antar masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia, untuk membentuk negara Indonesia pada tahun 1945. Setiap daerah menyerahkan kedaulatannya, dan tunduk pada kesepakatan UUD 1945 Asli tersebut.

Salah satu butir yang sangat fundamental di dalam UUD 1945 Asli adalah demokrasi musyawarah, yang juga dikenal dengan Concensus Democracy, serta keterwakilan daerah-daerah dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Demokrasi musyawarah menjamin hak dan melindungi kepentingan semua daerah, termasuk daerah minoritas, yang dengan suka rela telah menyerahkan kedaulatan daerahnya ke dalam negara Indonesia.

Sedangkan konstitusi UUD 2002 menganut konsep demokrasi one-man-one vote, di mana pihak yang kuat akan mengambil kekuasaan sepenuhnya. The winner takes all. Sedangkan kepentingan daerah minoritas akan terabaikan, bahkan tertindas, karena mereka tidak mempunyai perwakilan di MPR yang dapat memperjuangkan hak dan kepentingan mereka.

The winner takes all sangat mudah melucuti kedaulatan rakyat dan kedaulatan daerah. Alhasil, kekayaan alam daerah dikuasai oleh sekelompok elit politik dan pengusaha. Sedangkan banyak rakyat di daerah dibiarkan miskin.

Tentu saja, UUD 1945 Asli masih perlu perbaikan dan penyempurnaan, mengingat perumusan UUD 1945 Asli tersebut hanya dilakukan dalam waktu sangat singkat, menurut kebutuhan masa itu, masa memperjuangkan kemerdekaan. Tetapi, secara prinsip fundamental, UUD 1945 Asli masih sangat patut dipertahankan.

Di tengah kerusakan konstitusi yang semakin parah, sekelompok tokoh nasional yang mempunyai wawasan kebangsaan yang tidak perlu diragukan lagi, terpanggil untuk menyelamatkan bangsa ini, menyelamatkan konstitusi, melalui “Gerakan Kembali ke UUD 1945 Asli”, yang akan dideklarasikan pada Selasa (7/11/2023), di Gedung Joang, Jakarta Pusat.

Masyarakat patut mendukung “Gerakan Kembali ke UUD 1945 Asli” ini, demi masa depan bangsa dan negara Indonesia yang lebih baik, lebih sejahtera, dan lebih berkeadilan sosial.

Tetapi, momentum “Gerakan Kembali ke UUD 1945 Asli” ini juga harus diwaspadai. Jangan sampai gerakan yang sangat mulia ini diselewengkan untuk kepentingan sekelompok pengkhianat, untuk dijadikan “kendaraan” politik guna memperpanjang masa jabatan presiden Jokowi.

Oleh karena itu, setiap upaya “Gerakan Kembali ke UUD 1945 Asli” yang melibatkan Jokowi harus ditolak keras. Dalam bentuk apapun. Karena Jokowi berambisi memperpanjang masa jabatannya, seperti disuarakan oleh beberapa menteri kabinetnya. Semua itu diungkap oleh Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP.

“Gerakan Kembali ke UUD 1945 Asli” juga tidak boleh melibatkan MPR periode ini. Masyarakat telah kehilangan kepercayaan, khususnya kepada Ketua MPR Bambang Soesatyo, yang beberapa kali melontarkan pernyataan untuk memperpanjang masa jabatan Jokowi.

Dikhawatirkan, MPR bermain mata dengan Jokowi untuk melanggengkan kekuasaan Jokowi itu, dengan “membajak” UUD 1945 Asli. Oleh karena itu, Kembali ke UUD 1945 Asli harus dilakukan oleh MPR periode 2024-2029. (*)