Mengembalikan Kewarasan Bernegara Tugas Terberat Anies
Sepertinya sih ungkapan yang keren, padahal semua tahu kepala-kepala daerah give away alias penunjukan, bukan hasil Pilkada itu adalah hasil ketidak-netralan atau bagian kecurangan yang sudah disiapkan sejak awal.
Oleh: Rahmi Aries Nova, Jurnalis Senior Freedom News
BANYAK hal-hal di luar nalar yang terjadi jelang pendaftaran calon presiden dan wakil presiden ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Bisa dipastikan ini akan terus berlanjut hingga saat pencoblosan mendatang.
Dalam orasinya di depan KPU pasangan Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar (AMIN) telah berjanji akan mengembalikan Kewarasan dalam bernegara dan meluruskan segala praktik etika bernegara.
Sungguh suatu tugas yang tidak ringan karena ketidakwarasan dalam bernegara tersebut justru diperlihatkan elit-elit politik di negeri ini. Mereka bukan cuma memanipulasi undang-undang tapi dipastikan akan terus mencurangi aturan demi aturan dalam tahapan pemilihan presiden yang tengah berlangsung.
Kalau memaksakan anak yang belum cukup umur untuk ikut pilpres saja bisa, pasti berikutnya memaksakan kemenangan bagi si anak.
Anehnya seperti tersihir, elit-elit politik, ketua partai politik pengusungnya, bahkan pasangannya, calon presiden Prabowo Subianto, berlomba-lomba memelintir definisi politik dinasti. Terpaksa mengaku bahwa mereka juga melakukan hal tersebut.
Prabowo bahkan tidak bisa membedakan dinasti dengan trah. Pendukungnya menyebut apa yang dilakukan Presiden Joko Widodo untuk anaknya itu tak ubahnya seorang dokter yang anak-anaknya juga memilih menjadi dokter juga. Benar-benar di luar kewarasan jika tidak mau dibilang menjijikkan.
Untungnya tidak semua rakyat Indonesia bisa disihir oleh 'drama kebalikan' ala Jokowi and the gank. Setidaknya supir-supir bajaj yang biasa mangkal di Stasiun Tebet mengaku mereka lebih percaya pada yang diucapkan oleh pasangan AMIN daripada Prabowo terlebih Gibran Rakabuming Raka yang mereka sebut belum, bahkan tidak pantas ikut konstelasi pilpres ketika ayahnya masih berkuasa.
Bahkan, Founder & CEO PolMark Indonesia Eep Saefulloh Fatah menyebut Presiden Jokowi tengah melubangi 'perahu' dan akan membuat perahu tenggelam.
"Saya penumpang, bukan turis di pinggir pantai yang hanya menonton kapal. Saya di dalamnya dan saya tidak mau kapal ini tenggelam," tegas Eep dalam Abraham Samad Speak Up.
Kapal yang dimaksud adalah Indonesia dan lubang yang membuat kapal tenggelam yaitu demokrasi yang dikhianati oleh perilaku kecurangan yang masif dan terstruktur justru oleh Jokowi dan partai-partai politik pengusungnya.
Drama makan siang di Istana saat Jokowi mengundang tiga capres juga disebut hanya basa-basi. Mengaku akan netral netizen kembali mengingatkan bahwa trademark Jokowi justru kebalikannya.
Benar saja, pada hari yang sama viral Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Wamendes PDTT) Paiman Raharjo tengah memimpin rapat pemenangan Gibran, calon wakil presiden yang lolos lewat jalur Mahkamah Konstitusi (MK).
Di hadapan pejabat-pejabat kepala daerah Jokowi juga mengatakan bahwa mereka harus netral dan ia akan pecat kapan saja yang tidak netral.
Sepertinya sih ungkapan yang keren, padahal semua tahu kepala-kepala daerah give away alias penunjukan, bukan hasil Pilkada itu adalah hasil ketidak-netralan atau bagian kecurangan yang sudah disiapkan sejak awal.
Bersamaan dengan karpet merah yang dihamparkan untuk Gibran ke kursi Walikota Solo, dan kini berlanjut ke kursi wakil presiden.
Kepada Jokowi di Istana, Anies mengaku menyampaikan masyarakat masih sayang kepada Jokowi, itu sebabnya meminta kepala negara bersikap netral dalam pilpres kali ini.
Untuk netral pastinya dibutuhkan kewarasan dalam bernegara bukan drama penuh intrik dan licik ala sinetron kejar tayang yang tidak mendidik. (*)