Merdeka, Tapi Hidup Masih Susah

Pada akhir catatannya, Prof Daniel Rosyid sebagai pengatur jalannya diskusi memberi catatan bahwa pentingnya menjadikan kemerdekaan sebagai momentum mewujudkan nilai-nilai yang menjadi amanah konstitusi, keadilan, kesejahteraan dan perdamaian.

Oleh: Isa Ansori, Kolumnis dan Akademisi

SETIAP tanggal 17 Agustus selalu kita peringati sebagai hari kemerdekaan dan kemarin kita peringati sebagai hari kemerdekaan yang ke-78. Pertanyaannya, benarkah kita sudah merdeka? Itulah yang menjadi perbincangan di Rosyid College, Rabu malam, 16 Agustus 2023.

Diskusi kecil yang sejatinya ajang untuk menyamakan persepsi tentang makna merdeka, tiba-tiba menjadi gayeng, ketika beberapa kalangan muda, kalau boleh dibilang generasi Z dan Millenial, memberi makna Kemerdekaan sebagai sesuatu yang bebas, mudah dan berkeadilan.

Daming, yang juga sekjend BEM Nusantara Jatim, kawan dari Indonesia Timur, memberi makna kemerdekaan adalah sebuah perlakuan yang adil, perlakuan yang tidak sekedar janji, tapi perlu dibuktikan.

Menurutnya, di beberapa kawasan Indonesia Timur, seringkali pemerintah menjanjikan, tapi tak pernah bisa membuktikan. Beliau memberi contoh Maluku, di mana dia berasal, pernah dijanjikan dibangun pelabuhan, tapi ternyata tidak pernah terbukti. Hal yang sama berlaku untuk daerah-daerah di wilayah Indonesia Timur pada umumnya. Sehingga "wajar" seringkali ada tuntutan merdeka.

Hal yang sama juga disuarakan oleh Berril, mahasiswa UT Ilmu Komunikasi, yang mendefinisikan kemerdekaan sebagai kemudahan mendapatkan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan dasar, pendidikan gratis, sekolah gratis dan kemudahan lapangan pekerjaan dan mengakses kebutuhan pangan. Baginya saat ini secara de jure memang kita merdeka tapi kenyataannya semua masih susah.

Untuk situasi seperti itu, Badruddin, aktivis mahasiswa, memberi ilustrasi tuntutan merdeka bagi sebagian mahasiswa yang berasal dari Papua karena mereka merasa tidak diperlakukan dengan adil, pusat hanya mengeruk kekayaan rakyat Papua, sementara rakyat Papua belum mendapatkan balasan setimpal dari kekayaan yang disedot ke pusat. Bahkan, sampai sekarang ini mereka masih merasakan perlakuan rasis dan tidak adil. Solusi yang dia tawarkan, perlakukan mereka dengan adil.

Diskusi menjadi lebih menarik ketika kawan Iqbal yang juga dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Jember, memberikan perspektif lain tentang kemerdekaan. Baginya kemerdekaan adalah sebuah keadaan yang berubah, perubahan menjadi kata kunci. Perubahan itu harus dimaknai terlaksananya mandat konstitusi, bila tidak, negara bisa dikatakan sebagai negara gagal.

Lalu siapa penyebab ini semua, baginya kebijakan negara mesti harus berpihak kepada rakyat, sebagaimana amanah konstitusi. Namun sayangnya kebijakan itu hanya seolah-olah, Prof Roro, guru besar adminstrasi publik menyebutnya sebagai mal praktik adminitrasi. Baginya, kebijakan negara harus berpihak pada rakyat, tak boleh ditawar-tawar lagi.

Nah itulah yang oleh Afif dari Poros Kedaulatan Pemuda bahwa kemerdekaan itu bukan hanya kebebasan atau Freedom, tapi lebih pada kedaulatan, kedaulatan pangan, pendidikan, energi dan kedaulatan menentukan nasib bangsa sendiri. Sehingga baginya, kekuatan yang mengatur negara demi kerakusan dan memperkaya diri sendiri harus dilawan, itulah oligarki.

Pada akhir catatannya, Prof Daniel Rosyid sebagai pengatur jalannya diskusi memberi catatan bahwa pentingnya menjadikan kemerdekaan sebagai momentum mewujudkan nilai-nilai yang menjadi amanah konstitusi, keadilan, kesejahteraan dan perdamaian.

Sebagai bagian dari jalannya diskusi saya memahami kemerdekaan dengan menukil apa yang disampaikan Soekarno bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.

Bagi Moh. Hatta, Kemerdekaan adalah hak yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Sedang menurut Soepomo, kemerdekaan adalah syarat mutlak untuk mencapai kesejahteraan dan kemajuan bagi suatu bangsa.

Kemerdekaan harus diusahakan dan harus direbut dari tangan para oligarki. (*)