Motif Politik Ridwan Kamil dalam Pembangunan Patung Sukarno

Maka ada pihak-pihak yang menghubungkan pembangunan patung itu turut melambungkan nama Herindra dan Dudung Abdurachman menjadi petinggi militer. Itu sah-sah saja, meskipun bukan satu faktor itu saja yang melambungkan nama mereka.

Oleh: Selamat Ginting, Analis Komunikasi Politik Universitas Nasional (UNAS)

RENCANA pembangunan patung tertinggi Bung Karno di Indonesia yang digagas Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (RK), tidak bisa dilepaskan dari relasi kuasa politik dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), sekaligus ekspresi simbolis terhadap sang tokoh Proklamator.

Tidak ada yang kebetulan dalam politik, pasti ada relasi kuasa yang dilakukan oleh RK dalam pembangunan patung seorang tokoh, sekaligus ada kuasa simbolik politik.

Seperti diketahui, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil bersama Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menghadiri groundbreaking pembangunan Monumen Plaza Dr (HC) Sukarno di kompleks GOR Saparua Bandung, Rabu (28/6/2023). Patung tersebut diklaim menjadi patung Sukarno paling tinggi di Indonesia. Tingginya 22,3 meter dan biayanya sekitar Rp 15 miliar.

Pembangunan patung di ruang publik merupakan wujud ekspresi simbolis untuk menokohkan seseorang. Ini merupakan bagian dari upaya meneguhkan kekuasaan personal maupun kelompok mengatasnamakan kepentingan publik.

Keberadaan patung Sukarno, misalnya menjadi bukti bagaimana sistem simbolik dilakukan untuk melegitimasi kekuasaan oleh otoritas penguasaas.

Dalam suasana tahapan pemilihan umum yang sudah berlangsung sejak pertengahan 2022, wajar saja jika peristiwa itu dikaitkan motif politik dengan relasi kuasa politik yang sedang dibangun RK. Apalagi selama ini PDIP belum bisa memenangkan pemilu di Jawa Barat. PDIP kalah dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). PDIP unggul tipis dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Apakah ini upaya RK untuk mendekat kepada PDIP jelang pilpres, walau dia kini sudah menjadi kader Partai Golongan Karya (Golkar)? Jawabannya bisa iya bisa juga tidak. Tapi ini bukan sebuah kebetulan, melainkan sudah dirancang.

Apalagi, nama RK selalu masuk radar survei urutan lima besar sebagai bakal calon wakil presiden. RK bersaing ketat dengan nama-nama seperti Sandiaga Uno, Erick Thohir, AHY (Agus Harimurti Yudhoyono), dan Khofifah Indar Parawansa.

Bakal calon presiden dari PDIP Ganjar Pranowo belum punya pasangan wakil presiden, jadi wajar saja pembangunan patung Bung Karno dikaitkan dengan motif politik. Praktik kuasa simbolik melalui pembuatan patung seorang tokoh melalui sistem bahasa visual dan simbolisasi, menunjukkan bagaimana kekuasaan menyelinap di bawah ruang sadar publik.

Masyarakat bisa saja tidak menyadari bagaimana sistem kekuasan bersembunyi di balik karya-karya patung di ruang publik. Dalihnya bisa bermacam-macam, seperti pewarisan nasionalisme, penghormatan kepada pahlawan, maupun peneguhan ideologisasi.

Bukankah Bandung juga punya nilai sejarah bagi Sukarno, karena ia mengenyam pendidikan di Insitut Teknologi Bandung dan pernah ditahan pemerintah colonial Belanda di kota kembang ini.

Dalam kurun waktu pemerintahan Presiden Joko Widodo, terjadi pembangunan patung-patung Sukarno di sejumlah tempat atau instansi pemerintah maupun negara. Misalnya di Akademi Militer Magelang yang digagas Wakil Menteri Pertahanan Letjen (Purn) Muhammad Herindra dan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Dudung Abdurachman, saat masih menjadi Gubernur Akmil. Kemudian di Kementerian Pertahanan dan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas).

Maka ada pihak-pihak yang menghubungkan pembangunan patung itu turut melambungkan nama Herindra dan Dudung Abdurachman menjadi petinggi militer. Itu sah-sah saja, meskipun bukan satu faktor itu saja yang melambungkan nama mereka.

Termasuk, posisi Menhan Prabowo Subianto yang aman tanpa gangguan serta Letjen (Purn) Agus Wijoyo yang enam tahun menjadi Gubernur Lemhannas pada 2016-2022.

Semoga publik tidak disuguhi simbol tanpa makna dan semoga pula pembangunan patung-patung itu sesuai dengan kebutuhan publik, bukan sekadar niatan politik praktis seseorang untuk meraih kedudukan. (*)