Perselingkuhan Ideologis Kaum Nasionalis

Oleh karena itu, hanya dengan dua sosok pemimpin, Allah telah memberi banyak pelajaran dan peringatan. Dari Megawati dan Jokowi, rakyat negara dan bangsa Indonesia bisa mengambil hikmahnya, tentang pemerintahan dan capaiannya selama hampir sepuluh tahun ini.

Oleh: Yusuf Blegur, Kolumnis, Mantan Presidium GMNI

PERSELINGKUHAN ideologis kaum nasionalis memiliki catatan tebal secara historis dan empiris di republik ini. Hubungan gelap kalangan Abangan itu lebih sering bergantian dengan kapitalis dan komunis, baik secara personal maupun institusional.

Kecenderungan konflik Megawati Soekarnoputri dengan Joko Widodo telah menjadi fenomena tersendiri jelang Pilpres 2024. Meskipun keduanya masih suka menunjukkan kedekatan dan kebersamaannya, konstelasi politik kerap membuat pemilik dan petugas partai itu bersitegang.

Publik terlanjur menilai setidaknya sudah ada perang dingin antara dua orang penguasa republik selama hampir satu dekade. Puncak perseteruan Mak Banteng dan Pak Lurah – biasa netizen menyebutnya, muncul tatkala Gibran Rakabuming Raka resmi menjadi cawapres pasangan Prabowo Subianto.

Anak planga-plongo dan bau kencur putra Jokowi itu menyalip Puan Maharani yang telah malang-melintang dalam dunia politik sebagai puteri kesayangan Megawati. Sakitnya tuh di sini (sambil memegang dada), begitu kira-kira Megawati membatin.

Gonjang-ganjing hubungan Megawati dan Jokowi terutama mengiringi kontestasi pilpres, semakin menyeruak menjadi konsumsi khalayak. Kemesraan kedua tokoh penting dan berpengaruh selama hampir sepuluh tahun ini mulai terkoyak. Kebersamaan dalam pengambilan keputusan politik, ekonomi, hukum dan budaya hingga pertahanan keamanan negara, terus mengalami degradasi.

Dari kompak dan solid, kini mulai cakar-cakaran, saling menggigit dan agresif menyerang baik secara politis maupun ideologis. Narasi dan bahasa tubuh, terlontar menyindir dan menuding saling mereduksi kedua kubu, seakan melupakan betapa nikmat dan indahnya persetubuhan politik mereka sebelumnya.

Ada beberapa hal yang menarik mencermati perilaku Megawati dan Jokowi, terlepas keduanya sedang menjalankan strategi politik atau memang sebenarnya sudah larut dalam arus konflik kepentingan suksesi kepemimpinan nasional. Apakah sekedar gimik atau siasat, atau memang hubungan Megawati dan Jokowi sudah berseberangan menyertakan sikap kebencian sekaligus permusuhan yang tersembunyi karena menyimpan sakit hati dan dendam?

Belakangan khalayak memergunjingkan ada perasaan terpendam merasa Jokowi sering dibulli, dilecehkan dan direndahkan, dirasakan seorang Iriana yang notabene istri seorang presiden dari perlakuan Megawati sebagai Ketua Umum PDIP dan dianggap berjasa besar pada karir politik Jokowi.

Kini mahligai pernikahan dan bulan madu politik Megawati – Jokowi sepanjang musim kekuasaan oligarki, terancam bubar dan merangsang babak baru pesta demokrasi dinasti politik berikutnya. Seakan tak mau kalah dengan Megawati yang cenderung memimpin PDIP seumur hidup, Jokowi dan Iriana bersama keluarga juga bersikeras menguasai Indonesia hingga 2045, jika bisa.

Polarisasi kontestasi pilpres 2024 memang semakin tak beraturan, terlalu pragmatis dan semua serba kapitalis. Jangankan ideologis, proses seleksi kepemimpinan nasional yang nasib rakyat, negara dan bangsa Indonesia bergantung pada pilpres 2024. Kini bahkan tak lagi menyisakan ruang untuk hadirnya kepantasan, kelayakan, etika dan moralitas.

Ketersediaan UU dan aturan, kelembagaan dan sumber daya pelaksana pemilu, visi dan misi partai politik, kualitas dan kuantitas kontestannya hingga perspektif kebangsaan para intelektual dan tokoh keagamaan yang beririsan dengan pemilu dan pilpres, masih jauh dari harapan ideal.

Tak cuma distorsi, pemilu dan pilpres 2024 beraroma menyengat yang didominasi oligarki, semakin destruktif terhadap konstitusi dan demokrasi. Semua itu dirancang, direkayasa dan dimobilisisasi demi nafsu harta dan jabatan, semata-mata bertujuan melanggengkan kekuasaan rezim status quo. Pilpres mulai dilaksanakan dengan kepalsuan, kebohongan dan kemunafikan para elit politik.

Friksi Megawati dan Jokowi jika belum bisa dibilang pertikaian, menimbulkan fragmentasi sekaligus beragam asumsi di tengah perbincangan oleh rakyat. Boleh jadi disharmoni Megawati dan Jokowi, menyebabkan aksentuasi politik yang luas, preseden dan kalkulasi yang menentukan konstelasi dan konfigurasi politik baru pada pilpres 2024. Berikut beberapa analisanya:

Pertama; Perbedaan kepentingan dan jalan politik yang ditempuh Megawati dan Jokowi khususnya menghadapi pilpres 2024, jika itu benar terjadi membuktikan bahwa hubungan keduanya itu tidak didasari pemahanan dan kesadaran ideologis.

Baik Megawati dan Jokowi, faktanya lebih mengutamakan kepentingan dinasti politik, menjadi budak oligarki dan gandrung pada kekuasaan ansih.

Kedua; Retaknya hubungan Megawati dan Jokowi memberi sinyal telah terjadi perselingkuhan ideologis di antara sesama kalangan nasionalis. Alih-alih memanifestasikan pemikiran dan ajaran Bung Karno terkait Marhaenisme, Pancasila dan cita-cita negara kesejahteraan, Megawati dan Jokowi justru malah mengkhianatinya dengan orientasi harta dan jabatan.

Bahkan hubungan keduanya pun rela berpisah semata-mata hanya karena berebut kekuasaan, tak peduli nasib rakyat, negara dan bangsa Indonesia. Rakyat kelaparan, mati karena kemiskinan dan kekerasan, sementara rezim dan kroni bersama oligarki berpesta-pora menikmati kekayaan negara hasil menjarah.

Ketiga; Megawati dan Jokowi yang kemungkinan besar pisah partai politik bukan hanya karena ketidakcocokan dan benturan kepentingan politik, tapi lebih dari itu karena perselisihan ideologis. Megawati yang dianggap mewarisi jargon-jargon dan simbol Marhaenisme meski tak implementatif berhadapan dengan Jokowi yang cenderung menjadi representasi komunis melalui kerjasama dan investasi pemerintahannya dengan negara China dan jejaring oligarki.

Sama-sama menganut kapitalisme dalam praksis, Megawati dan Jokowi berhaluan kiri meski kerap menyandang nasionalis Marhaeisme. Nasionalis, komunis dan kapitalis, dalam cinta segitiga itu membangun hubungan gelap menyusuri perselingkuhan ideologis.

Keempat; Adanya Fenomena Konflik Megawati dan Jokowi beserta kroni-kroni kekuasaan dalam pemerintahan dan partai politik, menegaskan apapun ideologi yang mereka anut tidak lebih dari hasil pemikiran manusia yang terbatas, yang rentan mudharat dan sarat syahwat yang melampaui batas.

Ideologi hasil pemikiran manusia yang dipenuhi keinginan dan kebutuhan duniawi, jelas kerapkali menghalalkan segala cara demi kepuasan pribadi, keluarga dan kelompok atau golongannya. Demi mencapai tujuan sanggup bertikai dengan kawan sendiri, dzolim serta membunuh terhadap sesama sekalipun.

Kelima; Mungkin cara Allah azza wa jalla terus mengingatkan dan menyadarkan umat manusia di dunia pada umumnya dan muslim di Indonesia khususnya, hanya Islam agama yang benar dan relevan untuk peradaban manusia.

Agama yang benar, mendapat ridho Allah dan Allah telah cukupkan buat kepentingan manusia di dunia dan akhirat. Bukan kapitalis, bukan komunis atau atheis dengan prinsip-prinsip eksploitasi manusia atas manusia dan eksploitasi bangsa atas bangsa, yang sering menemui jalan buntu untuk solusi kehidupan manusia, alam dan habitat lainnya serta kerap menimbulkan konflik dan peperangan.

Oleh karena itu, hanya dengan dua sosok pemimpin, Allah telah memberi banyak pelajaran dan peringatan. Dari Megawati dan Jokowi, rakyat negara dan bangsa Indonesia bisa mengambil hikmahnya, tentang pemerintahan dan capaiannya selama hampir sepuluh tahun ini.

Tentang kegagalan, tentang kerusakan dan mungkin juga tentang kehancuran menjaga warisan NKRI. Pancasila, konstitusi UUD 1945 dan agama khususnya Islam, tak lagi menghidupi Indonesia lahir dan batin, jasmani dan rohani serta mental spiritual.

Megawati dan Jokowi terlalu jauh membawa rakyat, negara dan bangsa Indonesia seperti mengidap akut kapitalisme dan komunisme global. Lari dari pelukan Islam dan pergi menjauh seakan menetap dalam naungan nasionalisme, namun sesungguhnya berhubungan intim dengan kapitalisme dan komunisme, menikmati perselingkuhan ideologis.

Kedua petinggi selevel presiden itu, lebih banyak menghabiskan waktu dan energinya bersamaan dengan mesra dan intim, kemudian terjadi perselingkuhan ideologis. Hubungan renggang terjadi diantaranya keduanya karena tak ada lagi kecocokan politik atau karena kehadiran pihak ketiga lainnya. Entah berselingkuh dengan kapitalisme, entah dengan komunisme, yang jelas keduanya baik Megawati maupun Jokowi tidak menjiwai Islam sejatinya.

Politik identitas adalah kekuatan umat Islam yang sejati, bahkan realitas itu ada sebelum dilahirkan di dunia. (*)