Provinsi Vespa dan Kopi Sidempuan

Oleh: Joko Intarto, Wartawan Senior, Pegiat Media Sosial

Kabar ini beredar di sebuah website. Saya membacanya semalam. Gara-gara susah tidur. Kabarnya, provinsi Sumatera Utara akan dimekarkan menjadi empat provinsi.Tiga yang baru adalah: Provinsi Tapanuli, Provinsi Sumatera Tenggara dan Provinsi Nias.

Masih menurut portal berita yang jarang saya buka itu, tiga provinsi baru tersebut sudah ditentukan ibukotanya. Provinsi Tapanuli beribukota di Sibolga, Provinsi Sumatera Tenggara di Padang Sidempuan dan Provinsi Nias di Gunung Sitoli.

Bila kabar itu akurat, berarti saya sekarang berada di ibukota calon provinsi Sumatera Tenggara. Sebuah kota dengan luas 159.3 Km persegi dengan dua nama yang sedikit berbeda: Menurut UU yang terbit pada 2001, nama resminya Padang Sidempuan (pakai e). Namun dalam catatan perjalanan sejarahnya, kota ini bernama Padang Sidimpuan. (pakai i).

Nama Sidempuan dan Sidimpuan sama-sama digunakan. Di jalan yang sama, dua bangunan bersebelahan ada yang menggunakan Sidempuan dan Sidimpuan. Bahkan di dalam satu kampus ada plang nama gedung yang mencantumkan Sidimpuan dan Sidempuan. Saya sendiri lebih senang menyebut kotamadya yang lahir pada Juni 2001 itu dengan nama Vespa City atau Kota Vespa. Lebih keren. Lebih gaul. Lebih kekinian.

Vespa City atau Kota Vespa menurut saya lebih tepat, karena di kota inilah populasi skuter buatan Italia itu demikian banyaknya. Vespa telah menjadi lifestyle masyarakat lokal sejak lima puluh tahun silam. Konon di kota ini ada sampai ada bengkel karoseri khusus yang memproduksi bodi sespan.

Vespa jenis sespan digunakan masyarakat setempat sebagai angkutan orang dan barang. Bersaing dengan sepeda motor modern yang diberi sespan, saya lebih memilih Vespa sespan. Buat saya, lebih iconik. Sensasinya sama seperti menikmati perjalanan keliling Jakarta naik Bajaj.

Mayoritas scooter yang digunakan warga kota ini sudah berusia tua. Meski mesinnya masih sehat, bodi kendaraannya rata-rata sudah jauh dari standar.

Surat-surat kendaraannya bagaimana? Soal ini jangan ditanya: Mayoritas bodong. Walau sering terjaring razia. Tapi jumlah vespa tua di sini sepertinya tidak pernah berkurang.

Meski kebanyakan usianya sudah uzur, harga unit Vespa sespan dengan kondisi bodi bagus dan suratnya hidup masih mahal. Antara Rp 15 juta - Rp 20 juta. Harga Vespa bodong separuhnya saja.

Mumpung masih belum diresmikan, saya usul gambar scooter sespan dimasukkan dalam rancangan lambang provinsi Sumatera Tenggara. Lambang padi - kapas sudah terlalu umum. Kesannya jadi biasa.

RAMPOK KOPI

Malam sudah larut. Kilang Tabo Coffee di Sipirok itu sudah tutup tiga jam yang lalu. Tapi saya baru sampai di sana. Bagaimana ini? Ketuk pintu atau putar balik kembali ke Padang Sidempuan?

Balik kucing berarti gagal membawa oleh-oleh. Padahal saya sudah janji kepada kawan-kawan di Jagaters Studio untuk membawakan kopi Arabica Sipirok yang enak itu.

Kalau lanjut, apa tuan rumah mau membukakan pintu? Tanya saya dalam hati. Tulisan pada stiker berukuran besar di dinding rumah itu sangat jelas: Jam Buka Pukul 07:00 - 19:00. Saat itu sudah pukul 22:00. Lampu ruang tamu itu pun telah padam. Bagaimana kalau tuan rumah mengira yang datang kawanan perampok?

Dalam kebimbangan itu, saya akhirnya memilih mengetuk pintu pabrik kopi. Toh saya kenal pemiliknya: Pak Bambang, orang Bogor yang sudah bermukim di pabrik tersebut sejak tahun 2000.

''Assalamualaikum.....''' teriak saya sambil mengetuk pintu. Sengaja saya uluk salam deng Assalamualaikum.....''' teriak saya sambil mengetuk pintu. Sengaja saya uluk salam dengan suara keras. Biar tidak dikira penjahat yang datang menjelang tengah malam.

Salam pertama tak ada yang menjawab. Saya ulangi sekali lagi. Tetap tidak direspon. ''Bagaimana nih? Kita pulang saja?'' tanya saya kepada Mas Imam Prihadiyoko, mantan wartawan Kompas yang selama tiga hari terakhir menemani saya mengajar di UIN Syahada, Padang Sidempuan. ''Tunggu beberapa saat, ketuk sekali lagi,'' jawabnya. ''Coba saya telepon beliau,'' sahut Lokot Motogu, sahabat saya di Padang Sidempuan yang berbaik hati mengantarkan kami ke kilang kopi 45 Km dari kota Padang Sidempuan itu. Saya ikuti saran Mas Imam.

''Tok-tok-tok....'' Tiba-tiba lampu ruangan tamu menyala. Berarti masih ada orang yang belum tidur. Mudah-mudahan, Pak Bambang. Daun pintu sesaat kemudian dibuka. Tapi yang muncul seorang remaja. Bukan Pak Bambang. ''Kami mau beli kopi, apa masih bisa?'' kata saya sebelum ia menanyakan maksud kedatangan kami malam-malam. ''Masuk dulu,'' jawab pemuda yang belakangan saya tahu bernama Yuda. ''Mau minum kopi?'' tanya Yuda. ''Mau,'' jawab kami hampir serempak.

Tidak mungkin kami menolak tawaran itu. Apalagi suhu udara di Sipirok memang dingin. Sepanjang perjalanan, Lokot harus berkali-kali menyalakan wipper untuk menghapus lapisan embun yang menutupi kaca mobilnya. ''Tubruk atau French Press?'' tanya Yuda.

Kali ini kami beda pendapat. Mas Imam memilih tubruk. Saya dan lokot memilih Frech Press. ''Pak Bambang ada? Tolong sampaikan, Pak Joko yang datang,'' pinta saya. Tak lama berselang, Pam Bambang muncul dari balik pintu kamar. Rumah kayunya yang sepi pun kembali ramai. Kami ngobrol ngalor-ngidul. Sambil menghabiskan suguhan singkong goreng yang masih hangat.

''Saya mau beli wine coffee,'' kata Mas Imam. ''Kami tidak punya,'' jawab Pak Bambang. ''Waduh, padahal saya suka itu,'' komentar Mas Imam. ''Tapi kami punya fruity coffee,'' sahut Pak Bambang.

''Apa bedanya antara wine coffee dengan fruity coffee?'' tanya Mas Imam. ''Sama saja. Nama fruity coffee itu digunakan untuk mendapatkan sertifikat halal. Aslinya ya wine coffee,'' jawab Pak Bambang.

Sontak semua yang di ruangan tertawa. Ternyata di balik sertifikasi halal, ada cerita lucunya juga. Tak terasa sudah lebih dari satu jam. Saya pamitan sambil menenteng hasil 'rampokan' sebanyak lima puch roast bean: Peaberry coffee, wine coffee -ups- fruity coffee dan natural premium.

Masih ada satu tempat lagi yang harus didatangi pada tengah malam itu: Lapak durian di Padang Sidempuan, yang hanya buka pada sore hingga tengah malam.(*)