Siapa yang Pantas, Dibuldoser, Dipiting, atau Didor?

Jika memang adanya “pengkhianatan” terhadap pertahanan Negara, pertanyaannya siapakah yang pantas didor, yang pantas dibuldoser dan yang pantas dipiting? Kalau hukum militer, jika berkhianat terhadap Negara harus dihukum mati.

Oleh: Deddy S Budiman, Mayjen TNI Purn, Ketum Aliansi Pejuang dan Purnawirawan (APP) TNI

PENGOSONGAN warga Melayu dari Pulau terluar Rempang, dengan alasan investasi dari China Komunis dengan persyaratan ketat "program satu paket" selama kurang lebih 180 tahun. Adalah merupakan ancaman nyata bagi keselamatan bangsa, keutuhan wilayah dan kedaulatan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Investasi dari China bisa berubah menjadi invasi, karena ada persyaratan ketat yang harus dipenuhi Indonesia berupa pengosongan pulau Rempang dari pribumi melalui "Program Kejar Satu Paket". Mulai dari biaya, teknologi/mesin dan peralatan, material, manajemen, tenaga level top sampai tenaga kasar semua harus dari bangsa China Komunis.

Terbukti selama ini di beberapa daerah di Indonesia kerja sama investasi dengan China Komunis, menggunakan persyaratan "program satu paket". Tidak bisa ditolak karena merupakan “perjanjian kerjasama yang disepakati?” Dapat disaksikan sejak Rejim Jokowi berakibat banjir TKA dari China Komunis secara deras.

Membanjirnya TKA dari China serta para Investor yang diberikan privelege baik di PSN maupun di IKN untuk tinggal di Indonesia dengan HGU yang diperpanjang selama 2 x 90 tahun, 180 tahun, akan merubah keseimbangan demografi, ini menjadi sumber ancaman nirmiliter yang berimplikasi terhadap tupoksi TNI.

Menurut undang-undang TNI, tugas TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45 serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan Negara dan serbuan asing.

Berkaitan dengan BARELANG (Batam, Rempang dan Galang) pulau-pulau tersebut termasuk batas terluar yang berdekatan dengan Negara Tetangga dan juga sangat dekat dengan laut Natuna (versi China Komunis adalah Laut China Selatan) China tidak pernah mau mengakui nama Laut Natuna Utara walaupun sudah ditetapkan oleh PBB. Sampai saat ini Laut China Selatan yang dalam sengketa dengan beberapa Negara, yang sewaktu-waktu bisa meledak menjadi perang.

Selama ini rakyat Melayu di Barelang sudah tinggal sejak 300 tahun yang lalu, sangat di luar nalar hanya berdasarkan keinginan Investor dari China pulau Rempang dijanjikan sebagai tempat berdirinya pabrik gelas “harus dikosongkan”.

Oleh BP Batam, kepanjangan tangan dari pemerintah pusat, pengelolaan pulau Rempang sudah diserahkan kepada swasta PT MEG milik nonpri, bekerja sama dengan investor Xinyi Group dari China.

Padahal belum mempunyai HPL, hanya ingin dipuji sebagai cepat tanggap merealisasikan hasil kunjungan Presiden Jokowi menemui Presiden Xi Jinping. Atau bisa jadi berupa “perintah” dari kalangan Istana.

Istilah dikosongkan dan sudah diserahkan kepada swasta berawal dari penjelasan jumpa pers Menkopolhukam Mahfud MD. Penjelasan tersebut seakan bangsa Melayu yang sudah ada turun- temurun di pulau Rempang dianggap tiada.

Padahal mereka penduduk Rempang terdapat di 16 titik Kampung Tua, ada sekitar belasan ribu penduduk, selama ini bertahan hidup dari penjajahan Belanda pencaplokan Negara Tetangga.

Hanya berdasarkan keinginan investor dari China, Pemerintah RI “berusaha” mengosongkan pulau Rempang dengan memindahkan penduduk ke pulau Galang secara “paksa kekerasan” seperti yang terjadi pada (7/9/2023) menggunakan satuan Kepolisian dan TNI dengan peralatan lengkap seperti mengatasi huru-hara terhadap rakyat yang tidak bersalah, mereka hanya mempertahankan hak milik dan harga diri mereka sebagai warga.

Sangat bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945 serta UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pengusiran paksa warga/penduduk asli adalah pelanggaran HAM berat. Diadili di Pengadilan HAM.

TNI adalah Alat Negara yang harus menjaga pertahanan dan kedaulatan Negara, TNI bukanlah alat pemerintahan yang “gampang” diperalat atas dasar kekuasaan apalagi investor asing yang misinya perlu diuji apalagi dengan permintaan pengosongan pulau.

Menkopolhukam dan Menhan Laksamana Yudo Margono serta Petinggi TNI seharusnya “peka” terhadap permasalahan pertahanan dan ketahanan Negara, keinginan yang “berkelebihan” dari pihak investor. Walaupun “perintah” datang dari Presiden sekalipun.

Kalau akan “membahayakan” pertahanan Negara serta melanggar HAM Berat, Istana harus diberi pandangan oleh para petinggi institusi terhormat tersebut kepada Presiden Jokowi untuk menunda kebijakan aneh tersebut. Jangan sampai TNI dan Rakyat yang dikorbankan.

Keterkaitan terhadap pertahanan, institusi Menkopolhukam, Menhan dan Panglima, harus mengkaji secara mendalam ke mana tujuan akhirnya. Patut dicatat, tanpa adanya pribumi di pulau tersebut jelas akan membahayakan pertahanan dan ketahanan Negara dari kemungkinan invasi asing.

Ketiga institusi pertahanan tersebut seharusnya melakukan kajian dn menguji secara mendalam dengan mengundang para ahli di bidangnya, yang dulu sering dilakukan semasa Orba, melalui dialog di Sesko ABRI (sekarang TNI).

Termasuk tentang permasalahan IKN. Harus ditinjau dari aspek pertahanan nasional. Tidak melulu dengan pertimbangan ekonomi semata. Pembebasan pajak bagi asing/investor selama 30 tahun.

Perpanjangan HGU selama 180 tahun akan berdampak terhadap ancaman demogtafi penduduk serta pertahanan dan keutuhan NKRI. Jangan-jangan bonus demograpidi Indonesia dari banyaknya usia muda/usia produktif, dikalahkan oleh banjirnya tenaga asing dari China Komunis. Indonesia akan gagal mencapai tahun emas 2045, bahkan bisa terjadi disintegrasi/perpecahan bangsa.

Petinggi TNI juga patut “waspada” karena Kepala Pemerintahan dengan kepentingan ambisi pribadi atau kelompok baik secara politik dan ekonomi bisa saja “berkhianat”. Dalam sejarahnya tentang pengkhianatan pemegang kekuasaan yang berada di Istana di Indonesia pernah terjadi.

Perlu juga diketahui oleh Petinggi TNI bahwa, Pasal 106 KUHP mengatur penghianatan negara dan kejahatan terhadap keamanan negara bagi yang menyerahkan seluruh atau sebagian wilayah kepada musuh/asing.

Sebut saja pengkhianatan oleh DN Aidit petinggi Istana, merupakan gembong PKI yang sangat dekat dengan RRC membentuk angkatan ke-5 dengan mempersenjatai kaum buruh dan rakyat yang pro komunis. Senjata dari China untuk melawan TNI. Dan pada tanggal 30 September 1965 mereka para penghianat membunuh dan menyiksa secara sadis petinggi TNI.

Skandal Rempang. Kenapa dikatakan “skandal” karena diawali dengan “kebohongan” oleh para pejabat terkait yang menyatakan bahwa Xinji Glass Group adalah Perusahaan terbesar di dunia, dan di Rempang akan dibangun pabrik kaca dan solar cell terbesar kedua.

Pasal 14 UU Nomor 1 tahun 1946 mengatur ujaran kebohongan yang menyebabkan keonaran. Dengan demikian para pejabat tersebut dapat dikenakan pasal ini karena adanya keonaran pada tanggal (7/9/2023) di pulau Rempang dan tanggal (11/9/2023) terjadi keonaran yang lebih parah di Kota Batam.

Wanti-wanti skandal-skandal tersebut. Jangan sampai TNI lupa diri sehingga menyakiti hati rakyat dengan kekerasan maupun ancaman dengan keinginan para pejabat “memiting”, “membuldoser”, bahkan “mendor” rakyat.

Jika ini terjadi, disamping melanggar Sumpah Prajurit, juga tidak sesuai dengan delapan wajib TNI Sapta Marga, Pancasila dan Undang-Undang. Sistem Pertahanan Hankamrata akan hancur. TNI akan berjarak dan bahkan bisa saja “dibenci” oleh rakyat. Jangan sampai bangsa ini terperosok kepada lubang sama oleh ulah para “penghianat” bangsa.

Melalui sistem pertahanan rakyat semesta Hankamrata, sudah terbukti dalam perjalanan sejarah Indonesia perjuangan mengusir penjajahan maupun mengatasi pengkhianatan Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1948 dan 1965. Kemanunggalan TNI dengan rakyat berhasil menjaga keutuhan bangsa dan kedaulatan Negara walaupun terbatasnya alutsista.

Bekerja sama dengan Pemerintahan dan membantu kepolisian, petinggi TNI haruslah bijak dan hati-hati terhadap kepentingan kelompok kekuasaan politik dan ekonomi, mengusir penduduk apalagi dengan paksa. Indonesia bisa saja terjebak karena investasi, masuk dalam skenario melemahkan strategi pertahanan Negara, dari keinginan global menguasai SDA Indonesia.

Adanya Skandal Nasional “pengosongan” pulau Rempang “patut dicurigai” secara jangka menengah dan panjang bisa berupa invasi dengan cara nirmiliter. Patut diduga persyaratan investasi dengan pengosongan pulau yang berpenghuni tidak saja menguasai ekonomi dan SDA, karena dengan penguasaan HGU selama 180 tahun, melebihi penguasaan Hongkong.

Jika memang adanya “pengkhianatan” terhadap pertahanan Negara, pertanyaannya siapakah yang pantas didor, yang pantas dibuldoser dan yang pantas dipiting? Kalau hukum militer, jika berkhianat terhadap Negara harus dihukum mati.

Secara politik pun demikian kala petinggi PKI yang berkhianat tahun 1948 dan 1965 juga dihukum mati.

Dirgahayu HUT TNI ke-78. Tingkatkan kemanunggalan TNI dengan rakyat. (*)