Visi – Misi Pemerintahan Jokowi Gagal Total: Mau Diteruskan?

Kegagalan Jokowi selama periode 2014-2019 berlanjut hingga kini. Jokowi mempertahankan Visi 2014, yang merupakan rangkaian kata tanpa banyak arti, pada Pilpres 2019. Tapi, Jokowi mencoba merealisasikannya dengan sembilan Misi baru, yang lagi-lagi hanya mengecoh publik.

Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

JOKO Widodo akhirnya buka suara mengenai ‘Perubahan’, mengenai Visi – Misi Presiden. Jokowi mengeluh, kalau setiap ganti pemimpin harus ganti visi lagi, kapan bisa naik kelas. “Ganti pemimpin balik lagi kita harus mulai dari SD lagi. Kapan kita S1, S2, S3 dan seterusnya?" kata Jokowi.

Pernyataan Jokowi tersebut sangat tidak bermakna. Menunjukkan Jokowi tidak mengerti bahwa seorang pemimpin harus visioner, mempunyai Visi dan Misi untuk membawa bangsa ini menjadi lebih maju dan sejahtera, di tengah perubahan geopolitik, teknologi, dan seterusnya.

Yang lebih memprihatinkan, Jokowi terlihat antara ada dan tiada Visi – Misi. Artinya, Visi dan Misi Jokowi hanya hiasan rangkaian kata, yang terputus dengan realisasi pelaksanaan. Bahkan bertolak belakang.

Pada pilpres 2014, Jokowi mengusung Visi “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian berlandaskan Gotong Royong”. Visi ini jelas hanya ilusi, dan tidak bermakna.

Karena, semua orang tahu bahwa Indonesia pada saat itu, pada saat Pilpres 2014, sudah sangat Berdaulat dan Mandiri. Jadi, untuk apa lagi “Mewujudkan Indonesia Berdaulat dan Mandiri”? Jelas, Visi seperti ini kosong belaka, tidak ada arti sama sekali bagi Bangsa yang sudah Berdaulat dan Mandiri.

“Berkepribadian dan Berlandaskan Gotong Royong?” Boro-boro Gotong Royong, bahkan Indonesia sekarang malah menjadi negara kapitalisme oligarki ala kolonial. Yaitu, kebijakan yang memiskinkan rakyat di satu sisi, dan memberi penguasaan sumber ekonomi kepada segelintir pengusaha oligarki di lain sisi.

Kebijakan tersebut, antara lain, Jokowi mencabut subsidi BBM, subsidi listrik, dan subsidi kereta kelas ekonomi tidak lama setelah dilantik menjadi Presiden pada 20 Oktober 2014. Harga bensin premium dan solar naik lebih dari 30 persen per 18 November 2014, di tengah harga minyak dunia turun lebih dari 40 persen. Kemudian, tarif listrik dan harga 20 kereta kelas ekonomi jarak jauh dan jarak sedang naik per 1 Januari 2015.

Sebaliknya, per April 2015, Jokowi memberi stimulus triliunan rupiah kepada segelintir pengusaha sawit, dengan alasan meluncurkan program biodiesel B20, B30, etc. Tentu saja, rakyat jadinya ikut menanggung harga biodiesel non-subsidi campuran minyak sawit yang menjadi lebih mahal.

Kebijakan ala kolonial lainnya, seperti pengusiran atau penggusuran warga di daerah pertambangan demi oligarki tambang. Program pengusiran ini berjalan sangat lancar, sebab dikawal oleh polisi dan tentara.

Sebagai contoh adalah kasus Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara pada April 2015. Para petani yang mempertahankan lahannya dari ekspansi perusahaan tambang malah mendapatkan tembakan dan teror.

Visi Jokowi 2014 tersebut dikemas lebih rinci menjadi tujuh Misi, dan sembilan agenda aksi, disebut Nawa Cita. Semuanya ternyata hanya cerita kosong. Visi, Misi, Program atau Aksi, tidak ada yang tercapai. Bahkan, realisasinya bertolak belakang.

Misalnya, Misi “Mewujudkan masyarakat maju, berkeseimbangan dan demokratis berlandaskan Negara hukum”, secara nyata tidak terwujud. Sebaliknya, demokrasi tenggelam. Indonesia menjadi semakin otoriter. “Berlandaskan Negara hukum” hanya omong kosong! Hukum di era Jokowi secara transparan membela kepentingan kekuasaan dan pemilik uang.

Mobil Esemka menjadi program musiman. Lima tahun tidak terdengar. Kemudian ramai lagi ketika memasuki Pilpres 2019.

Misi “Mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju dan sejahtera”, juga menjual kebohongan saja. Jumlah penduduk miskin menurut garis kemiskinan nasional (BPS) hanya turun 1,37 persen selama 2014-2019. Jauh lebih buruk dari prestasi presiden-presiden sebelumnya.

Jumlah penduduk miskin 2019, menurut garis kemiskinan internasional untuk negara berpendapatan menengah atas, dengan pendapatan di bawah Rp 893.000 per orang per bulan, tercatat 141,3 juta penduduk atau 52,2 persen dari total penduduk. Data Bank Dunia ini jelas menunjukkan Jokowi gagal mewujudkan Indonesia maju dan sejahtera.

Kegagalan Jokowi selama periode 2014-2019 berlanjut hingga kini. Jokowi mempertahankan Visi 2014, yang merupakan rangkaian kata tanpa banyak arti, pada Pilpres 2019. Tapi, Jokowi mencoba merealisasikannya dengan sembilan Misi baru, yang lagi-lagi hanya mengecoh publik.

Misi tersebut semuanya gagal total, tidak terwujud.

Misi 1, “Peningkatan kualitas manusia Indonesia”, sangat tidak jelas. Kualitas apa? Kualitas hidup? Pendidikan? Teknologi? Penelitian? Faktanya, hampir semua faktor stagnan dan lebih buruk. Misalnya, sektor Penelitian terdegradasi.

Misi 2, “Struktur ekonomi yang produktif, mandiri, dan berdaya saing”, juga hanya bualan besar dan gagal. Faktanya, ekonomi semakin tidak berdaulat dan tidak mandiri. Pemerintah mengejar investor asing sampai ke Timur Tengah, Eropa, Amerika Serikat, tanpa hasil. Cukup memalukan, Tidak ada negara di dunia berperilaku seperti itu.

Ekspansi ekonomi sektor ekstraktif komoditas mineral seperti nikel diserahkan kepada investor asing dengan insentif fiskal yang sangat tidak masuk akal.

Misi 3, “Pembangunan yang merata dan berkeadilan” hanya isapan jempol. Semua pihak tahu, pembangunan ekonomi sangat tidak adil. Oligarki mendapat banyak kemudahan dan insentif. Sedangkan ekonomi masyarakat tertindas.

Antara lain, kebijakan penanganan Covid-19 (test PCR) dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Atau, kenaikan tarif pajak PPN dan harga BBM ketika pemerintah dan oligarki menikmati kenaikan harga komoditas dunia.

Misi 4, “Mencapai lingkungan hidup yang berkelanjutan” juga hanya bicara besar. Pencemaran lingkungan di daerah pertambangan dan perkebunan sawit semakin tidak terkendali.

Misi “Penegakan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya” menjadi lelucon paling tidak lucu. Sepertinya, Jokowi tidak tahu lagi apa yang diucapkan dan apa yang dikerjakan. KPK dilemahkan. Korupsi merajalela. Indeks korupsi turun dari skor 40 (2019) menjadi 34 (2022). Sangat bruruk. Lebih dari 10 kementerian dan lembaga terlibat korupsi.

Berdasarkan fakta di atas, Visi dan Misi Jokowi hanya bagus di atas kertas. Realisasinya nihil besar. Realisasi kebijakan pemerintahan Jokowi bertentangan dengan kepentingan masyarakat banyak. Apakah kegagalan ini yang mau diteruskan oleh pemimpin yang akan datang? (*)