Warga Melayu Pulau Rempang Diusir Demi Proyek Investasi China

Sangat logis kalau kemudian orang menduga bahwa proyek ini dibangun untuk orang-orang tertentu. Sangat mungkin sudah didesain agar di Pulau Rempang nanti tidak ada lagi orang asli di sekitar mereka.

Oleh: Asyari Usman, Jurnalis Senior Freedom News

DALAM beberapa hari ini tiba-tiba Pulau Rempang di Provinsi Kepri menjadi viral. Pulau ini dihuni sekitar 4,000 penduduk asli Melayu pribumi.

Meledaklah berita bahwa aparat keamanan gabungan TNI-Polri dan Satpol PP, Badan Pengelola (BP) Batam melakukan tindakan represif untuk mengosongkan pulau itu. Tindakan represif ini berlangsung pada 7 September 2023.

Pulau Rempang dipaksa kosong untuk membangun Rempang Eco City (REC). Ini adalah proyek milik PT MEG yang bekerjasama dengan investor China.

Proyek REC akan dibangun di atas lahan seluas 17,000 hektar. BP Batam sudah menerbitkan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) kepada PT MEG.

Untuk mengosongkan lahan seluas 17,000 hektar itu, sebanyak 16 kampung tua yang telah ada sejak ratusan tahun harus dilenyapkan. Orang-orang Melayu penghuni kampung-kampung tua itu dipaksa pindah ke kawasan tengah Pulau Galang.

Ada ultimatum bahwa Rempang harus kosong pada 28 September 2023. Kalau aparat sudah main ultimatum, berarti proyek ini “sangat penting”.

Yang perlu kita pertanyakan mengapa pemerintah Batam mati-matian mendukung REC? Ini untuk siapa?

Sangat jelas REC bukan untuk rakyat kecil. Rakyat kecil hanya kebagian tindakan penggusuran. Mereka hanya menjadi objek pengusiran.

Proyek besar ini pastilah menjadi sumber uang besar bagi para pemegang kekuasaan. Di lingkungan BP Batam banyak pemegang kekuasaan yang diperlukan oleh REC.

Tidak hanya BP Batam. Para pemegang kekuasaan di tingkat pusat juga berperan.

Banyak yang ikut menyukseskan proyek yang bernilai puluhan triliun ini. Termasuk penguasa Polri, TNI, Satpol PP, dan pihak-pihak lain.

Tidak mudah mengerahkan aparat gabungan dalam suatu operasi besar semisal penyerbuan penduduk Rempang. Logistiknya besar. Termasuk untuk menurunkan pasukan bersenjata lengkap. Ada panser Brimob, kendaraan taktis, kendaraan gas air mata, dan perangkat keras lainnya.

Mereka tidak akan bergerak kalau tidak digerakkan oleh para petinggi di Polri dan TNI serta Satpol PP. Pasti ada kesepakatan agar semua aparat bersemangat menumpas perlawanan warga Rempang yang harus diusir dari kampung halaman mereka.

Bisa dibayangkan isi kesepakatan antara pemilik proyek REC dengan pemilik kekuasaan di lingkungan Polri, TNI, dan Satpol PP Batam. Tugas mereka itu harus menindas warga yang menolak. Risikonya berat.

Terus, mengapa rakyat yang telah bermukim turun-temurun di pulau itu wajib dipindahkan? Ada apa? Untuk tujuan apa

Sangat logis kalau kemudian orang menduga bahwa proyek ini dibangun untuk orang-orang tertentu. Sangat mungkin sudah didesain agar di Pulau Rempang nanti tidak ada lagi orang asli di sekitar mereka.

Sangat mungkin pula REC akan dijual kepada orang-orang kaya dari China atau dari Singapura. Pulau ini sudah terhubung ke Pulau Batam dengan jembatan. Singapura menjadi tak terlalu jauh.

Kita tahu Singapura sedang mengalami kesulitan serius untuk menyediakan perumahan bagi rakyatnya. Kita juga mendengar bahwa orang-orang dari China juga berminat dan perlu.

Nah, apakah REC bertujuan untuk menjawab kesulitan Singapura itu? Sekaligus menjawab minat orang dari China? Pertanyaan seperti ini sah-sah saja dilontarkan.

Sebab, kita saksikan betapa kerasnya keinginan BP Batam untuk merealisasikan proyek ini. Sampai-sampai tega menyakiti warga yang menolak kehadiran proyek mahal itu.

Dalam bentrokan yang terjadi pada 7 September, banyak warga yang luka-luka dan ditangkap. Tidak hanya luka fisik, warga yang tak berdaya itu mengalami luka psikis yang sangat dalam. (*)