OPINI: 'Inflasi’ Beras Nasional
Jakarta, FreedomNews - Riak-riak kenaikan harga beras mulai dirasakan menjelang pergantian tahun. Berdasarkan pantauan Bank Indonesia, harga beras saat ini berada di kisaran terendah Rp12.947 per kilo gram (kg) di Nusa Tenggara Barat hingga tertinggi yang mencapai Rp18.800 per kg di Kalimantan Tengah. Secara keseluruhan, beras pada Januari 2024 mengalami inflasi 0,64% dengan andil 0,03% terhadap inflasi utama.
Mengikuti SBH (Survey Biaya Hidup) 2022 teranyar yang dirilis BPS (Badan Pusat Statistik) bobot beras adalah 3,43% sehingga inflasi pangan bergejolak (volatile food) relatif tinggi menembus 7,22%. Fakta yang tersaji di atas sudah dengan sendirinya bisa dipahami oleh kalangan awam bahwa gejolak harga beras menjadi determinan penting dalam menyokong angka inflasi. Sebagai bahan makanan pokok di Indonesia, beras dianggap wajar apabila memiliki bobot yang signifikan dalam struktur konsumsi masyarakat. Namun, penggunaan istilah ‘inflasi beras’ agaknya sedikit menggelitik telinga.
Per definisi, inflasi adalah kenaikan harga umum yang terjadi secara terus-menerus dalam jangka panjang. Kebalikan kata dari inflasi adalah deflasi. Inflasi atau deflasi dinyatakan dalam satuan persen.Harga umum diukur dengan IHK (indeks harga konsumen) yang mencakup 847 komoditas yang dianggap mewakili belanja konsumsi masyarakat. Harga sekeranjang komoditas ter-sebut dipantau rutin di 150 kabupaten/kota, termasuk ibu kota provinsi masing-masing yang kini berjumlah 38.
Mengikuti the Classification of Individual Consumption by Purpose (COICOP) 2018, IHK dikelompokkan ke dalam 11 jenis pengeluaran. Inflasi juga didisagregasi lagi menurut kontribusi pembentuknya. Disagregasi inflasi menghasilkan tiga indikator yang menggambarkan penga-ruh dari faktor yang bersifat fundamental. Disagregasi pertama adalah inflasi inti (core inflati-on), yakni komponen inflasi yang cenderung stabil. Pergerakan inflasi inti dipengaruhi faktor fundamental, seperti interaksi permintaan-penawaran, nilai tukar, harga komoditas internasional, perkembangan ekonomi global, serta ekspektasi inflasi di masa depan.
Disagregasi inflasi yang kedua adalah harga yang diatur (administered price), yakni komponen inflasi yang ditentukan oleh kebijakan pemerintah. Ketigaadalah harga pangan bergejolak.Perkembangan inflasi jenis ini diakibatkan oleh panen, gangguan distribusi, bencana alam, dan sebagainya. Alhasil, tingginya kenaikan harga beras semestinya tidak bisa disebut ‘inflasi’ beras, beras toh komoditas tunggal yang dimasukkan pada kelompok harga pangan bergejolak.
Jika ada istilah ‘inflasi’ beras, semestinya ada pula ‘inflasi’ tomat. Andil kenaikan harga tomat terhadap inflasi IHK justru lebih lebih ting-gi (0,09%) daripada beras (0,03%). Inflasi yang ditempeli komoditas tertentu sejatinya mencampuradukkan antara pemikiran ekonomi mikro dengan ekonomi makro. Oleh karenanya, akan lebih proporsional jika semua pemangku kepentingan konsisten menggunakan terminologi ‘kenaikan harga’ beras, alih-alih ‘inflasi’ beras untuk mengungkap dinamika harganya.
Kenaikan harga beras memang terbuka peluang disebut ‘inflasi’ beras, jika dan hanya bila kenaikan harga beras itu meluas dan mengakibatkan kenaikan harga pada barang/jasa lainnya. Namun, sejauh ini belum ada konfirmasi resmi dari lembaga yang berwenang perihal efek domino yang dipicu kenaikan harga beras.
Lagi pula, kenaikan harga beras tadi lebih bersifat temporer. Fenomena el nino mulai menggeser musim tanam. Artinya, ketika musim tanam tiba, ekspektasi kenaikan harga beras akan mereda. Sementara itu, ekspektasi di masa depan diyakini sebagai komponen yang paling dominan dalam menentukan besaran inflasi berjalan. Lebih lanjut, kriteria jangka panjang yang termaktub dalam definisi inflasi juga patut digarisbawahi. Inflasi di Indonesia dihitung dalam rentang tahunan, tahun kalender, dan bulanan.
Jika rentang bulanan dianggap memenuhi kriteria jangka panjang, inflasi pangan pada Januari 2024 tercatat 0,01%, lebih rendah daripada bulan sebelumnya, 1,42%. Konfigurasi spasial agaknya juga tidak mendukung istilah ‘inflasi’ beras. Nusa Tenggara Barat sebagai pro-vinsi dengan harga beras terendah ternyata bukan daerah dengan ‘inflasi’ beras terendah. Demikian pula, Kalimantan Tengah sebagai propinsi dengan harga beras tertinggi toh tidak mengalami ‘inflasi’ beras yang tertinggi.Secara tahunan, inflasi pangan nasional menembus 7,22%, yang lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang mencapai 6,73%.
Beranjak dari sinilah penggunaan kata ‘inflasi’ beras kemungkinan muncul. Mengidentikkan pangan dengan beras masih masuk akal, tetapi menganalogikan inflasi pangan dengan ‘inflasi’ beras tidak-lah tepat. Pemunculan istilah ‘inflasi’ beras sangat boleh jadi merupakan potret kecil dari kegemaran masyarakat untuk membesar-besarkan sesuatu yang sebenarnya tidak pada tempatnya untuk dibesarkan.
Menarik perhatian khalayak dan mengejar viralitas di media elektronik diduga menjadi motif utamanya.Oleh karenanya, tidak mengherankan jika gaya bahasa hiperbola lebih sering dipakai untuk menyampaikan pesan. Sebaliknya, gaya bahasa yang lugas alias ‘apa adanya’ acap kali lolos dari pandangan mata. Sedangkan substansi pesan yang hen-dak disampaikan sebenarnya tidak berbeda. Bagi si penerima pesan, pilihan gaya bahasa hiper-bola atau lugas niscaya memproduksi reaksi yang berbeda. Demikian pula bagi otoritas terkait, ‘Inflasi’ beras akan menyodorkan implika-si kebijakan yang berbeda dibandingkan dengan ‘kenaikan harga’ beras. Dan efek-tivitas responsnya pun juga berlainan. Bukan begitu? (dtf /opin/ekon)