OPINI : Kontradiksi Data Inflasi Tahun 2024
Jakarta, FreedomNews - Mengawali 2024, publik disuguhi data inflasi yang kontradiktif. Di satu sisi, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data inflasi Desember 2023 ‘hanya’ 2,61% secara tahunan. Kinerja inflasi 2023 itu merupakan level terendah dalam 20 tahun terakhir, di luar episode pandemi 2020 hingga 2022. Di sisi lain, BPS juga melaporkan inflasi bulanan Desember 2023 mencapai 0,41%. Inflasi di pengujung tahun itu sekaligus menobatkannya yang tertinggi sepanjang 2023. Kekontrasan inflasi tahunan tertinggi versus inflasi bulanan terendah menimbulkan polemik perihal performa riil inflasi Indonesia.
Rendahnya inflasi tahunan tersebut boleh jadi karena keberhasilan otoritas ekonomi dalam mengendalikan inflasi. Ruang gerak Bank Indonesia yang terbatas di area permintaan terimbangi oleh bauran kebijakan kementerian/lembaga terkait dari sisi pasokan sehingga inflasi terjaga sesuai interval target. Kesuksesan menjinakkan inflasi tidaklah mengada-ada. Selama 2023, ketidakpastian global masih tinggi. Persaingan hegemoni antara Amerika-China, konflik di Eropa Timur, dan perang di Timur Tengah mengancam eskalasi global. Imbas faktor eksternal itu bermuara pada kenaikan harga komoditas impor.
Inflasi impor berpadu dengan fenomena El Niño yang berada di luar kendali. Kedua faktor eksogen tersebut berpotensi memicu gejolak inflasi domestik lebih liar lagi. Dengan demikian, rendahnya inflasi tahunan bisa dipandang sebagai buah sinergi kebijakan pengendalian inflasi lintas sektor. Namun, rendahnya inflasi tahunan 2023 juga dimungkinkan lantaran basisnya yang sudah tinggi. Pada 2022, misalnya, ada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Sesuai tenggat durasinya, tingkat inflasi menurun gradual berselang satu tahun setelah kenaikan harga BBM tadi.
Sementara, tingginya inflasi bulanan pada Desember 2023 didorong oleh harga pangan bergejolak (volatile foods). Harga cabai merah, cabai rawit, dan bawang merah terus menanjak dalam beberapa bulan terakhir. Lonjakan harga itu menyusul harga beras yang sudah lebih dahulu melejit. Alhasil, inflasi sejatinya masih menyimpan ‘bom waktu’. Ledakan inflasi pangan yang sebelumnya berpola siklikal, musiman, dan temporer bergeser ke mode permanen yang menuntut solusi ekstra. Jelasnya, klaim keberhasilan pengendalian inflasi masih bisa diperdebatkan.
Terlepas dari keabsahan klaim di atas, kontradiksi kinerja inflasi tahunan dan bulanan bertalian dengan rentang waktu. Hasil pengukuran inflasi tahunan (mencakup 12 bulan ke belakang) biasanya lebih ‘halus’ sehingga menafikan ‘lekuk’ kinerja inflasi bulanan yang merentang hanya 1 bulan. Kinerja inflasi juga sensitif dengan tonggak indeks harga konsumen (IHK). Inflasi toh dikalkulasi dari persentase kenaikan IHK. Tahun dasar IHK yang digunakan dalam penghitungan inflasi 2023 adalah 2018. Basis 2018 merujuk pada Survei Biaya Hidup (SBH) pada tahun yang sama.
SBH direvisi setiap lima tahun sekali. BPS telah mempublikasikan SBH terbaru, yakni SBH 2022. Artinya, IHK 2022 pun akan menggunakan bobot nilai konsumsi yang dipotret dari hasil SBH 2022. Urgensinya, penghitungan inflasi IHK 2022 mulai berlaku untuk periode Januari 2024. Kontradiksi inflasi 2024 pun, lagi-lagi, bakal timbul. SBH 2022 toh masih dalam masa pandemi. Status page¬bluk Covid-19 di Indonesia adalah kejadian yang fundamental, luar biasa, dan belum pernah terjadi sebelumnya (unprecedented) sehingga memukul seluruh sendi kehidupan.
Konsekuensinya, potret pola konsumsi yang didapat pun juga ‘luar biasa”. Pola konsumsi yang ‘luar biasa’ memproduksi nilai konsumsi yang ‘tidak lazim’. Nilai konsumsi yang ‘tidak lazim’ jika digunakan sebagai bobot dalam penyusunan IHK menghasilkan besaran inflasi yang ‘anomali’ pula. Perbedaan karakter bobot nilai konsumsi SBH 2022 berakibat inflasi tahunan akan bias ke atas (upward bias). Bias ke atas inflasi niscaya membawa implikasi yang tidak ringan, terutama pada efektivitas kebijakan. Bagaimanapun, mayoritas kebijakan ekonomi makro diturunkan dari indikator inflasi tahunan.
Kebalikan cerita berlaku di ranah mikro. Selama masa pandemi, teknologi, pendapatan, corak penawaran dan permintaan, kualitas dan kuantitas barang/jasa, serta sikap, perilaku, dan gaya hidup berubah signifikan. Sebagai contoh, belanja untuk teknologi informasi dan travelling meningkat. Perubahan gaya hidup yang berpatokan pada kondisi ekonomi yang lemah mengarahkan inflasi cenderung bias ke bawah (downward bias). Rendahnya inflasi inti pascapandemi lantas diyakini sebagai titik balik pemulihan daya beli sehingga subsidi bisa segera dialihkan pada belanja produktif.
Asumsi semacam itu niscaya memantik kegaduhan. Apalagi, 2024 adalah tahun politik. Isu pemotongan subsidi menjadi ‘komoditas’ politik yang akan ‘digoreng’ untuk pamrih politis. Perang narasi pun akan riuh, yang justru menjauh dari literasi musabab rendahnya inflasi itu sendiri. Padahal, inflasi adalah output perhitungan statistik. Sebagai data statistik, inflasi bersifat ‘netral’. ‘Ketidaknetralan’ inflasi semata-mata karena penafsiran sepihak. Konkretnya, pemangku kepentingan data inflasi 2024 dituntut cerdas menyikapi setiap kemungkinan perbedaan intepretasi yang muncul.
Alhasil, kinerja riil inflasi nasional harus dinilai dengan mengedepankan objektivitas tanpa pretensi apa pun. Pada akhirnya, lewat kemampuan berlogika yang komprehensif, data inflasi BPS senantiasa menawarkan kemanfaatan informasi bagi kesejahteraan khalayak, alih-alih memancing kontradiksi publik.(dtf/opin)