Opini: Potensi Bahan Baku Halal Alat Kesehatan
Jakarta, FreedomNews - Sejak berlakunya UU Jaminan Produk Halal No. 33/2014, maka seluruh produk yang masuk ke Indonesia dan beredar wajib bersertifikasi halal atau melampirkan keterangan non-halal bagi produk atau bahan baku yang diharamkan. Implementasi jaminan halal untuk industri kesehatan produk kesehatan diatur melalui Perpres No.6/2023 tentang sertifikasi halal obat, produk biologi dan alat kesehatan (alkes). Proses sertifikasi halal dilakukan melalui tiga tahap dimulai dari 17 Oktober 2021 sampai 17 Oktober 2034 yang dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu obat-obatan berdasarkan jenisnya dan alkes berdasarkan tingkat risikonya.
Industri kesehatan perlu mempersiapkan ekosistem halal dari hulu ke hilir yang terintegrasi untuk melaksanakan jaminan halal dan perlindungan konsumen terutama umat muslim dari penggunaan produk dan bahan baku non-halal. Perkembangan industri farmasi dan alkes nasional mulai membaik seiring dengan transformasi sistem ketahanan kesehatan nasional yang dicanangkan oleh Kementerian Kesehatan RI. Jumlah produsen alkes lokal meningkat dari 193 (2015) menjadi 891 perusahaan (2021).
Namun, Indonesia masih bergantung pada impor di mana sekitar 90% bahan baku berasal dari negara-negara seperti China, India, AS dan Eropa. BPOM mencatat total nilai impor bahan baku farmasi sepanjang 2021 sebesar US$712 juta. Neraca perdagangan alkes Indonesia masih mengalami defisit dalam 5 tahun terakhir, tetapi pertumbuhan ekspor alkes positif setiap tahunnya tercatat sebesar 0,76% dengan nilai ekspor US$207,7 juta di tahun 2022 (PPIE Kemendag, 2023). Sedangkan potensi pasar alkes di kawasan Asia Pasifik tahun 2023 mencapai US$112 miliar dengan tingkat pertumbuhan 6,8% dan diprediksi mencapai US$157 miliar di tahun 2028 (Market Data Forecast, 2023).
Produk alkes yang masih bergantung pada impor adalah produk untuk cangkok tulang (bone graft), yang digunakan untuk operasi kelainan tulang seperti patah tulang, operasi tulang belakang dan operasi implan gigi. Produk bone graft dapat membantu penyembuhan lebih cepat pasca-operasi. Material bone graft dapat diperoleh dari tulang murni seperti tulang ikan, tulang sapi, dan cangkang telur. Namun, saat ini 60% substitusi bone graft yang tersedia di pasaran berasal dari keramik atau campuran material lainnya yang memiliki kandungan hidroksiapatit, kalsium, fosfat dan tidak diketahui status kehalalannya karena informasi asal bahan yang sangat terbatas.
Produk bone graft yang telah dikembangkan di dalam negeri adalah berbahan baku dari dengkul/bonggol sapi yang diklaim memiliki kandungan kalsium lebih tinggi dari sisik ikan dan cangkang telur ayam, sehingga menjadi produk yang memiliki tingkat komponen dalam negeri (TKDN) lebih dari 50%. Pasar bone graft global di tahun 2022 senilai US$696,6 juta dimana 75% produknya diserap oleh klinik dibanding rumah sakit.
BAHAN BAKU
Kebutuhan produk bone graft meningkat seiring dengan tingkat kecelakaan lalu lintas dan kecelakaan kerja. Selama 3 tahun terakhir, jumlah agregat kecelakaan kerja dan penyakit akibat kecelakaan mencapai 722.000 kasus dengan tren meningkat tiap tahunnya (Kemnaker, 2023). Sedangkan angka kecelakaan lalu lintas sepanjang Januari—November 2023 tercatat 134.867 kasus (Polri, 2023).
Hal ini tentunya dapat dijadikan peluang bisnis bagi pelaku usaha alkes. Terkait bahan baku, Kementerian Pertanian RI mencatat rata-rata kebutuhan daging sapi untuk industri dan konsumsi rumah tangga tiap tahunnya sekitar 700.000 ton. Produksi daging dari sapi lokal mampu memasok sekitar 60% atau setara dengan 2,5 juta sapi dari kebutuhan nasional. Namun, tantangan saat ini adalah sedikitnya jumlah Rumah Potong Hewan Ruminansia (RPHR) yang telah bersertifikasi halal dan memiliki Nomor Kontrol Veteriner (NKV) untuk jaminan higienis dan sanitasi, sehingga pasokan bahan baku seperti bonggol sapi untuk bone graft menjadi terbatas. Maka percepatan sertifikasi halal RPHR sangat penting untuk menghasilkan bahan baku bonggol sapi yang halal.
Tantangan lainnya adalah industri kesehatan masih diasosiasikan dengan kebutuhan darurat oleh pengguna, sehingga ketersediaan produk dan harga masih menjadi kekhawatiran dibandingkan dengan status halal produk. Tingkat literasi pengelola layanan kesehatan, pelaku usaha farmasi/alkes dan tenaga medis juga perlu ditingkatkan terkait jaminan produk halal seiring dengan pentahapan kewajiban sertifikasi halal sektor farmasi dan alkes.
Dalam rangka penguatan sistem ketahanan kesehatan nasional, program kemandirian produk farmasi dan alkes dalam negeri perlu dijadikan proritas untuk memenuhi ketersediaan dan keterjangkauan obat dan alkes yang aman, bermutu, dan halal untuk pelayanan kesehatan. Melalui kolaborasi antara pemerintah, lembaga penelitian universitas, dan pelaku usaha diharapkan riset dan pengembangan bahan baku farmasi dan alkes halal dapat memenuhi kebutuhan domestik penduduk muslim Indonesia dan juga untuk mendorong ekspor terutama ke negara-negara Asean dan OKI.(dtf/opin/kes/ekon)