Jokowi Singgung SD Inpres, Dokter Tifauzia: SD Inpres Telah Lahirkan Insinyur Berijazah Asli

Jakarta, FreedomNews – Presiden Joko Widodo ternyata tak sederhana seperti citranya selama ini. Terakhir dibuktikan dengan pernyataannya yang menyinggung kualitas bangunan Gedung SD Negeri Inpres. Bangunan SD Inpres yang sederhana karena kemampuan anggaran negara yang minim dibandingkan keinginan kemewahan Ibukota Negara (IKN) yang mandornya saja hendak menggunakan tenaga kerja asing.

Tak ayal, dokter penggiat media sosial, Dr. Tifauzia Tyassuma (Doktif) berkomentar “nyinyir” dengan mengatakan, "SD Inpres telah melahirkan banyak Insinyur Berijazah Asli!,” tulisnya dalam twitnya di akun Twitter, Jumat (16/6/2023).

Tentang “kekokohan” SD Inpres yang sederhana itu, Doktif menyatakan, ribuan SD Inpres yang dibangun sejak 50 tahun lalu. Dan, banyak yang sampai sekarang masih berdiri dan tergunakan dengan baik. “Siapapun yang sekolah dasarnya SD Negeri mulai tahun 1973, berarti dia sekolah di SD Inpres,” tulisnya.

Menurut data, pembangunan SD Inpres itu dilakukan semasa kepemimpinan Presiden RI Kedua, Soeharto. Ketika itu, Indonesia yang memiliki anggaran tidak besar dihadapkan dengan kurangnya bangunan sekolah khususnya SD dan guru pengajar.

Melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 10 tahun 1973 tentang pembangunan sekolah dasar yang diikuti Inpres lainnya, yang mulai pembangunannya dari tiga ruang kelas di 6.000 unit lokasi SD Inpres di seluruh Indonesia.

Pembangunan SD Inpres itu merupakan upaya utama untuk memeratakan pendidikan secara terstruktur dan massal. Presiden Soeharto menindaklanjuti Inpres 10/1973 dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6/1974 tentang Program Bantuan Pembangunan Sekolah Dasar yang pelaksanaannya dimulai dari November 1973, mengangkat 57.600 guru SD dan membangun 6.000 gedung SD baru. Ketika itu, anak usia SD sekira 7,578 juta yang bersekolah baru 4,18 juta anak. Artinya, 44,8% atau setengah anak usia SD tidak tertampung.

Hasilnya, dari data-data pendidikan BPS periode 1973-1983 terjadi pertumbuhan jumlah siswa SD yang sangat tinggi dari -8,6 persen menjadi 8,6 persen pada akhir periode pelaksanaan Inpres. Kenaikan pertumbuhan juga terjadi pada jumlah guru SD pada kurun waktu yang sama, dari -5,6 persen menjadi 3,5 persen pada tahun ajaran 1982/83.

Di samping jumlah murid dan guru, pertumbuhan bangunan sekolah SD naik paling signifikan selama program SD Inpres, dari -4,7 persen menjadi 19,8 persen.

Pertumbuhan minus siswa SD terjadi karena yang sudah bersekolah terjadi putus (drop out) dan yang masuk makin berkurang, atau minat sekolah anjlok. Salah satu akibatnya, karena tidak adanya SD di lokasi terdekat penduduk setempat, atau jaraknya jauh, bangku dan kelas tidak mencukupi.

Begitu juga dengan pertumbuhan negatif guru, ada yang putus mengajar karena penempatan sekolah yang jauh dari tempat tinggalnya dan gaji yang tidak seberapa. Sedangkan pertumbuhan negatif bangunan SD terjadi akibat bangunan peninggalan masa penjajahan itu rusak tanpa ada perbaikan atau ruang kelas SD pinjaman diminta kembali oleh yang empunya.

Pada akhir periode Inpres SD, 1982/83, tercatat 854.738 guru SD negeri, 24.695.288 siswa SD negeri, dan 119.484 bangunan sekolah SD negeri. Jumlah tersebut rata-rata merupakan dua kali lipat dari situasi tahun 1972/73 saat program SD Inpres mulai dicanangkan. Pada tahun ajaran 1972/73 hanya terdapat 413.413 guru SD Negeri, 13.030.548 siswa SD Negeri, dan 65.569 bangunan sekolah SD negeri.

Selain Doktif, warganet yang membalas unggahan dokter peneliti itu pun rata-rata tak terima dengan pernyataan Presiden Jokowi yang seolah-olah merendahkan kualitas SD Inpres. Akun @uco*** mengunggah potongan video bangunan salah satu SD Inpres. Dia memberi keterangan, "SD Inpres 01 Kun bar, dari tahun 1980-an sampai sekrang masih tokcer."

"Bangunan SD inpres itu termasuk kuat, lebih dari 50 tahun berdiri, dibanding bangunan2 sekarang, pakai atap baja ringan tapi kalo angin gede selalu waswas," balas @_nkri.

Akibatnya, Jokowi menjadi trending topik di Twitter, setelah menegaskan perlunya mandor asing dalam pembangunan IKN. Jokowi menilai, penggunaan pengawas asing untuk menjaga kualitas barang yang dihasilkan. "Mandor apa, beda loh mandor sama pengawas. Memang sudah diusulkan dalam rapat kalau hanya satu, dua untuk urusan kualitas barang nanti yang dihasilkan," kata Jokowi di Pasar Menteng Pulo, Jakarta, Kamis (15/6/2023).

Jokowi menjelaskan, pelibatan pengawas asing dalam proyek IKN juga sekaligus untuk menarik investor asing. Menurut dia, pemerintah tak ingin hasil pembangunan IKN malah tak sesuai harapan. Jokowi pun membandingkan, tidak ingin hasil IKN seperti gedung Sekolah Dasar Inpres pada era Presiden Soeharto. "Ndak-ndak ya karena kita ingin menaikkan level kualitas kita. Jangan hasilnya nanti kayak SD Inpres, mau?" kata Jokowi.

Usai melontarkan pernyataan yang menyinggung program SD Inpres gagasan Presiden ke-2 Soeharto itu, Jokowi menuai kontroversi dari para warganet. Sejumlah warganet yang mengaku lulusan SD Inpres menyayangkan perkataan Jokowi tersebut.

"Ngelus dada gue, level kepala negara tapi tdk paham sejarah bangsanya sendiri. SD Inpres program melegenda, success story bangsa Indonesia yang adopsi bangsa lain dan diapresiasi UNESCO. Katanya kepemimpinan ibarat tongkat estafet tapi meremehkan legacy pendahulunya! Ampyun dah!," cuit @BosPurwa.

"Gw bisa paham klo standup comedian yg ngejokes bangunan sd inpres, atau ngejokes ruang IT KPU kayak warnet di pasar grosiran. SD inpres itu dibuat agar KBM bisa segera terlaksana, budget seadanya, soal estetika bangunan nomor 2.Tapi kalo pejabat ngejokes sd inpres, speechless gw," cuit @rudyno1.

Hadiah Nobel

Sementara itu, program SD Inpres di Indonesia ternyata mendapatkan pengakuan dunia. Solusi pengentasan kemiskinan melalui pendidikan yang dijalankan Soeharto mendapatkan pengakuan hadiah Nobel.

Hal itu setelah trio warga Amerika Serikat (AS), yaitu Abhijit Banerjee, Esther Duflo, dan Michael Kremer meraih nobel bidang ekonomi pada 2019. Ketiga ekonom itu mendapatkan penghargaan tertinggi atas hasil penelitian mereka terkait kemiskinan global.

Esther Duflo yang meraih nobel pada usia 46 tahun menjelaskan tentang penelitiannya terkait kebijakan pemerintah Indonesia dalam mendirikan SD Inpres pada era 1973 hingga 1978. Duflo pun mengutip data Bank Dunia, sepanjang 1973-1974 hingga 1978-1979, Indonesia telah membangun sebanyak 61.807 unit sekolah SD baru.

Kala itu, setiap sekolah mampu menampung sekitar 500 siswa. Presiden Soeharto mengeluarkan lebih dari 500 juta dolar AS atau setara 1,5 persen dari produk domestik bruto (PDB) tahun 1973.

Hasil Duflo diterbitkan menjadi jurnal berjudul 'Schooling and Labor Market Consequences of School Construction in Indonesia: Evidence from an Usual Policy Experiment' pada 2000. The Financial Express melaporkan, Duflo menjelaskan, pembangunan SD Inpres merupakan program pembangunan gedung sekolah terbesar di Indonesia sepanjang sejarah.

Duflo menyimpulkan, pembangunan SD Inpres menyebabkan anak-anak usia dua sampai enam tahun pada 1974 menerima 0,12 hingga 0,19 tahun pendidikan lebih banyak untuk setiap sekolah yang dibangun per 1.000 anak di wilayah kelahiran mereka.

Program SD Inpres, menurut Duflo, juga mendorong proporsi yang signifikan dari populasi masyarakat Indonesia untuk menyelesaikan pendidikan dasar. Peningkatan itu diterjemahkan ke dalam kenaikan upah 1,5 hingga 2,7 persen untuk setiap sekolah tambahan.

hitungannya, efek pembangunan SD Inpres sukses 'meningkatkan ekonomi' Indonesia kala itu. Bahkan pengembalian ekonomi sekitar 6,8 hingga 10,6 persen.

"Saya mengevaluasi efek dari program ini pada pendidikan dan upah dengan menggabungkan perbedaan antardaerah dalam jumlah sekolah yang dibangun dengan perbedaan antarkelompok yang disebabkan oleh durasi program," kata Duflo saat menerima nobel ekonomi di Massachusetts Institute of Technology (MIT). (*)

M. Juhri