Pengawal Konstitusi: Enny Nurbaningsih Perang Bathin, Antara Menolak dan Menerima
SATU-satunya hakim wanita Mahkamah Konstitusi (MK) dari sembilan hakim adalah Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, SH, MHum. Enny terpilih setelah menggantikan jabatan hakim Maria Farida Indrati yang berakhir pada 2018.
Sempat menjadi sororan masyarakat karena pernah menjadi anak buahyya MenkunHam, Yasona Laoly dan dianggap tidak independen.
Sempat meneteskan air mata ketika MK mengambil Putusan MK Nomor 90 Tahun 2023 tentang majunya Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres, meskipun tidak cukup umur, saat Anwar Usman, yang juga pamannya membacakan putusan dimaksud.
Dari 8 hakim MK, analis dan netizen sudah menghitung-hitung komposisi yang diperkirakan 5-3 atau 4-4 saat putusan penting menerima atau menolak pengajuan perkara paslon 01 dan 03 pada Senin, 22 April 2024, lusa.
Enny diperkirakan bimbang kata pengamat antara mendukung 01-03, atau sebaliknya setuju pada 02. Enny belum terlihat rekam jejak dan kecenderungan keberpihakannya. Meskipun, beberapa pertanyaan tajam sempat dilontarkan, baik terhadap ahli dari pihak 01, 02, maupun 03, maupun para saksi sepanjang persidangan.
Yang jelas, Enny bersama empat Hakim Konstitusi lainnya bersepakat dengan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang memberi karpet merah untuk Gibran Rakabuming Raka menjadi Cawapres bagi Capres Prabowo Subianto. Kinilah saatnya Enny menebus “dosa” atas putusan kontroversial itu.
Srikandi Mahkamah
Enny Nurbaningsih, terpilih menggantikan Maria Farida Indrati sebagai Hakim Konstitusi perempuan di Indonesia. Wanita kelahiran Pangkal Pinang itu terpilih oleh panitia seleksi calon hakim konstitusi setelah melalui seleksi yang ketat.
Namun, siapa menyangka jika sosok Srikandi Hukum yang dipilih Presiden Joko Widodo ini, justru tidak terpikir untuk menjadi seorang Hakim Konstitusi. Enny muda sesungguhnya memiliki cita-cita sebagai guru. Baginya, mengajar bukan hanya sebagai sebuah profesi, tapi juga sebuah panggilan jiwa. “Mengajar adalah suatu kehidupan yang nikmat sekali buat saya,” ucapnya menggambarkan cita-cita masa mudanya.
Menurut Enny, mengajar tidak hanya bermanfaat dalam mengembangkan dirinya, namun juga bisa memberikan manfaat dan pembelajaran bagi para mahasiswa yang diajarnya. Mantan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) tersebut menuturkan, dengan mengajar, ia bisa menanamkan nilai-nilai yang kuat kepada para mahasiswanya.
Kecintaan yang sama juga Enny tunjukkan kepada ilmu hukum. Sedari menginjak bangku SMA, ia bertekad untuk menjadi seorang sarjana hukum. Wanita kelahiran 27 Juni 1962 ini pun sampai rela merantau dari Pangkal Pinang ke Yogyakarta guna menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM).
Enny merampungkan pendidikannya dan resmi menyandang gelar sebagai Sarjana Hukum pada 1981. Langkahnya tak berhenti sampai di situ, wanita yang memiliki motto bekerja keras, bekerja cerdas dan bekerja ikhlas ini, mengejar mimpinya sebagai pengajar atau dosen di almamaternya.
Tak hanya menjadi seorang pengajar, Enny pun terlibat aktif dalam organisasi yang terkait dengan ilmu hukum yang digelutinya, yaitu ilmu hukum tata negara. Sebut saja, Parliament Watch yang ia bentuk bersama-sama dengan Ketua MK periode 2008 – 2013 Mahfud MD pada 1998 silam.
Pembentukan Parliament Watch dilatarbelakangi oleh kebutuhan pengawasan terhadap parlemen sebagai regulator. “Pada masa reformasi itu, melalui diskusi-diskusi, kala itu kami merasa menang dibutuhkan organisasi yang berfungsi sebagai watch dog parlemen,” kisah Guru Besar Ilmu Hukum UGM tersebut.
Perjalanan karier Enny di dunia hukum semakin panjang dengan keterlibatannya dalam proses penataan regulasi baik di tingkat daerah hingga nasional. Keseriusan Enny mendalami penataan regulasi disebabkan ia merasa hal tersebut sangat diperlukan oleh Indonesia. Dari situ, ia pun kerap diminta menjadi narasumber hingga menjadi staf ahli terkait.
“Semuanya mengalir begitu saja tanpa ada desain apapun. Saya pun mendalami bidang ilmu hukum perundang-undangan dan konstitusi. Dari sana pula, awal mula yang mengantarkan saya sebagai Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional selama 4 tahun,” jelasnya, mengutip mkri.id.
Disinggung mengenai keterpilihannya sebagai Hakim Konstitusi, Enny menyebut bahwa tak pernah merencanakannya. Saat melihat peluang dibukanya posisi hakim konstitusi, ia tertarik untuk mengisi ruang perempuan dalam jajaran hakim konstitusi.
“Menarik juga jika saya bergabung dengan Mahkamah Konstitusi sebagai hakim konstitusi untuk mempraktikkan pengalaman-pengalaman terkait hukum konstitusi dan hukum perundang-undangan. Itu alasan saya untuk ikut mendaftar dalam seleksi hakim konstitusi,” kisahnya.
Enny pun menuturkan bahwa ia mendaftarkan diri sebagai calon hakim konstitusi pada detik terakhir atas dorongan dari kawan-kawan di kampus. “Waktu itu karena dibuka peluang untuk keterwakilan perempuan, banyak teman-teman yang mendorong saya mendaftar. Jadi, saya mencobanya,” ujar Enny.
Terpilih sebagai hakim konstitusi, istri R. Sumendro ini menyadari bahwa sebagai seorang hakim konstitusi mengandung arti bekerja dalam sunyi di tengah keramaian. Ia menyadari tugas hakim konstitusi untuk memutus sebuah perkara berada dalam posisi tegak lurus. Tegak lurus yang Enny maksudkan, yakni tidak boleh ada keberpihakan.
Hal ini yang menyebabkan ruang gerak seorang hakim konstitusi menjadi ‘sempit’ dalam kehidupan sosialnya.
“Apalagi jika di sekitar kita ini banyak orang yang mengajukan perkara ke MK, maka akan semakin sempit ruang geraknya. Apalagi, seorang hakim konstitusi itu tidak boleh berinteraksi dengan orang yang berperkara. Semakin banyak orang sekelilingnya yang berperkara di MK berarti mempersempit ruang hakim untuk banyak berhubungan,” lanjut Enny.
Jadi, “Hakim bekerja dalam ruang yang sunyi di tengah keramaian,” jelasnya ketika ditemui di ruang kerjanya usai persidangan.
Bagi Enny, ‘kesunyian’ itu juga diartikan bahwa seorang hakim konstitusi yang memutus perkara, maka ia akan ‘tenggelam’ untuk mempelajari perkara yang diperiksanya. Tapi, Enny menganggap hal iu bukanlah sebuah penderitaan yang harus dijalani seseorang yang menjabat sebagai hakim konstitusi.
“Menjadi hakim konstitusi itu ibaratnya saya berada dalam silent position. Hakim konstitusi adalah satu jabatan yang tidak banyak berbicara keluar dan cukup berbicara lewat putusan, maka ia tidak boleh terpengaruh dan dipengaruhi siapapun,” paparnya.
Sebelumnya, Enny yang menjabat Kepala BPHN berada di lingkup eksekutif yang menuntut adanya interaksi. Sementara kini, sebagai hakim konstitusi, Enny dituntut untuk menjadi sosok yang akrab dengan kesunyian. Ia berusaha untuk membatasi diri dalam berinteraksi. Hal itu dilakukannya demi menjaga integritasnya sebagai hakim konstitusi.
Enny tak memungkiri beban berat yang ditanggungnya sebagai hakim konstitusi yang harus pandai menempatkan diri agar terhindar dari konflik kepentingan. Tapi, ia sudah mempersiapkan diri untuk mengambil risiko tersebut ketika ia memutuskan untuk mengisi posisi sebagai hakim konstitusi.
Ibu satu putri ini bahkan sudah mempelajari dengan saksama The Bangalore Principles of Judicial Conduct yang mencantumkan enam prinsip yang menjadi pegangan bagi para hakim, yaitu prinsip independensi (independence), ketidakberpihakan (impartiality), integritas (integrity), kepantasan dan kesopanan (propriety), kesetaraan (equality), serta kecakapan dan kesaksamaan (competence and diligence).
“Ketika saya menyatakan untuk ikut mendaftar sebagai hakim konstitusi, saya sudah belajar do and don’t sebagai hakim konstitusi seperti yang tercantum dalam The Bangalore Principles of Judicial Conduct. Kemudian hal itu saya pahami dengan sungguh-sungguh karena sebagai seorang hakim bagaimanapun juga harus dihindari conflict of interest,” tegas penyuka olahraga renang ini.
Disinggung mengenai proses adaptasi sebagai hakim konstitusi, Enny menyebut dirinya banyak terbantu dengan justice officers yang dimiliki Mahkamah Konstitusi. Keberadaan mereka, menurut Enny, memudahkannya dalam memahami perkara yang sedang ditangani dan diperiksa.
“Ketika masuk pertama kali, saya langsung melakukan konsolidasi yang begitu intens dengan justice officers di sini. Saya pun bersama dengan panitera, peneliti dan sekretaris yustisial duduk bareng untuk memetakan perkara yang ditangani supaya saya mengejar ketertinggalan. Saya harus segera menyamakan ‘speed’-nya agar tidak tertinggal. Saya jadi banyak mendapat informasi baru terkait penguatan demokrasi dalam persidangan,” ujarnya.
Terkait visi dan misinya sebagai Hakim Konstitusi, Enny menyebut seorang hakim konstitusi harus memiliki visi dan misi yang sama dengan institusinya – dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi. Enny menyebut seorang hakim konstitusi harus mampu mengawal tegaknya konstitusi melalui peradilan konstitusi yang independen, imparsial, dan adil.
“Selain itu, hakim konstitusi harus menjaga kewibawaan peradilan konstitusi,” ujar perempuan yang hobi memasak ini.
Enny pun berharap MK akan menjadi lebih baik lagi ke depannya. Menurutnya, MK memiliki peran penting dalam menentukan arah pembangunan hukum di Indonesia melalui putusannya.
“Putusan MK dapat menentukan sejak seseorang masih dalam kandungan hingga meninggalnya seseorang. Misalnya putusan mengenai hukuman mati atau putusan mengenai anak di luar nikah. Itu artinya putusan MK sangat menentukan hak seseorang,” tandasnya.
Beban berat kini ada di pundak Enny dan 7 Hakim Konstitusi lainnya. Pada Senin, 22 April 2024, MK harus memutuskan sengketa PHPU Pilpres 2024 yang diajukan Paslon 01 Anies Baswedan dan 03 Ganjar Pranowo – Mahfud MD. Putusan memang ada di tangan Enny dan 7 sejawatnya. (*)
Iriani Pinontoan