Pengawal Konstitusi: Guntur Hamzah, Hakim Pembaca Putusan 90 Gibran

GUNTUR Hamzah bersama Manahan Sitompul adalah Hakim Konstitusi yang membacakan hasil Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang akhirnya memberi karpet untuk Gibran Rakabuming Raka menjadi Cawapres bagi Capres Prabowo Subianto.

Anwar Usman yang ketika itu menjabat Ketua MK hanya mengetuk palu, dan menyatakan bahwa gugatan pemohon dibabulkan sebagian. Kalau mau jujur, dari sinilah sumber masalah hukum yang sebenarnya.

Dalam film dokumenter Dirty Vote, di salah satu sesi dijelaskan bagaimana konsistensinya salah satu hakim MK Guntur Hamzah yang menyetujui semua gugatan mengenai batas usia capres-cawapres.

Gugatan dari PSI, Partai Garuda, beberapa kepala daerah, hingga yang terakhir gugatan Almas Tsaqibbirru seluruhnya disetujui hakim Guntur Hamzah. “Ini menjadi tanda tanya bagi Feri Amsari, Zainal Arifin Mochtar dan Bivitri Susanti yang menjadi lakon penyampai data-data di film itu,” sebut Tempo.co.

MK menolak gugatan penurunan batas minimal usia capres cawapres yang tadinya 40 tahun menjadi 35 tahun. "Memutuskan, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusannya, Senin, 16 Oktober 2023.

Gugatan dengan Nomor 29/PUU-XXI/2023 tersebut sebelumnya digugat oleh para pemohon di antaranya Partai Solidaritas Indonesia (Pemohon I), Anthony Winza Probowo (Pemohon II), Danik Eka Rahmaningtyas (Pemohon III), Dedek Prayudi (Pemohon IV), dan Mikhail Gorbachev (Pemohon V).

Gugatan tersebut adalah penelitian materiil dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, khususnya terkait Pasal 169 huruf q, yang mengatur batas usia minimal calon wakil presiden (cawapres) adalah 40 tahun. Para pemohon dalam gugatan tersebut meminta agar batas usia calon presiden dan cawapres diturunkan dari 40 tahun menjadi 35 tahun.

Anwar menyebutkan MK menarik kesimpulan bahwa gugatan yang diajukan oleh PSI tersebut tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Pasal 169 huruf (q) UU Pemilu tidak melanggar hak atas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan.

Namun, Guntur Hamzah menyatakan, “Dengan argumentasi menghentikan praktik penentuan batas usia yang berubah-ubah tanpa ukuran konstitusional yang jelas dalam menentukan usia yang tepat untuk menjadi capres-cawapres."

Guntur Hamzah menambahkan, pembatasan usia capres dan cawapres di Indonesia saat ini belum diatur dalam konstitusi UUD 1945, melainkan berada di wilayah kebijakan hukum, yakni Undang-undang.

Empat hakim konstitusi tak sejalan dengan Putusan MK 90 Tahun 2023 yang melonggarkan syarat usia minimum capres-cawapres (40 tahun) pada Senin (16/10/2023).

Empat hakim menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) terkait putusan ini. Mereka adalah Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Arief Hidayat. Sementara itu, dua hakim konstitusi lainnya menyampaikan concurring opinion (alasan berbeda) untuk putusan yang sama, yakni Daniel Foekh dan Enny Nurbaningsih.

Dengan ini, maka syarat usia 40 tahun untuk mencalonkan diri sebagai capres-cawapres bukan syarat mutlak, karena berlaku syarat alternatif berupa pengalaman pernah menjadi pejabat hasil pemilu, baik itu pilkada maupun pileg.

"Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai 'berusia 40 tahun, atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah'," kata Anwar Usman membacakan amar putusannya.

Hal itu disampaikan dalam pembacaan amar putusan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 di Gedung MK, Jakarta, Senin (16/10/2023). Ketua MK Anwar Usman mengabulkan permohonan pemohon bernama Almas Tsaqibbirru Re A untuk sebagian.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," ucap Ketua MK Anwar Usman dalam sidang putusan.

Menurut Anwar, permohonan yang diajukan Almas beralasan menurut hukum untuk sebagian. Oleh sebab itu, MK menyatakan Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI 1945.

Maka dari itu, kata Anwar, MK mengubah isi Pasal 169 huruf (q) UU 7/2017 menjadi, "berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk kepala daerah."

Dua Hakim Konstitusi yang semula memberi concurring opinion (alasan berbeda) untuk putusan yang sama, Daniel Foekh dan Enny Nurbaningsih, pada akhirnya sependapat dengan tiga Hakim Konstitusi yang mengabulkan sebagian: Manahan Sitompul, Guntur Hamzah, dan Anwar Usman.

Syarat usia 40 tahun untuk mencalonkan diri sebagai capres-cawapres bukan syarat mutlak, karena berlaku syarat alternatif berupa pengalaman pernah menjadi pejabat hasil pemilu, baik itu pilkada maupun pileg.

Menurut Anwar, permohonan yang diajukan Almas beralasan menurut hukum untuk sebagian. Oleh sebab itu, MK menyatakan Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI 1945.

Maka dari itu, kata Anwar, MK mengubah isi Pasal 169 huruf (q) UU 7/2017 menjadi, "berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk kepala daerah."

Dua Hakim Konstitusi yang semula memberi concurring opinion (alasan berbeda) untuk putusan yang sama, Daniel Foekh dan Enny Nurbaningsih, pada akhirnya sependapat dengan tiga Hakim Konstitusi yang mengabulkan sebagian: Manahan Sitompul, Guntur Hamzah, dan Anwar Usman.

Muhammad Guntur Hamzah dilantik Presiden Joko Widodo sebagai Hakim Konstitusi pada Rabu (23/11/2022) menggantikan Aswanto. Sebelumnya ia menjabat Sekretaris Jenderal (Sekjen) MK.

Pergantian Hakim Konstitusi ini dilakukan setelah adanya keputusan Rapat Paripurna DPR RI di Jakarta, Kamis (29/9/2022). DPR RI memutuskan tidak memperpanjang masa jabatan Aswanto sebagai Hakim Konstitusi usulan DPR dalam Rapat Paripurna Ke-7 Masa Sidang I Tahun 2022-2023.

"Keputusan Komisi III DPR RI itu adalah sebagai berikut; tidak akan memperpanjang masa jabatan Hakim Konstitusi yang berasal dari usulan lembaga DPR atas nama Aswanto dan menunjuk Guntur Hamzah sebagai Hakim Konstitusi yang berasal dari DPR," kata Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad dalam sidang di DPR, Senayan, Jakarta saat itu.

Guntur Hamzah merupakan pria yang lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 8 Januari 1965. Ia menempuh pendidikan SD di Kota Makassar dan lulus pada 1976. Sekjen MK itu melanjutkan pendidikannya ke SMP Irnas, Makassar tahun 1980. Kemudian, ia lulus SMA Negeri 1 Makassar pada 1983.

Pengganti Aswanto ini juga mengenyam pendidikan sarjana hukum di Fakultas Hukum, Jurusan Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Hasanuddin, Makassar dan lulus tahun 1988. Kemudian Guntur melanjutkan pendidikan magister hukum di program studi Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Padjadjaran, Bandung pada 1995.

Tak hanya itu, Guntur juga lulus program doktor Ilmu Hukum dari Universitas Airlangga, Surabaya dengan predikat/yudisium "Cum Laude" pada 2002. Guntur pernah menduduki jabatan akademik Guru Besar di bidang Hukum Administrasi Negara dan Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Unhas sejak Februari 2006.

Ia juga pernah menjabat tugas-tugas akademik seperti Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara (HAN) Fakultas Hukum Unhas, Sekretaris Program Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Unhas dan Ketua Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Unhas, dan Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Unhas.

Selain itu, Guntur pernah bertugas sebagai Legislative Drafter pada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 2003 dan menjadi anggota Tim Ahli Unit Pengelola Reformasi Birokrasi Nasional (UPRBN) tahun 2010.

Guntur menjabat sebagai Tenaga Ahli pada Direktorat Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2011-2012. Ia juga pernah menjabat sebagai Kepala Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi (MK).

Kemudian, Guntur menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian, Pengkajian Perkara, dan Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi dan menjabat sebagai Sekjen MK pada 2015. Dan, kini Guntur Hamzah menjadi Hakim Konstitusi, sebuah jabatan yang Sangat Mulia di mata masyarakat.

Di luar tugas sehari-hari sebagai Hakim Konstitusi, Guntur Hamzah diberi amanah sebagai Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) masa bakti 2021-2025 berdasarkan hasil Musyawarah Nasional VI yang diselenggarakan di Samarinda pada 3-4 Februari 2021.

Terkait dengan sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 yang akan diputus pada Senin, 22 April 2024, semoga Guntur Hamzah berubah pikiran untuk sama-sama Suhartoyo, Saldi Isra, dan Arief Hidayat memutus sesuai fakta persidangan dan jujur.

Ingat, Guntur Hamzah punya catatan buram di MK. Ia pernah terlibat dalam skandal pengubahan frasa pada risalah Putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022. Setelah empat bulan lebih, skandal ini akhirnya menemui titik terangnya.

Secara jelas dan terang benderang, aktor lancung di balik pelanggaran yang sangat memalukan dan melawan sumpah jabatan tersebut adalah Hakim Konstitusi Guntur Hamzah.

Terungkap oleh Majelis Kehormatan MK (MKMK) melalui putusan Nomor 01/MKMK/T/02/2023, Guntur terbukti telah melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, khususnya pada bagian penerapan prinsip integritas.

Koalisi Masyarakat Sipil Penyelamat Kemerdekaan Peradilan menyayangkan putusan MKMK itu karena tidak memberhentikan dan hanya memberikan teguran tertulis kepada Guntur yang telah terbukti melanggar etik. Inilah saatnya Guntur Hamzah memperbaiki dirinya. (*)

Mochamad Toha