Pengawal Konstitusi: Daniel Yusmic, Memberi Alasan Berbeda untuk Putusan Nomor 90 Gibran

DANIEL Yusmic P. Foekh dan Enny Nurbaningsih, adalah dua Hakim Konstitusi yang memberikan concurring opinion (alasan berbeda) untuk putusan yang sama, yakni Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang memberi karpet merah kepada Gibran Rakabuming Raka sehingga bisa mendaftar ke KPU dan menjadi Cawapres 02 bersama Capres Prabowo Subianto.

Andai saat putusan pada Senin (16/10/2023), dua Hakim Konstitusi itu bersama empat sejawatnya di MK menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) terkait putusan ini, maka bisa dipastikan Gibran gagal maju Pilpres 2024. Yakni Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Arief Hidayat.

Empat Hakim Konstitusi di atas menyatakan dissenting opinion terhadap Putusan 90 tersebut yang saat itu diketok oleh Anwar Usman, Ketua MK yang juga Adik Ipar Presiden Joko Widodo. Kisruh Pilpres 2024 sekarang ini bersumber dari Putusan 90 itu.

Dalam cuitannya, Guru Besar Hukum Tata Negara, Senior Partner Integrity Law Firm, Registered Lawyer di Indonesia dan Australia Prof. Denny Indrayana @dennyindrayana (Rabu 1.46 PM · 27 Mar 2024) memprediksi, ada potensi permohonan Paslon 01 dan 03 dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

“Prediksi itu dilandaskan bukan hanya pada argumentasi di dalam posita Permohonan dan alat-alat bukti yang diajukan Tim Hukum Paslon 01 dan 03, tetapi lebih jauh setelah mencermati komposisi Majelis Hakim MK yang menyidangkan sengketa Pilpres 2024 ini,” tulisnya dalam akun X (Twiter).

Menurutnya, dengan majelis yang hanya 8 (delapan) orang, tanpa Hakim Konstitusi Anwar Usman, maka dibutuhkan minimal 4 (empat) hakim saja, dengan Ketua MK Suhartoyo berada pada posisi mengabulkan, untuk putusan diskualifikasi Paslon 02, menjadi mungkin terjadi.

“Apakah prediksi itu menjadi kenyataan? Kita lihat saat putusan dibacakan beberapa hari ke depan,” tegas mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM itu.

Ada baiknya kita menengok ke belakang terlebih dulu bagaimana munculnya Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menjadi sumber masalah hukum yang sebenarnya. Bagaimana seorang Gibran yang belum “cukup umur” dengan putusan yang ketika itu diketuai Paman Anwar Usman memberikan karpet merah sehingga bisa ikut kontestasi Pilpres 2024.

Selama sidang pembacaan putusan, pertimbangan MK hanya dibacakan oleh 2 hakim konstitusi, yaitu Manahan Sitompul dan Guntur Hamzah. Ketua MK Anwar Usman hanya mengetuk palu, dan menyatakan bahwa gugatan pemohon dikabulkan sebagian.

Dengan ini, maka syarat usia 40 tahun untuk mencalonkan diri sebagai capres-cawapres bukan syarat mutlak, karena berlaku syarat alternatif berupa pengalaman pernah menjadi pejabat hasil pemilu, baik itu pilkada maupun pileg.

"Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai 'berusia 40 tahun, atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah'," kata Anwar Usman membacakan amar putusannya.

Hal itu disampaikan dalam pembacaan amar putusan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 di MK, Jakarta, Senin (16/10/2023). Ketua MK Anwar Usman mengabulkan permohonan pemohon bernama Almas Tsaqibbirru Re A untuk sebagian.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," ucap Ketua MK Anwar Usman dalam sidang putusan.

Menurut Anwar, permohonan yang diajukan Almas beralasan menurut hukum untuk sebagian. Oleh sebab itu, MK menyatakan Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI 1945.

Maka dari itu, kata Anwar, MK mengubah isi Pasal 169 huruf (q) UU 7/2017 menjadi, "berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk kepala daerah".

Dua Hakim Konstitusi yang semula memberi concurring opinion (alasan berbeda) untuk putusan yang sama, Daniel Usmic P. Foekh dan Enny Nurbaningsih, pada akhirnya sependapat dengan 3 Hakim Konstitusi yang mengabulkan sebagian: Manahan Sitompul, Guntur Hamzah, dan Anwar Usman.

Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyampaikan alasan berbeda dalam putusan itu. Dia mengatakan usia pada jabatan publik merupakan kebutuhan objektif.

Jadi, menurut dia, ada kemungkinan batas usia minimum bagi keikutsertaan warga negara dalam jabatan dapat diubah sewaktu-waktu oleh undang-undang.

"Berkenaan dengan batas usia kepala daerah tersebut, Mahkamah Konstitusi pada pokoknya telah menegaskan bahwa penentuan usia yang berbeda-beda merupakan kebutuhan objektif bagi jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah karena kebutuhan dan ukuran yang menjadi tuntutannya pun berbeda-beda," kata Daniel.

"Sehingga mungkin saja batas usia minimum bagi keikutsertaan warga negara dalam jabatan atau kegiatan pemerintahan itu diubah sewaktu-waktu oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan," sambung Daniel.

Nama lengkapnya Daniel Yusmic Pancastaki Foekh. Ia dilantik Presiden Jokowi menggantikan I Dewa Gede Palguna yang telah menyelesaikan masa tugasnya pada 7 Januari 2020. Ia menjadi putra pertama Nusa Tenggara Timur yang menjabat sebagai hakim konstitusi sejak MK berdiri.

Lahir di Kupang, NTT pada 15 Desember 1964, Daniel merupakan putra ke-5 dari tujuh bersaudara. Ia lahir dari pasangan Esau Foekh dan Yohana Foekh-Mozes. Ketika Daniel menamatkan SD GMIT 2 di Kabupaten Kefamenanu, ia mendapat nilai pas-pasan.

Idealisme sang ayah yang mengharuskan setiap anaknya memperoleh nilai yang bagus, membuat Daniel harus mengulang kembali kelas VI SD Inpres Oetete II Kupang. Hal ini menyebabkan Daniel mengulang kembali kelas VI SD bersama dengan adiknya. Karena itulah, Daniel memiliki dua ijazah SD.

Dibesarkan dari keluarga pendidik tidak serta-merta membuat sosok Daniel memiliki cita-cita sebagai pendidik. Ia justru memiliki cita-cita sebagai hakim. Tetapi, cita-citanya tersebut tidak didukung oleh sang ayah.

Ayahnya menghendaki ia meneruskan pekerjaan sebagai pendidik. “Bapak saya seorang pendidik, berstatus PNS. Bapak saya mengawali karier sebagai guru sekolah dasar (SD), kepala sekolah, penilik sekolah hingga terakhir pensiun dari Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Provinsi NTT,” kisahnya.

Menurut Daniel, kala itu di NTT, salah satu jabatan yang dihormati masyarakat sebagai pendidik (guru), selain Pendeta dan Pastor. Oleh karena itu, ayahnya berharap besar Daniel bisa menjadi seorang pendidik.

Tetapi, ia melihat kehidupan ayahnya yang sangat sederhana sehingga muncul di pikirannya untuk tidak hidup menjadi pendidik seperti ayahnya. “Saya baru mengerti mengapa kehidupan Bapak sangat sederhana. Beliau harus menghidupi tujuh orang anak. Apalagi menjadi pendidik PNS yang jujur di Kupang, tidak memungkinkan ada pemasukan lain selain gaji,” ujarnya

Kemudian, ketika ayahnya menjadi penilik sekolah di Pulau Rote (saat ini kabupaten Rote-Ndao), ia pun terinspirasi mengambil fakultas hukum dari saudara yang menjadi pokrol bambu (seorang pengacara praktik yang tidak memiliki izin resmi, red.) yang biasa beracara di PN Rote. Dari situ kecintaannya terhadap dunia hukum mulai tumbuh.

Meski sang ayah menentang cita-cita tersebut, Daniel tak patah arang dalam mengejar mimpinya. Usai lulus dari SMA Negeri 1 Kupang, ia mendaftar mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (Sipenmaru) pada 1985, dengan pilihan pertama di Fakultas Hukum Universitas Negeri Nusa Cendana (Undana) Kupang dan pilihan kedua juga di Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar.

“Saya ingat ayah sempat mengancam jika saya tetap mengambil fakultas hukum, maka beliau tidak akan membiayai kuliah saya. Namun setelah pengumuman resmi saya diterima sebagai mahasiswa FH Undana, ayah tetap membayar registrasi, dengan berpesan, selama kuliah tidak boleh menikah,” kenangnya.

Daniel pun resmi menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana (UNDANA). Sebelumnya, ia ingin mengambil jurusan hukum perdata. Menurutnya, ada anggapan lulusan jurusan hukum perdata lebih mudah mendapatkan pekerjaan dari pada jurusan yang lain.

Tetapi, ketika Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara terbit, ia beserta dua rekannya (Mohammad Said dan Renhard Udjululu) memilih jurusan hukum tata negara. “Jadi, pada waktu itu, niat awalnya mengambil jurusan hukum perdata. Lalu, pindah ke hukum tata negara karena terinspirasi UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang peradilan TUN,” ujar ayah tiga anak ini berkisah.

Menurut Daniel, kala itu Fakultas Hukum di UNDANA memiliki 4 jurusan, yakni hukum perdata, hukum pidana, hukum Internasional dan Hukum Tata Negara (HTN). Namun jurusan HTN sedikit peminatnya. Sejak berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN, ia dan dua temannya mendaftar ke jurusan HTN.

“UU itu yang memotivasi. Kami bertiga pun beralih ke jurusan HTN. Kami saling mengisikan formulir satu sama lainnya agar tidak ada yang saling mendustai. Kini kedua teman saya itu menjadi sudah PNS/ASN (Mohammad Said. SH menjadi PNS BKKBN di Maros Sulsel dan Renhard Udjululu, SH di Lapas Anak Kota Kupang). Saya suka berkelakar dengan mereka, jika kalian menjadi PNS, maka saya ingin menjadi pejabat negara,” kenang suami dari Sumiaty ini.

Siapa sangka kelakar itu menjadi doa yang terkabul. Tiga puluh tahun setelahnya, Daniel resmi dilantik Presiden Jokowi sebagai hakim konstitusi menggantikan I Dewa Gede Palguna yang memasuki purnatugas.

Perjalanan hidup Daniel tidak bisa dipisahkan dari dunia aktivis. Ia tercatat aktif dalam Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Kupang sejak terdaftar menjadi mahasiswa pada 1985. Usai lulus dari UNDANA (1990), ia mengungkapkan niatnya untuk mengikuti tes wartawan profesional pada 1991 di Yogyakarta. Sayangnya, ia tidak lolos dalam tes tersebut.

Karena tidak diterima menjadi wartawan profesional, ia pun memilih merantau ke Jakarta berbekal tabungan dari sisihan uang beasiswa yang diterimanya ketika kuliah di Undana Kupang dan uang tambahan dari orang tua.

Sehari setelah tiba di Jakarta, ia mengikuti pelatihan editor dan komunikasi selama 7 bulan dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh Yayasan Komunikasi Bina Kasih (YKBK). Tak hanya itu, ia juga mengikuti kursus pajak brevet A dan brevet B pada tahun yang sama. Berbekal kemampuannya tersebut, ia pun diterima menjadi karyawan di PT Data Search Indonesia.

Dua tahun kemudian (1993), ia memilih untuk mengundurkan diri karena ditugaskan oleh Pengurus Pusat GMKI mengikuti Penataran P4 Pola 120 jam (selama satu bulan). Daniel berhasil masuk 17 terbaik. Karena prestasi itu, Daniel kemudian ditugaskan lagi mengikuti Penataran Kewaspadaan Tingkat Nasional dan berhasil masuk 10 terbaik.

Pada tahun yang sama, Kementerian Pemuda dan Olahraga bekerja sama dengan Kementerian Pertahanan dan Keamanan menyelenggarakan pendidikan Kader Kesadaran Bela Negara, dengan persyaratan harus pernah mengikuti Tarpadnas.

“PP GMKI akhirnya menugaskan saya kembali mengikuti Penataran Peningkatan Kesadaran Bela Negara. Pengalaman pendidikan tersebut, mulai membuka wawasan kebangsaan, sehingga Daniel mulai mencintai Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tinggal Ika,” jelasnya.

Pada Kongres GMKI di Pekanbaru, Riau pada 1994, Daniel dipercayakan menjadi Wakil Sekretaris Umum (Wasekum) Pengurus Pusat GMKI dan Kongres GMKI di Ambon Tahun 1996 terpilih menjadi Ketua Bidang Aksi dan Pelayanan (Kabid AP).

Di sela kegiatannya sebagai aktivis, Daniel memiliki kerinduan untuk melanjutkan studi S2 sejak tamat S1 pada 1990. Barulah pada 1995, Daniel mengikuti seleksi Strata 2 Ilmu Hukum di Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan ia pun lolos seleksi dengan konsentrasi hukum kenegaraan (HTN).

Pada 1997, mulai terjadi krisis moneter dunia, yang juga terjadi krisis kepercayaan pada Pemerintah khususnya Presiden Soeharto. Sebagai ketua bidang AP, Daniel terlibat dalam berbagai kegiatan ekstra kampus bersama Kelompok Cipayung dan Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia (FKPI) yang terdiri dari Kelompok Cipayung (minus HMI) plus.

Dalam situasi tersebut, Daniel harus membagi waktu mengurus organisasi dan fokus menyelesaikan Pendidikan S2 di Universitas Indonesia serta persiapan pernikahan tanggal 5 Juni 1998 di Palangka Raya.

“Saya masih ingat betul Pak Harto kala itu lengser pada 21 Mei 1998. Sementara sidang tesis saya dijadwalkan tanggal 29 Mei 1998, kala itu, Prof. Jimly (Jimly Asshiddiqie) yang menjadi pembimbing saya meduduki jabatan Asisten Kesra Wakil Presiden. Setelah Pak Harto lengser, Prof BJ Habibie diangkat sumpah sebagai Presiden,” ujarnya.

“Waktu itu, saya sempat khawatir karena delapan hari kemudian saya harus ujian Tesis, apakah Prof Jimly bisa hadir atau tidak. Puji syukur Prof Jimly hadir (meninggalkan tugas negara) bersama penguji lainnya. Setelah ujian dan dinyatakan lulus, pada saat itu juga saya memberikan undangan pernikahan kepada seluruh penguji,” ujarnya.

Sebelum diangkat menjadi Hakim Konstitusi, Daniel pernah menjadi dosen honorer di Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia dan dosen tetap di Fakultas Hukum Unika Atma Jaya dengan jabatan fungsional sebagai Asisten Ahli. Selama menjadi dosen di Unika Atma Jaya, beliau pernah dipercaya sebagai Wakil Dekan Fakultas Hukum. (*)