Pengawal Konstitusi: Asrul Sani Berkomitmen Jaga Independensi MK
KALKULASI politiknya matang. Oleh karena itu, ia pun tidak menolak ketika diajukan dan dipilih Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Padahal, ia masih menduduki kursi empuk sebagai Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Ya, itulah Asrul Sani, politisi yang resmi menjadi Hakim Konstitusi sejak 18 Januari 2024 lalu. Ia mengucapkan sumpah jabatan di hadapan Presiden Joko Widodo, di Istana Negara, Jakarta. Asrul Sani menjadi hakim konstitusi menggantikan Wahyuddin Adam yang memasuki pensiun karena usia 70 tahun.
Ketika diajukan, tentu tidak menolak, karena menjabat sebagai Wakil Ketua MPR, tinggal beberapa bulan lagi (Oktober 2024 berakhir). Apalagi, partai yang membesarkannya tidak lolos ke Senayan. Menjadi Hakim Konstitusi bisa lama sampai pensiun pada usia 70 tahun.
Saat diambil sumpahnya, usia pria yang bercita-cita jadi diplomat itu baru sekitar 60 tahun. Ia lahir di Pekalongan, Jawa Tengah pada 10 Januari 1964, dan 8 setelah ulang tahunnya memperoleh kado menjadi hakim MK.
Waw! Jika umurnya panjang dan tidak adalah masalah hukum yang dihadapinya, Asrul Sani masih menikmati waktu 10 tahun lagi sebagai hakim MK yang berkantor di Jalan Medan Merdeka Barat, Kawasan Monas, Jakarta Pusat itu.
Ia bisa menjabat dua kali Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden (Pemilu dan Pilpres) lagi jika tidak di-Aswanto-kan oleh DPR. Aswanto adalah hakim konstitusi yang diajukan dan dipilih DPR, dan kemudian dicopot karena dianggap bermasalah alias tidak loyal kepada dewan.
Tidak lama setelah menjadi hakim konstitusi, Asrul yang sering membela rakyat yang terzalimi di masa Orde Baru pun turut menyidangkan sengketa Pilpres 2024. Pasangan urut nomor 01 Anies Rasyid Baswedan – Muhaimin Iskandar (AMIN) dan nomor urut 03 Ganjar Pranowo – Mahfud MD mengajukan gugatan ke MK atas putusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang memenangkan pasangan urut nomor 02, Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka.
Mereka menggugat karena kemenangan itu diduga penuh dengan kecurangan dan rekayasa, baik pada saat proses maupun waktu pesta demokrasi lima tahunan itu dilaksanakan.
Akankah Asrul Sani punya nyali menegakkan amanat yang diembannya di MK? Apakah ia masih memiliki hati nurani melihat secara kasat mata kemenangan itu terjadi karena cawe-cawe Jokowi? Juga Gibran bisa jadi Calon Wakil Presiden (Cawapres) berkat bantuan pamannya yang terbukti melakukan pelanggaran etik berat sehingga dicopot dari jabatannya sebagai Ketua MK.
Sebagai politisi yang dibesarkan partai berbasis Islam (pernah di PKS atau Partai Keadilan Sejahtera) dan kemudian PPP dengan jabatan terakhir sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) apakah ia tetap memiliki komitmen menegakkan dan menyuarakan keadilan, seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh senior di bidang hukum dan HAM (Hak Asasi Manusia) yang menjadi idolanya, antara lain Adnan Buyung Nasution, Yap Thiam Hien, HJC Princen, Suardi Tasrif dan lainnya?
Apakah Asrul berkomitmen membongkar kecurangan Pilpres 2024 bersama hakim konstitusi lainnya? Apa ia akan tetap memegang teguh sumpah sewaktu dilantik? Atau sumpah itu dianggap atau dijadikan sampah sehingga tidak peduli lagi kezaliman yang dirasakan rakyat?
"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban hakim konstitusi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta berbakti kepada nusa dan bangsa,” ujar Arsul membacakan sumpah dengan kitab suci Al-Qur'an di atas kepalanya.
Sumpah jabatan jangan sekedar diucapkan, tetapi harus benar-benar dilaksanakan. Jika hanya sekedar diucapkan, ingatlah saat disumpah di atas kepala Anda diletakkan kitab suci Al-Qur'an. Pelanggaran terhadap sumpah bisa berakibat kepada diri sendiri dan keluarga.
Bahkan, pelanggaran terhadap sumpah yang Anda ucapkan itu bisa berimbas kepada kehidupan berbangsa dan bernegara.
Asrul Sani menjadi salah satu tumpuan harapan keadilan dari pasangan urut nomor 01 dan 03. Apalagi, ia adalah seorang yang bercita-cita sederhana tapi berat, yaitu menjadi “khairunnas anfaauhum linnas (sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya)”.
Jaga Independensi MK
Komitmennya membela yang merasa terzalimi sangat dinantikan. Apalagi seusai dilantik di Istana Negara, ia menegaskan komitmennya menjaga independensi dan imparsialitas dalam menjalankan tugasnya sebagai hakim MK.
"Tentu tidak sekedar nanti hanya disampaikan, tetapi harus dibuktikan dalam kerja-kerja proses mengadili perkara-perkara yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi bahwa independensi dan imparsialitas itu tidak ada pilihan lain, kecuali harus dipegang erat, dengan kuat," kata Asrul kepada wartawan sesusai pelantikan di Istana Negara, Jakarta, Kamis, 18 Januari 2024.
Mengutip laman MK, inilah sepak terjang suami dari Sukma Violetta dan ayah dari tiga orang anak itu:
Arsul lahir di Pekalongan, pada 8 Januari 1964. Memulai pendidikannya di SD Muhammadiyah Pekajangan dan Madrasah Diniyah NU Panggung, Kedungwuni, Kabupaten. Pekalongan. Merantau ke Jakarta ketika mulai kuliah di Fakultas Hukum, Universitas Indonesia (FH-UI) pada 1982, dan menyelesaikan S-1 pada awal 1987.
Ia memulai karirnya di bidang hukum dengan menjadi asisten pembela umum sukarela (volunteer lawyer) di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta pada tahun 1986-1988.
Jenjang pendidikan dan pengalaman kerjanya cukup beragam setelah itu. Ia menempuh graduate diploma on Advance Comparative Law – the Common Law di University of Technology Sydney (UTS) sambil bekerja sebagai visiting lawyer di Dunhil, Madden, Butler, sebuah law firm besar di Sydney, Australia, pada 1993-1994.
Arsul kemudian mendapat kesempatan belajar tentang Industrial Property Management di Japan Institute of Invention (JII), Tokyo, pada 1997, dengan beasiswa AOTS-Japan dan menyelesaikan graduate certificate dari University of Cambridge, UK, untuk subyek Managing the Information, tahun 2006.
Selanjutnya, ia lulus program magister corporate communication di London School of Public Relations (LSPR), Jakarta pada 2007. Arsul juga lulusan fellowshiparbitration courses, UK, 2009 dan pernah menjadi member of Chartered Institute of Arbitrators (CIArb) London - UK dan Singapore Institute of Arbitrators (SIArb) serta anggota International Bar Association (IBA).
Pendidikan doktoral bidang justice, policy and welfare studies dimulainya di Glasgow Caledonian University (GCU), Scotland pada 2011, namun memilih exit karena kepadatan tugas-tugasnya sebagai anggota DPR RI sejak Oktober 2014 tidak memungkinkannya menyelesaikan disertasi doktoralnya dalam rentang waktu yang tersedia.
Ia mendapat gelar S-2 yang kedua dari GCU. Pada akhir 2019, ia melanjutkan studi doktoral-nya di Collegium Humanum, Warsawa Management University, Polandia, yang diselesaikannya pada 2022. Sebelum menjadi anggota DPR RI hasil Pemilu 2014, Arsul Sani adalah seorang praktisi hukum korporasi, arbiter dan eksekutif di sebuah perusahaan PMA multinasional.
Pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid, Arsul menjadi anggota tim pengacara Pemerintah RI di bawah Almarhum Dr. Adnan Buyung Nasution, SH dalam menghadapi sejumlah gugatan arbitrase internasional terhadap Pemerintah RI di Jakarta, Washington D.C. dan Den Haag terkait penghentian beberapa proyek listrik swasta.
Arsul juga pernah aktif di berbagai organisasi kemasyarakatan dan profesi, antara lain dengan menjadi: Ketua Bidang Konsultasi Hukum, LPBH-PBNU pada masa kepemimpinan Almarhum KH Hasyim Muzadi, 2005-2010; Chairman (Ketua Umum) Indonesian Corporate Counsel Assciation (ICCA) pada 2006-2008;
Ketua Bidang Luar Negeri, Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) (2007-2013); Wakil Ketua Dewan Penasehat DPN Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) (2020-2023); Dewan Pembina Perkumpulan Ahli Dewan Sengketa Konstruksi (PADSK) (2021-2023) dan perkumpulan Lingkaran Masyarakat Professional Nahdhiyin (NU-Circle) (2012-2023).
Sejumlah penghargaan (award) diterima Arsul selama bertugas sebagai anggota DPR RI tahun 2014-2023, antara lain dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI, Kordinatorat Wartawan Parlemen (KWP) DPR/MPR/DPD RI, Moslem’s Choice;
Badan Musyawarah Antar Gereja – Lembaga Keagamaan Kristen Indonesia (Bamag LKKI), Indonesian Diaspora Networks (IDN) - Global, Obsession Media Group (OMG). Pada 2023. ia memperoleh bintang Darma Pertahanan Utama dari Kementerian Pertahanan RI.
Arsul mengakui bahwa menjadi hakim konstitusi dan juga menjadi politisi serta anggota DPR RI itu sebenarnya tidak ada dalam disain awal hidupnya,
“Cita-cita saya ketika masuk FH-UI itu kepingin jadi diplomat,” kenangnya. Hanya ketika masa kuliah itu ia sering menyaksikan langsung persidangan perkara pidana subversi yang didakwakan kepada sejumlah tokoh, antara lain mantan Menteri Perindustrian, Tekstil dan Rakyat, HM Sanusi; aktivis dan politisi AM Fatwa dan mantan Panglima Daerah Militer (Pangdam)/Sekjen ASEAN pertama, HR Darsono.
Sebagai mahasiswa, Asrul turut serta merasakan bagaimana penguasa Orde Baru menggunakan instrumen hukum dan lembaga penegakan hukum untuk bertindak opresif atau tiranis/menindas dan sewenang-wenang terhadap mereka yang berseberangan secara politik dengan menggunakan UU Subversi yang berlaku waktu itu, termasuk terhadap orang-orang yang dituduh terlibat dalam kasus Tanjung Priok pada awal 1980-an.
“Di masa ini saya berkenalan dengan para pendekar hukum dan HAM yang saya kagumi seperti Adnan Buyung Nasution, Yap Thiam Hien, HJC Princen, Suardi Tasrif dan lainnya. Pada masa inilah idealisme sebagai orang hukum mulai terbentuk,” ujar Arsul.
Ia mengenang rasa bangganya ketika diajak Bang Buyung supaya ikut sidang-sidang perkara pidana HR Darsono, mantan Pangdam Siliwangi. “Di hari sidang, saya pagi-pagi datang ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, menunggu Bang Buyung datang dan bahagianya luar biasa setiap diajak ke ruang sidang di lantai 2 PN Jakarta Pusat," ucapnya.
Setelah perkara pidana subversi tersebut diputus, ia kemudian sering datang ke LBH Jakarta sebagai wartawan Majalah Hukum & Pembangunan FHUI (Fakultas Hukum Universitas Indonesia). Di tempat itu, ia bertemu dengan para senior LBH Jakarta yang turut membentuk idealisme-nya di bidang hukum dan penegakan hukum.
“Saya banyak belajar dari para senior LBH seperti Todung Mulya Lubis, Mas Achmad Santosa, Luhut MP Pangaribuan, A. Hakim Garuda Nusantara tentang pembelaan terhadap masyarakat yang terzalimi keadilan hukumnya, saya belajar menjadi public interest lawyer,” ujar Arsul.
“Cita-cita menjadi diplomat berubah setelah saya berkenalan dengan Bang Buyung Nasution dan para tokoh LBH tersebut. Saya pengin menjadi praktisi hukum saja yang bisa membela hak dan kepentingan hukum masyarakat di bawah,” kata Arsul.
Di LBH Jakarta-lah Arsul memulai perjalanan hidupnya sebagai seorang praktisi hukum dan ia berhenti total ketika terpilih sebagai anggota DPR RI hasil Pemilu 2014.
Kebiasaan menulis Arsul telah membuahkan 3 (tiga) buah buku tentang hukum, penegakan hukum serta relasi Islam dengan negara ditambah sejumlah artikel yang daftarnya dapat dilihat pada bagian Buku dan Artikel dalam profil hakim konstitusi ini. (*)
Mangarahon Dongoran