Pengawal Konstitusi: Arief Hidayat, Keganjilan Perkara 90 dan 91 Ditarik Tetapi Tetap Dilanjutkan

HAKIM Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat menjadi salah satu hakim yang turut mengambil keputusan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim terkait batas usia capres-cawapres minimal 35 tahun dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

Seperti diketahui, pada Senin (16/10/2023), MK membacakan putusan terkait batas usia capres-cawapres tersebut. Selain Arif Hidayat, delapan hakim Mahkamah Konstitusi atau MK lain yaitu Anwar Usman selaku ketua merangkap anggota, Saldi Isra, Manahan Sitompul, Daniel Yusmic, Enny Urbaningsih, Guntur Hamzah, Suhartoyo, dan Wahiddudin Adams.

Lalu siapakah sebenarnya Arif Hidayat? Melansir laman resmi www.mkri.id, Arif pertama kali dilantik sebagai hakim konstitusi pada 1 April 2013 di Istana Negara oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Arief menggantikan Mahfud MD yang mengakhiri masa jabatan yang telah diembannya sejak 2008.

Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Diponegoro tersebut mengaku tak pernah sekali pun terlintas untuk menjadi hakim MK. Ia mengaku hanya memiliki satu cita-cita, yakni menjadi seorang pengajar.

Arief Hidayat lahir di Semarang, Jawa Tengah, pada 3 Februari 1956 dan mengenyam pendidikan di kota kelahirannya dari SD sampai SMA. Ia menuntaskan pendidikan Sarjana S1 Fakultas Hukum di Universitas Diponegoro (UNDIP) pada 1980.

Sepanjang kariernya, Arief fokus di dunia pendidikan dengan tujuan untuk mencerdaskan generasi muda. Tidak hanya itu, ia bercita-cita untuk menyebarkan virus-virus penegakan hukum kepada generasi muda.

Arief menamatkan pendidikan S2 di Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Airlangga (Unair) pada 1984 dan S3 di Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP pada 2006.

Arief menikah dengan Tundjung Herning Sitabuana dan sudah dikaruniai 2 anak, yaitu Adya Paramita Prabandari dan Airlangga Surya Nagara. Ia juga telah memiliki 3 cucu yaitu Indrasta Alif Yudistira, Diandra Paramita Surya Nagara, dan Darajatun Herjendra Surya Nagara.

Arief menjadi Guru Besar dari Undip pada 2008, selain itu menjadi Dekan adalah jabatan puncak lainnya. Kemudian, setelah selesai menjabat dekan, dia pun memberanikan diri mendaftar sebagai hakim MK melalui jalur DPR.

Keberanian tersebut diperoleh Arief berkat dukungan dari berbagai pihak terutama para guru besar Ilmu Hukum Tata Negara, seperti Guru Besar HTN Universitas Andalas Saldi Isra.

Saat mengikuti uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di Komisi III DPR, Arief mengusung makalah bertajuk 'Prinsip Ultra Petita dalam Putusan MK terkait Pengujian UU terhadap UUD 1945'.

Dinilai konsisten dengan paparan yang telah disampaikan dalam proses fit and proper test tersebut, Arief pun terpilih menjadi hakim konstitusi, dengan mendapat dukungan 42 suara dari 48 anggota Komisi III DPR, mengalahkan dua pesaingnya yakni Sugianto (5 suara) dan Djafar Al Bram (1 suara).

Bagi Arief, MK bukanlah merupakan lembaga yang asing. Selain aktif mengajar, Arief juga menjabat sebagai ketua pada beberapa organisasi profesi, seperti Ketua Asosiasi Pengajar HTN-HAN Jawa Tengah, Ketua Pusat Studi Hukum Demokrasi dan Konstitusi, Ketua Asosiasi Pengajar dan Peminat Hukum Berperspektif Gender Indonesia, serta Ketua Pusat Studi Hukum Lingkungan.

Di samping itu, Arief juga aktif menulis. Tidak kurang dari 25 karya ilmiah telah dia hasilkan dalam kurun waktu lima tahun terakhir, baik berupa buku maupun makalah.

Sebagai bagian dari friends of court, Arief Hidayat juga sering terlibat dalam berbagai kegiatan yang dilakukan MK. Ia aktif menjadi narasumber maupun menjadi juri dalam setiap kegiatan MK berkaitan dengan menyebarluaskan mengenai kesadaran berkonstitusi.

Setelah dua tahun menjadi hakim konstitusi, sesuatu yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya, Arief justru mendapatkan kepercayaan lebih besar dengan terpilih secara aklamasi menjadi Ketua MK periode 2014-2018.

Sebelumnya, Arief Hidayat menjabat Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (pada 6 November 2013 – 12 Januari 2015). Kariernya di MK menanjak menjadi Ketua MK Periode Pertama (14 Januari 2015 – 14 Juli 2017); Periode Kedua (14 Juli 2017 – 1 April 2018).

Karier Arief Hidayat sebelumnya banyak dihabiskan sebagai Staf Pengajar di Fakultas Hukum UNDIP Semarang. Staf Pengajar Program Magister Ilmu Hukum (S2 Ilmu Hukum), Program Magister Ilmu Lingkungan, Program Doktor (S3) Ilmu Hukum, dan Program Doktor Ilmu Lingkungan UNDIP.

Arief pernah menjabat Sekretaris Jurusan Hukum Tata Negara Fakultas Hukum; Sekretaris Badan Koordinasi Mahasiswa (BKK)/Sekretaris Pembantu Rektor III; Pembantu Dekan II Fakultas Hukum; Pembantu Dekan I Fakultas Hukum; Dekan Fakultas Hukum; dan Ketua Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum; kesemuanya di UNDIP. Pada 2008, Arief diangkat menjadi Guru Besar Fakultas Hukum UNDIP.

“Saya selalu tertarik pada kasus-kasus penegakan hukum terutama karena saat itu masih ada rezim otoriter. Nama-nama seperti Yap Thiam Hien, Suardi Tasrif dan Adnan Buyung menginspirasi saya untuk kuliah fakultas hukum, padahal tadinya saya berniat untuk kuliah di fakultas ilmu politik. Tapi setelah menjadi guru besar, saya memahami kalau ilmu hukum tidak bisa terlepas dari ilmu politik,” kenang Arief Hidayat.

Arief mengisahkan, lima tahun lalu mantan Ketua MK, Jimly Asshiddiqie, pernah mendorongnya untuk maju sebagai hakim konstitusi. Namun, karena saat itu dia masih memegang jabatan sebagai dekan, maka dorongan itu tak bisa dipenuhinya. “Menjadi seorang hakim konstitusi merupakan posisi yang mulia dan waktu itu saya belum berani mengambil posisi mulia itu,” ujarnya.

Dikisahkan Arief, suatu kali ia pernah dipesankan oleh Prof. Satjipto Rahardjo, jabatan yang telah dipilihnya sebagai dosen memiliki konsekuensi sebagai profesi yang tidak mungkin kaya secara materiil. Namun, meski tidak kaya secara materiil, tetapi kaya akan lmu dan penghargaan serta penghormatan dari para mahasiswa.

“Dari situ, Prof. Satjipto menjelaskan karier puncak yang harus saya raih adalah menjadi guru besar. Dan saya memperoleh (gelar) Guru Besar dari UNDIP pada 2008, selain itu menjadi Dekan adalah jabatan puncak lainnya. Amanah yang harus saya lakukan sebaik-baiknya,” tuturnya.

Kemudian, setelah selesai menjabat dekan, dia pun memberanikan diri mendaftar sebagai hakim MK melalui jalur DPR. Keberanian ini diperolehnya berkat dukungan dari berbagai pihak terutama para guru besar Ilmu Hukum Tata Negara, seperti Guru Besar HTN Universitas Andalas Saldi Isra.

“Makanya saat saya mendaftar ke DPR untuk fit and proper test, yang saya bawa adalah dukungan dari fakultas hukum dan pusat studi konstitusi dari berbagai perguruan tinggi,” paparnya.

Tolak Batas Usia 35 Tahun

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang putusan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) terkait batas usia capres-cawapres di Jakarta, Senin (16/10/2023). Sidang saat itu dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.

Dalam sidang, MK memutuskan menolak gugatan yang diajukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang mengajukan gugatan usia calon presiden dan wakil presiden minimal 35 tahun.

"Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," tegas Ketua MK Anwar Usman ketika membacakan putusan. Menurut MK, penentuan usia minimal presiden dan wakil presiden menjadi ranah pembentuk undang-undang.

Putusan tersebut diketok untuk gugatan Nomor 29/PUU-XXI/2023 dengan pemohon partai politik PSI, Anthony Winza Prabowo, Danik Eka Rahmaningtyas, Dedek Prayudi, dan Mikhael Gorbachev Dom. Dalam petitumnya mereka meminta usia minimal capres-cawapres 35 tahun.

Arief Hidayat dalam dissenting opinion menyoroti pada kelima perkara a quo. Menurutnya, duduk perkara dan inti isu konstitusionalitas yang dibahas berawal dari perkara-perkara a quo, termasuk ketiga perkara a quo, yakni Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023, dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023, telah diperiksa dan juga diadili dalam sidang pleno secara bersamaan.

Sedangkan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023, merupakan perkara yang relatif baru, tetapi segera diputus. "Dari kelima perkara a quo saya merasakan adanya kosmologi negatif dan keganjilan pada kelima perkara a quo yang perlu saya sampaikan," kata Arief saat membacakan dissenting opinion.

"Karena hal ini mengusik hati nurani saya sebagai seorang hakim yang harus menunjukkan sikap penuh integritas, independen dan imparsial, serta bebas dari intervensi politik mana pun dan hanya berorientasi pada kepentingan bangsa dan negara Republik Indonesia yang berdasar pada ideologi Pancasila," sambung Arief.

Arief juga mengutarakan sejumlah keganjilan dalam proses penanganan perkara. Keganjilan itu adalah penjadualan sidang yang terkesan lama dan ditunda, pembahasan dalam RPH (Rapat Permusyawaratan Hakim), serta perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 dan perkara nomor 91/PUU-XXI/2023 ditarik tetapi tetap dilanjutkan.

Dia mengatakan, lamanya penjadualan sidang memang tidak melanggar hukum acara, baik yang diatur dalam UU tentang MK maupun Peraturan MK. Namun, penundaan berpotensi menunda keadilan.

"Dan pada akhirnya akan meniadakan keadilan itu sendiri (justice delayed, justice denied). Terlebih hal ini merupakan suatu ketidaklaziman yang saya rasakan selama lebih kurang 10 tahun menjadi hakim konstitusi dalam menangani perkara di MK," ucap Arief.

Arief kemudian mengusulkan supaya MK menetapkan tenggang waktu yang wajar antara sidang perbaikan permohonan dengan pemeriksaan persidangan untuk mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah. Dengan begitu, peristiwa seperti ini tidak akan terjadi lagi di kemudian hari.

"Perbaikan ini dilakukan dengan menyempurnakan hukum acara perkara pengujian undang-undang," tutur dia. Arief juga berpendapat pemohon telah mempermainkan murah lembaga peradilan dan tidak serius dalam mengajukan permohonan perkara nomor 90 dan 91.

Arief mengatakan, seharusnya MK mengeluarkan ketetapan yang mengabulkan penarikan permohonan a quo dengan alasan pemohon tidak besungguh-sungguh dan profesional dalam mengajukan permohonan.

"Sebagai konsekuensi hukum dari penarikan perkara, maka pemohon tidak dapat melakukan pembatalan pencabutan perkara a quo dan perkara yang telah dicabut atau ditarik tidak dapat diajukan kembali," tutur Arief.

Keganjilan lainnya adalah turut sertanya Anwar Usman atas salah satu perkara yang berakhir dikabulkan MK.

Padahal dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) pada 19 September 2023, ketiga perkara yang akhirnya ditolak MK, Perkara Nomor 29PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023, Anwar Usman tidak hadir.

Saat itu, RPH dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra dan Arief menanyakan alasan Anwar Usman tidak hadir.

Menurut Saldi Isra, ketidakhadiran Anwar Usman itu bertujuan untuk menghindari potensi konflik kepentingan karena isu yang diputus berkaitan dengan syarat usia minimal capres dan cawapres, di mana keponakannya, Gibran Rakabuming Raka, berpotensi diusulkan dalam Pilpres 2024.

Anwar merupakan suami dari Idayati, adik kandung Presiden Joko Widodo, ayah Gibran. Akhirnya, tiga perkara tersebut diputuskan untuk ditolak. Namun, saat memutus dua perkara lain yang salah satunya berujung diputus inkonstitusional bersyarat, Anwar hadir.

"Ketua malahan ikut membahas dan memutus kedua perkara a quo dan khusus untuk Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 diputus dengan amar 'dikabulkan sebagian’. Sungguh tindakan yang menurut saya di luar nalar yang bisa diterima dengan penalaran yang wajar," ucap Arief. (*)

Mochamad Toha