Belajar dari Edinburgh, Skotlandia: UAI Siapkan Kampus Ramah Disabilitas

Jakarta, FreedomNews – Regulasi yang jelas dan memandu, sinergi antar elemen, dan dukungan fasilitas menunjukkan komitmen negara-negara maju untuk memperhatikan penyelenggaraan pendidikan tinggi yang inklusif dan ramah disabilitas.

Di Universitas Edinburgh (University of Edinburgh/UoE), Skotlandia misalnya, masalah ini sudah benar-benar ditangani terintegrasi dan terus-menerus diinovasi.

Itulah antara lain catatan penting dari perjalanan tiga dosen muda dari Ilmu Komunikasi Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) selama lebih dari sepekan di Skotlandia, khusus di Universitas Edinburgh pada 4-8 Maret 2024 lalu. Kegiatan ini merupakan implementasi hibah bertajuk “UK-ID Disability Inclusion Partnership Grant” dari British Council Indonesia.

Selama di UoE, tim dosen ini disambut Professor Dr John Ravenscroft dan Elizabeth McCann dari Moray House School of Education and Sport (MHSES) yang tahun ini sedang merayakan 175 tahun berdiri. Sambutan dari para staff memberikan rasa hangat di tengah suhu 0 derajat kota Edinburgh yang juga tercatat sebagai situs warisan dunia UNESCO pada 1995.

‘’Di Skotlandia, kalau sekolah atau kampus menolak calon mahasiswa disabilitas itu termasuk pelanggaran, ilegal. Jadi, mau tidak mau harus dan karenanya, perguruan tinggi dan sekolah tidak bisa bekerja sendirian,’’ ungkap Cut Meutia Karolina yang berkunjung ke Edinburgh bersama Edoardo Irfan dan Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Gusmia Arianti.

Menurut Gusmia, kegiatan bersama dan kunjungan ini begitu penting dan bukan hanya bagi UAI, tapi untuk pendidikan tinggi di Indonesia secara luas.

‘’Buat kami, ini adalah bekal penting mempersiapkan diri sebagai kampus ramah disabilitas. Kelak, kami juga bisa sharing ke masyarakat luas. Kami belajar kepada institusi yang tepat karena MHSES kan ranking satu di Skotlandia dan peringkat ke-13 dunia untuk subjek pendidikan,’’ kata Arianti, Kaprodi Ilkom UAI.

Menurut Edoardo Irfan, Skotlandia adalah negara yang memiliki pendidikan tinggi yang ramah disabilitas dan lebih dari sekadar pelaksanaan regulasi. ‘’Skotlandia sudah lama melakukan ini dengan serius, fokus, dan sinerginya dengan para stake holder luar biasa. Sehingga pendidikan inklusif itu benar-benar jadi budaya,’’ kata dosen yang akrab disapa Edo ini.

Sedangkan para dosen muda UAI ini juga mencatat bahwa negara Skotlandia memberi insentif untuk sekolah atau perguruan tinggi penerima siswa/mahasiswa disabilitas. Selain itu juga lembaga pendidikan merasa ‘’terpanggil’’ dan harus menciptakan nuansa moral yang sepenuhnya mendukung disabilitas.

‘’Karena itu, Skotlandia telah melangkah jauh untuk kebutuhan dasar yang ramah. Misalnya, soal definisi saja, negara Skotlandia sudah berkembang perluasan definisi disabilitas. Mental health, atau masalah-masalah mental mahasiswa dalam belajar itu digolongkan ke dalam disabiltas,’’ tambah Edo.

Menurut Professor John, sebagai Chair of Childhood Visual Impairment bahwa ia antusiasme menyambut kerjasama ini. Menurutnya, jika perguruan tinggi di Indonesia seperti UAI mulai menyelenggarakan pendidikan inklusi dari nol, itu langkah positif.

‘’Kalau dari nol, itu memberikan keleluasaan bagi kami untuk berkontribusi dan berharap ini akan menjadi pilot project yang nantinya akan menjadi panduan perguruan tinggi lainnya di Indonesia,’’ kata John.

Selain diskusi bersama John, Elizabeth dan para koleganya, tim dosen muda ini juga bertemu alumni dengan kondisi disabilitas netra, para guru dari seluruh penjuru United Kingdom, hingga ikut serta dalam pelatihan pelatihan menyusun materi pembelajaran ramah netra.

‘’Kami juga mendengar langsung apa saja yang dikerjakan Pusat Disabilitas UoE dalam mempersiapkan calon mahasiswa disabilitas yang akan menjalankan studi. Tidak kalah menari para dosen juga diskusi dengan perwakilan dari Communication, Access, Literacy dan Learning (Call) Edinburgh, satu organisasi nirlaba yang merupakan unit MHSES yang membantu anak-anak dan pemuda disabilitas di sana dalam menghadapi keterbatasan dalam proses belajar,’’ kata Cut Meutia Karolina.

Kegiatan intensif selama lima hari ini juga diisi dengan kegiatan seminar “Socio Emotional Support for Students with Visual Impairment in Higher Education” hingga diskusi dengan peneliti asal Australia tentang pendidikan inklusi di negaranya.

Selain itu kegiatan ditutup jamuan makan malam hangat di satu resto di tengah kota Edinburgh sebagai penanda akhir perjalanan belajar di kota yang memiliki lanskap arsitektur unik juga ikonik dari abad 15.

John Ravenscroft dan Elizabeth McCann dijadwalkan akan berkunjung ke Indonesia, khususnya ke UAI, pada pertengahan Mei 2024 untuk memberikan seminar dan pelatihan bagi dosen-dosen untuk membuat materi pembelajaran yang ramah disabilitas. Mereka juga akan mendampingi UAI untuk merumuskan policy brief terkait kampus yang ramah untuk teman-teman netra.

‘’Ini harus menjadi pilot project bagi perguruan tinggi lain dalam persiapan atau pengembangan kebijakan menerima mahasiswa disabilitas,’’ kata Cut Meutia. (BS)